XXII: Alasan Membenci

Alasan Membenci.

Aku menghindari tatapan mata itu. Sendu ia karena kata-kataku. Tapi, aku pun sendu karenanya. Kuhindari mata itu agar ia tidak mengalahkan aku. Semuanya terlihat aneh dan semakin aneh. Satu detik kami berpelukan dan berciuman. Detik kemudian, kami saling menolak perasaan murni kami.

Dan aku menjejalinya dengan pertanyaan berat tentang muasal semua. Dan ia hanya menjawabnya asal-asalan. Tanpa keseriusan yang kuinginkan.

Aku tak yakin jawabannya. Bahkan aku tak yakin jawabannya ada di dunia. Bahkan lagi, aku tak yakin pada diri sendiri. Apalagi usai pergumulan semesta yang membuatku ragu dengan segala yang terjadi dengan hidupku.

Pertanyaan itu tak terjawab. Ia malah menanyakan pertanyaan filosofis yang sendu. Sebuah tanya yang membuatku kembali mencari-cari sesuatu yang terbenam di dalam hatiku. Ia menanyakan sesuatu yang masih mujarad jawabnya di dalam otakku. Alasanku memendam rasa benci. Pertanyaan itu begitu menyiksa. Seperti sel mutasi yang menggerogotiku secara perlahan.

Untuk menjawab pertanyaan yang sulitnya bagaikan menyentuh langit ini, aku pun mengorek sisi-sisi dalam memoriku. Sisi-sisi terangnya kucoba uraikan. Sisi gelapnya kucoba semai. Dan cerita ini dimulai dari ketika aku di sekolah menengah. Saat itu, kehidupanku begitu tenang dan damai. Tanpa kehadiran ambisi yang memabukkan dan membakar.

Sejak dulu, aku punya satu prinsip yang selalu kupeluk hangat dalam hati. Hidup seorang manusia tidak pernah bisa terlepas dari kisah hidup manusia lain. Keduanya merupakan interkoneksi takdir yang berpilin-pilin dan bersambungan satu sama lain. Pilinannya rumit. Jalinannya tak terprediksi. Bila kau merasa kehidupanmu hanya tentang kamu, maka berbagai kesalahan alan diperbuat dalam hanya beberapa jentikan jari. Tidak peduli betapa inginnya kita memisahkan garis takdir, ia takkan berpisah karena itulah adanya.

Ketika aku masih remaja dulu, dalam sebuah sesi seminar yang kuhadiri, seorang pembicaranya membicarakan tentang mimpi dan takdir. Ia saat itu berkata, "Jangan pernah takut rezekimu terebut oleh orang lain. Bila sudah rezeki takkan kemana." Ia menambahkan dengan kata-kata motivasi yang akan terus membiusi remaja-remaja dengan mimpi setinggi langit. Termasuk aku.

Pada masa-masa itu, aku ingat bahwa borjuisme bukanlah sesuatu yang tabu bagiku. Aku sering mengikuti berbagai konser dan menonton film di bioskop. Aku juga sempat menjadi ketua panitia pentas seni di sekolah yang mendatangkan musisi paling terkenal di zamannya. Masa-masa itu begitu bebas. Hingga setahun sebelum alu lulus dari sekolah itu, sesuatu mengubahku. Menggelapkan hatiku. Membuatku menyeberang ke sisi yang begitu temaram. Kelam seperti di lubang hitam.

Sedikit kisahnya mungkin sudah kuceritakan. Kini aku butuh menjawab pertanyaan. Dan kuyakin kisah ini adalah jawabannya. Jadi, kuingat ingatan-ingatan samar yang tertutup debu di dalam kepalaku. Kucoba untuk mencari penyebab dari semuanya. Ingatanku pun pulih. Debu di pita-pita rekaman itu sudah siap untuk diputar kembali.

"Kak! Kak Salma ingin bertemu dengan kakak! Katanya ada sesuatu yang teramat penting yang ingin disampaikannya." Safa, sekretaris organisasi internal sekolah datang masuk tiba-tiba. Mendobrak ruangan sekretariat. Kemudian terburu-buru mengabarkan sesuatu padaku.

"Di mana?" Aku bertanya dengan wibawa yang kucuri dari ayah dan pamanku.

"Kak Salma sedang berada di sekretariat pers sekolah kak. Katanya ada yang mau diperlihatkannya di sana kepada kakak. Dia mau bertemu di situ saja, Kak." Safa berkata dengan suara yang membuat orang takkan tega membentaknya. Suaranya lucu. Seperti suara anak-anak yang tak berdosa.

"Aku akan ke sana. Ayo, kau temani aku!" Aku tarik tangannya dengan lembut. Entah mengapa aku dapat merasakan kegugupannya. Apa mungkin kabar anak-anak itu bukan hanya isapan jempol? Salma suka padaku?

"Ba ... ik, Kak." Terbata ia menjawab ajakku. Sekilas kulihat wajahnya memerah. Anak ini memang lucu.

Ruangan pers sekolah itu telah berada di ujung mata. Ruangan yang tidak terlalu kecil. Cukup nyaman dan bersih. Benar-benar merefleksikan pemimpinnya. Seorang perfeksionis narsis yang cantik.

Untuk ukuran pers remaja yang bukan orang-orang profesional, kualitas pers ini termasuk di atas rata-rata. Reputasinya sudah sangat baik dan sangat disegani oleh banyak sekolah. Pernah Ketua urusan penyiaran mengatakan bahwa pers sekolah ini adalah standar untuk klub jurnalistik siswa.

Pers dengan laporan investigatif terbaik ini merupakan pers dengan kredibilitas yang sangat tinggi. Apalagi, popularitasnya meningkat drastis setelah berita investigasi panjang tahun lalu tentang pergaulan remaja.

Salma Auliani atau Uli, pemimpin redaksi mereka terkenal sejak itu. Wajahnya terpampang di mana-mana. Di usia semuda itu, Uli telah ditawari untuk magang di kantor berita internasional di belahan Bumi utara sana. Ia dijamin akan disekolahkan di sekolah jurnalistik terbaik.

Uli adalah sepupuku. Putri dari Raksasa dari Timur. Konon katanya, kami sudah dijodohkan sejak lahir. Dan sepertinya itu bukan isapan jempol belaka. Kami selalu dituntun untuk hidup bersama.

Sewaktu kecil, akulah yang bersekolah di kotanya. Ketika masa kami di masa sekolah menengah, kami pun bersekolah di sekolah terbaik di ibu kota. Di sana, ia fokus dengan kegiatan jurnalistiknya sedangkan aku fokus dengan kegiatan organisasi internal siswa dan bela diri. Yang terakhir adalah kegemaranku di waktu senggang. Sesuatu yang sudah kupelajari sejak aku kanak-kanak.

"Ada apa Uli? Dari cara Safa memanggilku sepertinya kau sudah menakutinya dengan seribu ular. Jadi, ada apa?" Aku bertanya sembari melihat-lihat sekitar. Berbagai piagam terlihat terpajang di dinding. Kuperhatikan Uli sedang sibuk dengan beberapa berkas.

"Kau pikir aku psikopat, Lem. Dan ingat satu hal namaku itu Salma ...." sejenak ia berhenti dari kesibukannya. Melihat ke arahku.

"Auliani. Dipanggil Uli. Titik. Dan namaku Sulaiman bukan Lem!" Dengan cekatan, kupotong kalimatnya. Dan sekali lagi, wajahnya kembali masam.

"Dipanggil Salma, Lem. Dari semua orang di dunia ini, mungkin hanya kamu yang memanggil aku Uli. Dan namamu itu Lem, titik. Semua orang kan memanggil kamu Lem!" Ekspresi wajahnya berubah kesal. Sayangnya, yang kulihat adalah ekspresi menggemaskan yang membangkitkan hasrat.

"Siapa bilang, si manis Safa memanggilku kak Sulaiman ..." aku mencoba menggodanya.

"Si manis ya ...."

"Sst ... aku belum selesai. Lagipun orang tuamu dan orang tuaku juga memanggil kamu Uli. Itu yang membuat kami istimewa, bukan? Sudah, ah!" Kucium pipinya untuk menggodanya.

"Kau memang ya Lem. Selalu mencuri kesempatan!" Kata-katanya menolak. Tetapi pipinya memerah. Ia merona. Membuatku semakin ingin mengulum pipi itu.

"Tapi, kan kau suka." Kata-kataku secara sempurna memerahkan pipinya. "Jadi, ada apa?"

"Kau lihat tulisan Anne ini. Kami tak berani menaikkan beritanya. Jadi, Anne itu kemarin mendengar sayup-sayup pembicaraan bapak kepala sekolah lewat sambungan nirkabel. Dan coba tebak apa yang dibicarakan? Transaksi gelap, Lem." Ia berbicara sembari mengarahkan komputer portabelnya ke arahku. Aku dapat melihat tampilan sebuah artikel yang sedang diedit.

Aku kemudian mengalihkan pandanganku dari komputer itu. Memandangnya dan berkata, "Jadi Anne menulis tulisan opini seperti ini hanya berdasarkan pada pendengarannya tentang pembicaraan orang lewat sambungan nirkabel? Untung saja kalian belum sempat keburu nafsu menaikkan beritanya. Kalau tidak, kepala sekolah takkan terima ini semua."

"Ya, tadi Zaki juga bilang hal yang sama. Aku harus menahan nafsuku, Lem. Meskipun kuakui, berita ini hangat sekali. Sayang untuk dilewatkan." Ia meletakkan komputer itu. Kemudian menghela napas.

"Jadi, sekarang mau apa lagi?" Ucapku pelan.

"Aku menginginkan kita membuat investigasi untuk hal ini, Lem. Ini berita panas. Lebih panas dari berita tahun lalu. Bisa meledak pers kita dengan berita ini. Sayangnya, kali ini pers butuh kalian. Para pemimpin sekolah ini. Anak-anak internal. Pers tidak bisa mengakses arsip secara sembarangan. Hal itu akan terlalu kentara. Karena itu, kami butuh organisasi internal sekolah untuk mengakses arsip sekolah." Wajah Uli sekarang berubah serius.

"Wow, apa bedanya?" Aku bertanya dengan ekspresi oura-pura terkejut. Ia memelototiku karenanya.

Ia kemudian menjawabku dengan, "Kalian bisa beralasan mencari berkas berbagai kegiatan sekolah untuk menyusun konsep tahun ini. Mudah kan?"

Sejenak, aku berpikir. Ini gila. "Tidak semudah itu, Uli. Kita pasti akan diawasi ketat dan diwanti-wanti untuk tak menyentuh beberapa arsip. Dan bila transaksi hanya dilakukan lewat sambungan, bagaimana?"

"Pasti ada rekaman resminya, Lem. Bagaimanapun berkas resmi akan menghilangkan jejak. Membuat kegiatan samar. Itu yang harus kita akses." Aku memperhatikan wajah Uli yang begitu serius. Ia kemudian sedikit tersenyum.

"Inilah yang membuatku tak ingin jauh darimu, Uli. Kau selalu serius dengan apapun. Kau juga selalu memikirkan banyak hal, bahkan yang tak terpikir di otak orang lain. Jadi, kali ini mau mulai dari mana?" Keyakinannya ternyata memberikan aku semangat.

Uli menjawab, "Pembentukan tim investigasinya. Ini perlu untuk memudahkan komunikasi. Aku mau kamu yang pimpin, Lem."

"Kenapa tidak kamu atau Zaki saja? Kalian itu orang jurnalistik. Lebih paham soal investigasi." Aku mencoba menolak. Mencoba untuk tidak terlalu dalan mencampuri urusan ini. Semangat atau tidak, aku tidak terlalu paham permasalahan seperti investigasi dan jurnalistik.

Uli menggeleng. Kemudian berkata. "Tidak, Lem. Kamu harus pimpin kasus ini. Kamu itu yang jabatannya paling tinggi, Lem. Lagipula kamu lebih mudah untuk bertemu dengan pak kepala sekolah untuk berdiskusi."

"Baiklah, kalau itu memang yang kau minta." Aku berkata pelan. Menyerah. Pasrah.

Waktu berlari seperti para atlet yang sedang memperebutkan medali emas di perlombaan dunia. Berbagai diskusi panjang yang membahas pembagian tugas kami lalukan demi menyukseskan pemecahan kasus berat ini. Sejauh ini, tidak ada masalah besar yang terjadi. Semuanya terlihat mudah dilakukan. Kepala sekolah tidak terlalu ikut campur. Ia hanya berpesan agar kami tdak merusak berkas-berkas yang ada. Ia percaya padaku. Aku jadi merasa berdosa.

Tiga puluh hari telah usai. Hari ini pengecekan berkas-berkas terenkripsi akan dilakukan. Ini mungkin ilegal. Tapi, ini adalah jalan terakhir yang harus kami lakukan. Berani atau misi ini akan batal.

Pantas saja kepala sekolah begitu tenang. Dia sudah tahun bahwa berkas rahasianya tidak ada di rak berkas biasa. Baik fisik maupun non-fisik. Semuanya aman dibawah perlindungan enkripsi. Tapi, kali ini kami takkan peduli lagi dengan legalitas. Kami akan meretas datanya. Apapun konsekuensinya, demi kebaikan sekolah ini, semuanya akan kami tanggung. Ini adalah awal dari sesuatu yang akan mengubahku selamanya.

Peretas itu bernama Habibi. Ia adalah temanku sejak Sekolah Menengah tingkat bawah dulu. Seorang penggiat komputer. Ia menghabiskan delapan jam sehari mengutak-atik benda ajaib itu. Ia bukan hanya bisa menggunakannya. Ia berhubungan intim dengan alat canggih itu. Mencoba untuk mengubah dunia dengan alat ajaib itu. Bersenggama. Bergurau.

Sepagi ini ia sudah masuk ke sisi dalam data terenkripsi sekolah. Otakku terus-menerus membisikkan kata-kata bahwa seharusnya kami tak lakukan ini. Tapi, aku terus saja menguatkan diri. Sebuah dosa kecil harus dibuat demi menghindari dosa yang lebih besar. Dan inilah pilihan yang kubuat. Meretas akses terbatas demi menguak sebuah kebenaran.

Siang menjelang. Aku sedang menikmati makan siang di kantin kala Safa memanggilku.

"Kak! Bang Habibi sudah selesai dengan tugasnya. Ia ingin memperlihatkan hasilnya pada kakak." Ia seperti tergesa-gesa. Napasnya terlihat ngos-ngosan.

"Baik. Saf, panggil kak Salma ya! Suruh ikut nyusul. Dan kak Zaki. Kau juga segera menyusul." Aku pun pergi ke ruangan sekretariat. Aku lihat Habibie sedang mengutak-atik komputernya di sana. Tepatnya, memelototi komputernya. Kedatanganku seperti membuat ia terkejut. Ekspresi wajahnya tertebak. Ia tak ingin aku berada di sini. Tidak sendirian.

"Ada apa, Bie? Dari wajahmu kau tak suka aku berada disini. Ada apa?" Awalnya ia ragu. Tetapi kemudian keberaniannya muncul.

Ia menyodorkan komputernya padaku. Aku kemudian melihat hasil penyelidikannya dan nama teratas yang paling sering berbisnis kotor dengan kepala sekolah adalah ....

Ayahku.

Aku terdiam melihat hasil itu. Aku terpukul. Berbagai spektrum rasa menaungi hatiku. Ayahku yang kukagumi ternyata bermain kotor. Aku kecewa dengannya. Dan aku kecewa dengan dunia gemerlap yang kunikmati. Apa semua ini hanya kepalsuan? Ilusi belaka? Apa aku diguyur dengan harta hasil permainan menipu? Entahlah.

"Simpan data itu hanya untukku, Bi. Kita hanya akan melakukan pengungkapan data yang lain. Bisa kan? Urusan ini urusan pribadi. Kita takkan mengungkapkan ini." Aku memegang bahunya. Berkata dengan nada memohon, tapi tegas.

"Tapi, Lem. Kita sudah sejauh ini. Kita bahkan telah meretas sistem sekolah." Bantahnya padaku.

"Tolonglah aku." Aku mengguncang bahunya.

"Baiklah, Lem."

Ketika yang lain masuk ke ruangan, Habibie kembali menunjukkan hasil retasannya, minus permintaanku. Sejurus kemudian, aku memutuskan bahwa kasus ini tidak perlu diangkat ke permukaan. Banyaknya orang tua siswa yang melakukan bisnis gelap agar anaknya mendapatkan hasil yang memuaskan adalah salah satu alasannya. Kasus ini akan membuat nasib banyak orang hancur. Sebuah alasan yang masuk akal. Padahal ...

Kesepakatan memang bulat hari itu. Tetapi, tiba-tiba saja dua minggu setelahnya, salah satu media nasional menampilkan berita itu sebagai berita utama mereka. Kepala sekolah pun tertangkap. Ayahku bebas. Tak pernah terendus. Hingga kini. Kekurangannya hanya satu. Ia kehilangan aku.

.
.
.

Kring ... alat komunikasiku bergetar. Alat pemancar dan penerima gelombang ultra tinggi itu menampilkan sebaris nama. Aku melihat nama itu. Sebuah nama yang sudah lama tidak kudengar gaungnya. Sebuah hantu masa lalu yang akan mengusik kehidupanku sekali lagi. Berbagai kenangan kembali hadir di benakku. Kenangan pahit-manis-asam yang telah kami lalui bersama.

Kenangan itu berputar cepat. Mulai dari awal hingga momen perpisahan kami di stasiun transportasi pusat yang sedikit mengharukan enam tahun lalu. Ia berputar-putar. Menciptakan sebuah sensasi rasa rindu di hatiku. Membuatku terharu.

"Halo, Uli. Apa kabar? Lama tidak terdengar?" Sapaku usai aku mengangkat sambungan itu.

"Lem, basa-basinya nanti saja ya. Kamu bisa jemput aku di stasiun pusat tranportasi?" Nada bicaranya sedikit berbeda dibandingkan ketika masa remajanya. Aku sedikit asing dengan suaranya. Tetapi, ini memang dia.

"Tunggu. Kamu berada di ibu kota?" Tanyaku dengan nada tidak percaya dan sedikit rasa bingung.

"Ya iyalah, Lem. Jemput aku ya." Nada suaranya terdengar bahagia.

Masalah ini semakin rumit. Dan aku semakin terjebak dalam spektrum kerumitan cerita. Satu masalah belum selesai, sumber lain pun datang menimpa.

Komentar

Postingan Populer