Khusyuk
Malam itu, badan terasa begitu lelah. Perasaan hati begitu lelah dalam menghadapi hari esok. Tidur selepas Isya yang begitu menggerus pemikiran. Tidak khusuk. Otak kala itu berpikir tentang duniawi. Dunia dan kefanaannya membelotkan pikiran dari akhirat dan kekekalannya. Ia menggerus pemikiran akan keintiman kehidupan bertuhan dengan sang khalik. Hati terasa kelu karenanya. Tak mempunyai arti.
Mata terpejam karena beban duniawi telah memberatinya dengan beban beratus ribu ton. Kecepatan berputar Bumi telah mencapai titik jenuh. Hati membeku karena didinginkan dalam medan derajat minus seribu Celcius. Tetapi otak terus mendidih karena terbakar dengan nafsu duniawi. Ia lelah. Tapi tak menyerah.
Waktu berputar sesuai dengan poros. Bagaikan dibangunkan oleh keheningan malam yang janggal, mata terbuka tetiba. Memberikan sensasi rasa tak khusyuk yang kembali singgah. Hati menyuruh untuk menemui sang Tuhan. Berkeluh kesah kepadaNya. Mengadukan ketidak adilan yang menimpa diri. Rasa kantuk yang ditumpangi setan mencoba mencegah organ motorik untuk bergerak bertemu dengan sang pencipta. Hingga akhirnya hati memenangkan pertarungan mengendalikan diri. Sebuah kemenangan mutlak yang begitu membanggakan, mengekorkan rasa syukur yang merasuk.
Rasa tak khusyuk yang tadi banyak singgah kini telah hilang diusir oleh para malaikat penjaga. Hati telah cerah menerima segala jawaban dari Tuhan akan berbagai pertanyaan yang mengungkung. Jiwa telah ikhlas menerima segala berkas-berkas cahaya kebenaran akan masalah yang timbul. Jawaban itu tak lagi terterka. Ia telah datang. Tiba memeluk jiwa yang menerima.
Rasa khusyuk itu merasuk. Membuat jiwa tenang karena kehadirannya yang begitu hangat. Rasa khusyuk itu begitu menenangkan. Memaksa setiap jengkal hati untuk bertafakur memikirkan kekufutan yang telah dilakukan. Memaksa setiap inci jiwa untuk bertobat. Kembali ke jalannya.
Malam yang melelahlan itu terbayar dengan rasa khusyuk yang begitu mengikat. Rasa lelah itu menghilang bagaikan embun yang menghilang di pagi hari. Berganti dengan rasa tenang yang bertahan hingga pagi. Khusyuk itu merasuk sukma. Sukma itu tenang. Tenang itu tentram. Begitu indah. Memberikan rasa syukur.
Mata terpejam karena beban duniawi telah memberatinya dengan beban beratus ribu ton. Kecepatan berputar Bumi telah mencapai titik jenuh. Hati membeku karena didinginkan dalam medan derajat minus seribu Celcius. Tetapi otak terus mendidih karena terbakar dengan nafsu duniawi. Ia lelah. Tapi tak menyerah.
Waktu berputar sesuai dengan poros. Bagaikan dibangunkan oleh keheningan malam yang janggal, mata terbuka tetiba. Memberikan sensasi rasa tak khusyuk yang kembali singgah. Hati menyuruh untuk menemui sang Tuhan. Berkeluh kesah kepadaNya. Mengadukan ketidak adilan yang menimpa diri. Rasa kantuk yang ditumpangi setan mencoba mencegah organ motorik untuk bergerak bertemu dengan sang pencipta. Hingga akhirnya hati memenangkan pertarungan mengendalikan diri. Sebuah kemenangan mutlak yang begitu membanggakan, mengekorkan rasa syukur yang merasuk.
Rasa tak khusyuk yang tadi banyak singgah kini telah hilang diusir oleh para malaikat penjaga. Hati telah cerah menerima segala jawaban dari Tuhan akan berbagai pertanyaan yang mengungkung. Jiwa telah ikhlas menerima segala berkas-berkas cahaya kebenaran akan masalah yang timbul. Jawaban itu tak lagi terterka. Ia telah datang. Tiba memeluk jiwa yang menerima.
Rasa khusyuk itu merasuk. Membuat jiwa tenang karena kehadirannya yang begitu hangat. Rasa khusyuk itu begitu menenangkan. Memaksa setiap jengkal hati untuk bertafakur memikirkan kekufutan yang telah dilakukan. Memaksa setiap inci jiwa untuk bertobat. Kembali ke jalannya.
Malam yang melelahlan itu terbayar dengan rasa khusyuk yang begitu mengikat. Rasa lelah itu menghilang bagaikan embun yang menghilang di pagi hari. Berganti dengan rasa tenang yang bertahan hingga pagi. Khusyuk itu merasuk sukma. Sukma itu tenang. Tenang itu tentram. Begitu indah. Memberikan rasa syukur.
Komentar
Posting Komentar