26

Hampir Menuju ke Sana

Kendaraan baja melayang yang mengikuti mereka semakin semangat mengejar. Supir yang juga merupakan ajudan Sulaiman itu masih dengan lihai kendalikan kendaraan berjenis sama yang mereka tumpangi. Badrun yang duduk di samping mantan kekasih Sulaiman merasakan ketegangan yang teramat sangat di dalam hatinya. Jantungnya memompa darah lebih cepat. Adrenalinnya mengalir deras. Ia terkontaminasi keadaan.

Kejar-kejaran itu berjalan dengan cepat. Tidak ada sedikitpun celah yang diberikan oleh masing-masing pengendara untuk menurunkan tempo. Semuanya serba berintensitas tinggi. Melayang di atas jalanan. Berbagai perempatan dan persimpangan ramai dilewati dengan kecepatan tinggi. Kendaraan lain yang lewat di jalanan turut merasakan kepanikan luar biasa akibat ulah kedua kendaraan yang sedang adu nafsu itu.

Pusat kota, jalanan ramai. Kemampuan menyetir pengawal Sulaiman ini benar-benat tidak bisa dianggap remeh. Ia tampil memukau. Meliuk-liuk di tengah riuhnya jalanan ibu kota. Detik waktu berjalan terus. Usai liuk-liuk menggairahkan di pusat kota, mereka pun beranjak keluar dari keramaian. Menuju ke jalanan bebas hambatan. Menuju ke jalanan sepi.

Menurut data, jalanan ini sudah dibangun lebih dari lima puluh tahun. Jalanan ini adalah jalanan yang menghubungkan berbagai kota-kota besar di wilayah utama negeri ini. Jalanan ini adalah jalanan yang begitu elok. Kebanyakan jalannya lurus panjang. Cocok untuk adu akselerasi. Di sinilah pertarungan sejati dimulai.

Tensi permainan pun meningkat di sini. Kendaraan baja melayang yang kejar-kejaran itu kini dapat melampiaskan amarahnya tanpa terhalang. Nafsu untuk mencapai kecepatan 300 km per jam sekarang dapat dipenuhi. Baja melayang itu sedikit bergetar karena mendapati kecepatan yang sedikit melampaui batas. Kendaraan yang mereka naiki memang bukan untuk diajak balapan. Dan kini, hasil karya pabrikan luar negeri itu harus dihajar dengan kecepatan tinggi.

Kendaraan baja melayang itu keluar dari jalanan bebas hambatan menuju ke jalanan arah luar kota. Jalanan tidak terlalu lengang. Tetapi tidak terlalu ramai pula. Berbagai kendaraan yang lewat berseberangan terkejut demi melihat adegan kejar-kejaran seperti yang mereka saksikan di adegan film-film aksi. Adrenalin mereka turut mengalir deras. Sayangnya mereka hanya melaju dengan kecepatan biasa. Tidak tertarik untuk unjuk kemampuan.

Tiba-tiba saja sebuah mobil menancap gasnya dan berhasil melewati baja melayang yang dinaiki Badrun dan rekannya. Kendaraan gila itu kemudian menyeret untuk berhenti di depan kendaraan lawannya. Untung saja kemampuan pengendali itu, Umar berada di atas rata-rata. Kalau tidak, adegan ini akan berakhir dengan melayangnya nyawa seisi kendaraan rakitan mutakhir yang dengan cepat.

Mereka berbalik dengan kecepatan yang tak kalah cepat dari kecepatan sebelumnya. Ketika berbaliklah, petaka itu datang. Darr ... Darr ... Darr... tiga tembakan mengenai Sulaiman. Tembakan yang mengarah ke kepala, leher, dan dada itu membuatnya terkulai seketika. Perempuan yang duduk disamping Badrun kemudian berteriak histeris. Seketika seisi kendaraan terdiam. Panik. Tetapi, supir luar biasa yang sedang mengendalikan baja luar biasa ini tetap tenang. Dengan gerakan yang tak berkurang kegesitannya, ia tetap mengendalikan baja itu dengan kemampuan terbaiknya.

Setelah penembakan itu, kendaraan-kendaraan yang tadi mengejar Badrun dan teman-temannya menjauh. Mereka perlahan-lahan menghilang di cakrawala. Semakin jauh. Semakin jauh. Para pengejar itu mungkin mengira mereka aman. Sayangnya, tanpa mereka sadari, Badrun mengingat salah satu nomor kendaraan itu.

.
.
.

Mereka kemudian membawa Sulaiman ke rumah sakit. Sulaiman langsung dibawa ke ruangan kritis dan ditangani oleh dokter terbaik. Para tenaga medis itu lalu lalang. Bergegas menyelamatkan nyawa anak manusia itu. Para tenaga medis itu bekerja keras. Demi nyawa seorang berharga. Demi nyawa seorang calon pengubah dunia.

Sementara para dokter dan perawat panik di ruang operasi. Para pengantar sedang menunggu dengan perasaan yang begitu banyak. Bercampur-campur. Mereka menunggu dan beberapa kali dimintai keterangannya oleh polisi. Badrun menyembunyikan detail temuannya. Ia tidak tahu mengapa. Hatinya berkata seperti itu.

Badrun terdiam merenungkan berbagai kejadian yang telah terjadi padanya selama beberapa minggu terakhir. Dimulai dari kejadian di kotanya, di mana ia melakukan penyampaian asa di depan istana gubernur. Suatu kejadian yang berakhir dengan perpisahan sementara dengan Sulaiman.

Perpisahan itu bermuara pada kerusuhan petaka yang dipimpinnya. Berlanjut dengan ia dipenjara, disidang, dan dijatuhi hukuman. Kejutan langit kemudian membawanya ke ibu kota. Kejutan selanjutnya kemnali mempertemukannya dengan Sulaiman. Dalam sebuah penyelamatan detik terakhir yang tak terlupa oleh Badrun.

Penyelamatan itu bukan akhir. Tetapi sebuah awal cerita baru. Sebuah kisah tak terduga ini yang dimulai oleh Sulaiman. Suatu saat, kisah ini mungkin akan berakhir. Badrun yakin saat waktu itu tiba, adalah Sulaiman yang akan mengakhiri kisah ini.

Sepenggal kisah ini merupakan anomali tersendiri bagi Badrun. Dan ia, tak tahu ada apa di balik anomali ini. Semuanya misteri yang tak terjawab. Semuanya adalah teka-teki yang membingungkan. Dan kejadian ini, kembali membawa teka-teki level baru yang semakin membuat kepala Badrun hampir pecah.

Badrun mengingat dengan jelas bahwa tadi pagi ia masih bertemu dan berbincang-bincang dengan sahabatnya itu. Ia ingat ketika Sulaiman tiba-tiba membahas tentang potensi mata-mata di antara mereka. Sebuah kecurigaan yang tetiba saja terlintas di otaknya. Meskipun ragu, Badrun dapat merasakan logika kiat di pikiran Sulaiman. Ia yakin dengan apa yang diucapkannya.

Sayang, Badrun sepertinya takkan pernah tahu kebenarannya. Sulaiman belum membahas hal itu lagi usai ia melakukan sesi pribadi dengan ayahnya.

Ingatan lain muncul di kepala Badrun. Otaknya mengingat kejadian tbadi siang. Kejadian di mana Badrun ditugaskan menjadi pengatur pelayan dalam konferensi pers pengangkatan Sulaiman menjadi pewaris resmi Mangkuwirjo. Konferensi pers yang menunjukkan sisi lain Sulaiman. Sisi lain di mana akhirnya Sulaiman menerima takdirnya dan mencoba untuk mengubah dunia dengan cara lain. Pidato Sulaiman tadi siang begitu menggetarkan.

Kini, lelaki tangguh itu terkulai di ranjang kritis. Tertembak. Tertembus peluru. Memar.

Perempuan muda di sampingnya menangis sesenggukan. Kesedihannya begitu terasa. Menjalar hingga ke jarak beberapa meter. Membuat koridor tunggu itu semakin seram. Kelam.

Mantan kekasih Sulaiman. Badrun tidak pernah tahu Sulaiman punya mantan kekasih yang bahkan sudah dijodohkan dengannya sejak kecil. Sulaiman tidak pernah menceritakan itu. Seperti halnya Sulaiman tidak pernah bercerita tentang masa kecilnya.

Badrun baru kenal wanita cantik itu tadi pagi. Ketika tetiba saja wanita itu masuk ke rumah singgah mereka dan memperkenalkan diri sebagai Salma. Sepupu Sulaiman. Wanita itu begitu baik. Membantu ibunya mempersiapkan sarapan. Hingga akhirnya Sulaiman datang. Mereka bertengkar. Dan sisanya adalah sejarah.

Koridor rumah sakit semakin rusuh dengan kehadiran ibu Sulaiman. Wanita paruh baya itu menangis sesenggukan. Menangis ia meratapi nasib sial yang didapatkan oleh putranya. Putranya yang baru saja menerima takdirnya terlahir dari darah raja-raja. Putranya yang baru saja menerima tanggung jawab melanjutkan darah leluhur. Putra kebanggaan itu. Kembali ke rumah setelah sekian lama dan kini hampir terjatuh di medan juang.

Ibu Badrun ikut menemani wanita bangsawan yang anggun itu. Menenangkan ratapan wanita paruh baya itu. Ikut menemani wanita yang baru dikenalnya sehari.

Keduanya akrab. Terikat ketat meskipun baru kenal sehari. Mereka berdua terlihat sudah seperti saudara kandung. Badrun dapat melihat binar mata mereka yang saling menghormati dan menyayangi satu sama lain. Ikatan di antara anak-anak mereka mungkin mengikat mereka secara tak langsung. Menyebarkan benih-benih cinta di antara mereka. Mereka mungkin akan bersahabat. Erat seperti Sulaiman dan Badrun. Semoga saja.

Malam menjelang. Koridor rumah sakit itu masih ramai. Mereka menunggu kabar tentang orang yang mereka sayangi. Waktu menjelang tengah malam. Dokter paruh baya yang telah dinanti-nanti lama itu menghampiri ibu Sulaiman. Dokter itu dengan nada kaku khasnya berkata, "Nyawa Sulaiman kemungkinan akan dapat terselamatkan. Tetapi, ia akan kehilangan setengah fungsi tubuhnya dan kemungkinan penglihatannya juga akan setengah kabur. Maaf bila hal ini mengecewakan kalian. Dan satu hal lagi, kami belum dapat memastikan kapan ia akan tersadar. Permisi."

Wanita yang melahirkan Sulaiman itu langsung menjerit histeris usai mendengar kabar dari dokter itu. Bak mendengar putusan langit yang kejam, wanita itu langsung terkulai lemas. Ia terduduk usai menerima kabar dari sang dokter.

Lelaki gagah yang berada di sampingnya kemudian memeluknya. Menenangkan wanita yang sudah terikat sumpah sampai mati dengannya. Wanita itu masih sesenggukan di pelukan suaminya. Ia menangis. Ia melepaskan seluruh luka hatinya yang kini bagaikan teriris-iris.

Malam ini, koridor rumah sakit bagaikan teater tempat latihan drama kesedihan. Sayangnya, kali ini bukan sekadar drama. Kesedihannya memang nyata. Bukan pura-pura. Semua yang terjadi di sini nyata adanya. Kesedihannya tak mempunyai hingga. Mengiris-ngiris hati yang menyaksikan. Lukanya begitu menyakitkan untuk disaksikan. Begitu menyiksa hati.

.
.
.

Tengah malam menjelang. Badrun dan Umar sedang berjaga di tempat parkir. Rembulan dan gemintang yang membuat langit tampak indah redup. Langit seperti mengulum kesedihan. Rembulan tak isyaratkan kebahagiaan. Ia lesu. Tugasnya terlalu sulit untuk dijalankan. Cahayanya redup. Ia seperti tahu bahwa malam itu hati para pemandangnya sedang menahankan rasa sakit yang begitu menyakitkan. Kesedihan menggunung yang tak tertahankan.

Ia seolah tahu bahwa para manusia yang menatap ke atas sedang menangis dalam diam. Dan sang rembulan memahami hal itu. Cahayanya kemudian semakin memudar. Hingga keremangan menghinggapi Badrun dan Umar. Temaram. Hening.

Malam pudar dan hening itu kemudian meriuh oleh suara kendaraan yang mendekat ke arah mereka. Suara kendaraan itu bersahut-sahutan. Membentuk pola.

Kendaraan yang bersahut-sahutan itu kemudian terlihat di depan Badrun dan rekannya. Kendaraan yang berpuluh-puluh itu kemudian perlahan-lahan memenuhi lahan tempat parkiran. Asap mereka mengepul. Membentuk kabut tak tertembus mata. Udara pengap.

Seolah sudah mengetahui arah cerita kali ini, mereka menghela napas. Mereka bersiap. Badrun mempersiapkan diri. Ia mengingat-ingat sedikit ilmu beladiri yang dulu dipelajarinya di kampung. Masa-masa itu sudah lewat puluhan purnama. Sudah lama ia tak bertarung. Tetapi, jurus itu kembali muncul di dalam kepalanya. Ia siap. Ia sudah siap.

Tanpa aba-aba, para penyerang itu kemudian menerjang nereka. Lawan yang tak tahu asalnya itu menyerang dua orang itu dengan membabi-buta. Umar terlihat begitu nyaman menghindari serangan itu dan juga sesekali berbalik menyerang puluhan orang itu. Ia dengan ketenangannya menari-nari. Menggunakan kekuatan musuhnya untuk menyerang.

Penyerang itu puluhan. Tetapi, sayangnya puluhan orang itu merupakan amatiran. Badrun dan Umar jauh lebih terlatih dibanding mereka. Terutama Umar. Lelaki ini memperagakan beberapa gerakan yang begitu memukau bagi Badrun. Ia bergerak secepat kilat. Pukulannya akurat dan mematikan. Hanya dalam waktu lima menit, belasan orang sudah lumat terkena serangan maut dari sang pangeran kematian. Umar membabat mereka habis. Dan ia belum lagi tersentuh.

Waktu berjalan terus. Kedua monster yang sedang berkabung itu terus menerus menghajar lawan-lawan yang silih berganti di hadapan mata. Mereka bergerak dari kiri ke kanan. Menari seperti mengikuti aliran air. Menghantam lawan-lawan tepat di kepala. Menumbangkan puluhan. Menumbangkan ratusan.

Waktu berjalan. Para lawan mereka terus bertumbangan. Tetapi, semakin tumbang lawan-lawan lain semakin banyak berdatangan. Bagaikan semut yang mengerubuti gula. Tidak habis. Tidak tuntas.

Semakin lama jumlahnya semakin tak masuk akal. Dua orang itu mungkin masih sanggup menghajar lawan-lawannya. Tidak peduli senjata apa yang ada di tangan lawannya. Tetapi, napas mereka sudah mulai tersengal. Terutama Badrun.

Badrun memang bukan tentara seperti Umar. Tetapi, Badrun adalah seseorang yang sangat mencintai olahraga. Setiap pagi, ia selalu menghabiskan kurang lebih satu jam untuk menjaga kebugaran tubuhnya. Dan untungnya, hal itu cukup berguna saat ini. Di saat mereka bagaikan gula yang dikerubuti tentara semut. Tetap saja, suatu saat stamina itu akan habis.

Fajar sudah semakin dekat saat sirene polisi datang mendekat. Beberapa orang yang masih sanggup berdiri kabur tunggang-langgang. Badrun dan umar hanya berdiri di antara gelimpangan tubuh-tubuh manusia yang bertumbangan. Napas mereka tersengal. Keringat bercucuran di sekitar kening mereka. Mereka lelah. Tetapi darah mereka masih mendidih.

Mereka hanya mengangkat tangan kala polisi menodongkan pistol seraya berkata, "Angkat tangan, kemudian berlutut!"  

Komentar

Postingan Populer