Hilang

Hilang

Sejarah selalu mengajarkan banyak hal yang tidak diungkap di ruang-ruang kelas sekolah formal. Para penulis buku-buku sejarah selalu mampu memberikan perspektif baru yang mampu mengubah pandangan para penikmatnya. Terutama bagi yang mendambakan sesuatu yang membuat jiwanya terperanjat akan suatu yang telah usang dimakan waktu. Lapuk ia mungkin tergesek oleh zaman yang semakin modern. Tetapi, sejarah selalu mempunyai kebijaksanaannya sendiri yang selalu menarik di mata.

Terkadang, bias-bias garis waktu sejarah membuat diri merasa kalau kejadian-kejadian itu terjadi begitu cepat dan tanpa usaha berat yang menghabiskan energi sebanyak ratusan ribu joule. Faktanya, proses sejarah tidak sesingkat barisan kata yang dituliskan oleh para pencatat sejarah dalam merangkum setiap kejadian. Ia kompleks. Ikatan talinya kusut. Berpaut-paut tak dapat terlepas.

Sejarah akan sesuatu yang dapat mengubah peradaban manusia hingga adabnya memancarkan kegemilangan tidak pernah diketahui kapan muasalnya. Ia adalah sesuatu yang mujarad. Menimbulkan debat dan pembahasan panjang. Ia ilmiah tetapi tidak mutlak.

Para sejarawan dengan pencapaian gilang-gemilangnya selalu mencatat lembar-lembar titik terang yang sedikit demi sedikit mengubah pandangan umat manusia terhadap proses penggubahannya. Para penerang itu mencoba berikan terawang. Mencoba membawa para manusia masuk menuju titik terang.

Gubahan garis-garis masa lalu yang disusun rapi itulah yang oleh manusia disebut arsip kehidupan. Beberapa lembar-lembar kehidupan yang pernah menghias kehidupan memang telah terkubur bersama abu para pelaku sejarahnya. Tetapi, rasa penasaran manusia yang tak terbendung dan tak terbatas selalu dapat menyajikan suatu hal baru yang dapat ditampakkan ke muka dunia. Dipamerkan wajahnya ke seluruh jagat.

Sejarah dan prosesnya mengajarkan banyak kebijaksanaan yang tidak dapat ditemukan di aspek-aspek lain kehidupan. Sejarah sering kali membentuk sebuah pola yang berulang-ulang. Pola sejarah paling sering berulang adalah mengenai pembangunan peradaban maju.

Peradaban maju selalu diawali dengan kesulitan manusia dalam menjalani hidup. Kehancuran suatu peradaban selalu dimulai dengan hilangnya rasa menghargai perbedaan. Pola ini terus menerus berulang, membentuk siklus sejarah yang sangat menarik musabab dan dampaknya untuk perkembangan peradaban manusia.

Mempelajari sejarah juga mengajarkan pembacanya untuk dapat mengendalikan emosi dalam hati sebaik-baiknya. Sejarah, dengan berbagai keindahan dan kengeriannya mengajarkan pembacanya untuk dapat bersikap tenang ketika menghadapi kesusahan hidup. Sejarah dengan berbagai tokoh ahli strateginya mengajarkan untuk dapat berpikir jernih dalam situasi apapun. Sejarah dengan politikus liciknya mengajarkan cara untuk bertahan hidup di tengah kerasnya konflik, menjadi oportunis.

Kisah sejarah yang memendam kebijaksanaan itu lah yang membuatku dapat menyembunyikan luka yang kini sedang mendarah di hatiku ketika melihat wanita yang kucintai berdiri di samping seorang zalim yang hendak kuberantas keberadaannya dari atas tanah manusia. Tatapan matanya yang seolah menyiratkan tidak terjadi apapun semakin membuat rasa panas yang menjalar di dalam hati kembali meningkat. Dan sejarah menyembuhkan luka bakar itu dengan keteduhannya.

Cinta mungkin adalah penemuan yang sangat sulit dijelaskan oleh manusia. Keindahan jalarannya yang membuat hati berbunga-bunga seiring pula dengan kesakitan sabetannya yang membuat hati berdarah di dalam. Perasaan ini benar-benar membuatku terbakar di dalam. Seperti dikuliti hidup-hidup saja rasanya.

Tetapi, kebijaksanaan sejarah kali ini benar-benar memberikanku pertolongan pertama yang ampuh menetralisir rasa sakit itu. Dalam sepersekian detik usai ditembak dengan senjata menyakitkan yang melukai dengan sangat itu, kesadaran akan tujuan yang telah kupulun rapi dalam perjalanan kali ini kembali menegaskan kekuasannya. Semangat pun kembali singgah. Luka itu tetap tak sembuh. Tapi, setidaknya ia terlupa.

Matahari semakin meninggi. Panasnya sengatan sang surya bertambah berkali-kali lipat karena pidato panjang Badrun yang dibalas dengan kata-kata memuakkan dari sang gubernur. Kata-kata bujuk rayu gubernur itu memang memuakkan. Tapi, seringkali kepura-puraan itu hampir membuat banyak orang terbuai. Untung saja kepura-puraan itu selalu mampu dimentahkan oleh Badrun. Dibalas dengan kata-kata pahitnya. Dibalas tepat sebelum racunnya tersebar.

Kata-kata Badrun dengan segala kepahitannya mampu dengan sekejap mengubah ekspresi pura-pura sang jagal menjadi ekpresi aslinya yang haus darah. Seringaiannya terpampang nyata. Ia terlihat seperti tokoh serigala di suatu kisah fiksi anak-anak.

"Apa pun yang telah Anda dan antek-antek Anda persiapkan dalam istana berlapis emas Anda kami takkan sudi mencicipinya. Kami menolak! Kami menolak untuk menginjakkan kaki di istana Anda. Asal Anda tahu saja, istana itu adalah persembahan rakyat yang ditindas oleh Anda dan kaum Anda yang hipokrit." Itu adalah salah satu tusukan dari Badrun kepada sang sang antagonis utama kisah ini. Kata-kata yang sukses membuatnya terdiam. Wajahnya memerah seakan telah terbakar api ratusan derajat Celcius.

Setelahnya wajah merah itu mulai hilang, ia kemudian berkata, "Kalian datang ke sini untuk menyampaikan aspirasi kalian. Maka, saya bersedia menyambut kalian dengan suka ria. Tetapi, bagaikan tamu tak punya sopan santun, kalian menolak undangan tuan rumah dengan arogansi yang tak masuk akal. Apa kalian pikir saya jagal yang akan mengotori rumah saya sendiri dengan darah kalian? Apakah kalian masih trauma dengan kejadian di ibu kota tahun lalu? Sebagai informasi, saya jauh lebih terbuka dibandingkan tuanku di ibu kota. Lagipula, kalian datang dengan penuh hormat maka saya juga akan melayani dengan hormat. Jadi, mau kah kalian berdiskusi dengan saya di dalam?"

Badrun menepuk bahuku ketika aku hendak membalas ucapan gubernur. Ia lantas berkata, "Lem, aku tetap pada pendirianku. Kita sudah membahas ini dan kita sudah sepakat kalau ini hanya jebakannya untuk mendapatkan kode akses untuk melacak kita. Tolak saja keinginannya dan kita langsung hajar saja."

"Run, kita ke sini untuk menyampaikan aspirasi. Apa pun risikonya akan kutanggung. Aku hanya memintamu untuk temani aku, Run." Aku sekilas melihat ke arah balkon sebelum kemudian kembali melihat ke kedalaman mata Badrun.

"Jangan bilang .... Ini semua sudah bukan masalah aspirasi. Omong kosong dengan itu semua, Lem. Ayolah berpikir yang lebih jernih!" Badrun sesaat melihat ke balkon itu. Kemudian ia menunduk. Menghela napas.

...

Langkah kakiku sudah maju sepuluh langkah ketika Badrun dan ratusan lainnya akhirnya mengikutiku dengan keraguan yang disamarkan dengan senandung merdu lagu lama. Lagu-lagu penyemangat jiwa. Aku tahu, egoisme adalah parasit hati yang dapat melukai seluruh rencana yang sudah kami rancang. Tetapi, pendar-pendar cahaya yang kuinginkan ini haruslah kugapai. Aku harus melihat wanita itu dari dekat. Menatap ke matanya yang memabukkan itu. Menanyai hatinya.

Kali ini, aku memang egois. Aku mengaku salah. Maaf, Semesta. Tapi, semuanya takkan kusesali. Tak peduli seburuk apa akhir kisah ini.

.
.
.

Ruangan utama istana itu luas dengan berbagai dekorasi bernilai seni tinggi. Sebuah patung yang berasal dari masa keemasan sebuah kekaisaran terbesar sepanjang sejarah peradaban umat manusia terpajang gagah. Sebuah lukisan karya pelukis realisme terbesar dalam sejarah bangsaku bertengger hebat. Memberikan keagungan.

Ruangan itu benar-benar sebuah mahakarya arsitektur. Dengan mata telanjang saja ruangan itu sudah dapat ditebak arsiteknya. Seorang jenius. Bukan hanya menjual nama-nama tak kasat kasar. Tetapi ia menjual sentuhan pemikirannya yang mendekati karya surealis. Pilihannya akan pencampuran warna begitu sangat elegan.

Yang paling menonjol adalah paduan warna di dinding. Paduan warnanya yang meski monokrom tidak terlihat monoton di mata. Ukir-ukiran yang menceritakan tentang sejarah dan kisah-kisah masa lalu turut memberikan kesan tersendiri yang dalam bagi setiap insan yang masuk ke ruangan tersebut.

Barisan pengawal yang berbaris di sisi jalan dengan seragam lengkap itu juga memiliki kesannya sendiri. Semua ini memberikan otakku sebuah kesimpulan. Ini adalah hasil sebuah persiapan matang. Tuan rumah memang benar-benar antusias menyambut mangsanya yang akan segera jadi santapannya. Demi memenuhi nafsunya sebagai sang jagal.

Meskipun dengan ekspresi wajah tenang, entah kenapa debar-debar jantung para penjaga menyiratkan sesuatu yang kurang beres dalam kepalanya. Entah karena aku yang terlalu berlebihan dalam berpikir atau hal ini memang adalah suasana apa adanya.

Suasana ramah yang tadi ditunjukkan di depan istana kini hilang. Compang-camping. Aura asli istana ini perlahan terungkap. Beginilah aslinya istana ini. Indah, megah, tapi bertulah. Terkutuk dengan aura tak mengenakkan.

"Jadi, kami tak mau berlarut-larut. Intinya, kami hanya ingin mendapat kabar yang benar mengenai keadaan para sahabat jurnalis yang ditangkap dan disiksa pihak pemerintah. Kami sudah datang dengan baik-baik dan ingin kami hanyalah mengetahui kabar yang sebenar-benarnya. Tanpa rekayasa. Itikad baik pihak pemerintah lah yang kami harapkan. Tidak lebih tidak kurang." Badrun dengan suara lantangnya yang menggelegar kembali memberikan pendapatnya. Singkat, tajam dan tanpa banyak basa-basi.

Orang itu tersenyum lebar. Senyum yang mengerikan. Senyumnya kemudian bersambut kalimat, "Kalian memang punya energi yang sangat besar. Sayang, energi itu kalian gunakan untuk berbuat suatu hal yang sia-sia. Andai saja kalian sadar dan menggunakan energi kalian untuk membantu pemerintahan. Aku yakin orang-orang seperti kalian bisa membantu banyak." Ia menunjukku dan Badrun. Entah serius atau bukan, ia menujukku.

"Tolong jangan alihkan pembicaraan. Fokus kita adalah masalah kasus delapan wartawan, bukan masalah kami dan energi kami dan tawaran menjadi budak pemerintah." Badrun kembali menyanggah.

Jagal itu kemudian kembali berdusta. Ucapnya, "Baik, jadi kabar yang kalian dengar dari portal media yang mengabarkan penculikan itu tidak benar. Para wartawan tidak pernah diculik. Mereka hanya diajak diskusi oleh maharaja. Setelahnya, mereka secara rahasia diberikan tugas untuk membongkar kebenaran kasus ini. Karena itulah mereka belum kelihatan hingga sekarang. Tidak ada penyiksaan di sini."

"Menyelidiki sebuah kasus tindak pidana bukanlah tugas wartawan, tetapi penyidik dari kepolisian. Jawaban seperti itu sudah mengada-ada demi melindungi kepentingan pemerintah. Kami menolak jawaban seperti itu." Aku yang sudah tidak tahan dengan permainan ini pun menyuarakan yang suara-suara liar yang berkeliaran di dalam kepalaku. Suara-suara itu berteriak-teriak. Teriakannya semakin keras karena kebohongan yang semakin menguat. Kebohongan itu disuarakan oleh para penipu publik yang seolah merasa benar. Merasa suci tapi kotor seperti najis.

Pembicaraan semakin membakar kala mata itu kembali memantulkan cahaya yang sama dengan mataku. Mata yang memabukkan itu kembali membiusi aku dengan sihir yang tak bisa kutolak pengaruh mantranya. Penyihir satu ini mungkin tak punya kuasa terhadap makhluk lain. Tetapi padaku, sihir ini begitu kuat. Menghantarkan energi tak berbatas. Sorot matanya yang menyihir itu kemudian berkata, "Setelah ini kita harus bicara. Tunggu aku di taman."

"Lem, aku merasa lebih baik kita undur diri saja. Sebelum kita semakin terlenakan oleh keramah-tamahan yang janggal ini." Ajakan Aziz yang terdengar penuh dengan pesimisme membuatku tertular virus pesimisme yang tidak kalah dalam.

Para sahabat memang tidak mempunyai urusan lagi di sini. Tapi, aku masih punya urusan rumit yang takkan pudar meski digerus angka-angka digital jam di dinding. Urusan bersama seorang anak manusia yang kucinta dalam hatiku. Kejelasan tentang nasib kisah ini bergantung pada apa yang akan kuhadapi sebentar lagi. Dan beberapa saat yang akan bergulir itu terasa seperti melompati keabadian.

"Bawa mereka keluar, Ziz. Aku masih punya urusan pamungkas. Urusan pribadi." Aku mengatakan hal itu pada Aziz. Ia mengangguk. Setelah izin pamit, aku dan Aziz pun keluar dari ruangan itu. Tetapi, Badrun mencoba menghalang. Memalang.

"Lem, kita belum mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita mau mundur begitu saja? Aku menolak." Badrun dan penolakannya adalah hal paling menyebalkan dalam sejarah peradaban umat manusia. Ia dan tingkahnya yang sering tidak mempunyai dasar-dasar yang wajar di akal sering kali membuat rencanaku menghadapi tembok pemikiran yang sangat kuat. Tembok itu selalu membendung pikiran yang berbeda jalan. Tak peduli ruang dan dimensinya. Tembus batas.

Aku menatap wajah Badrun. Dalam. "Run, dengar aku. Jawaban tadi sudah menyiratkan sesuatu yang jelas. Biarkan mereka bermain dengan kebohongan mereka. Memaksa mereka untuk mengatakan hal yang sebenarnya takkan ada guna. Sekarang aku minta kita untuk keluar. Tidak ada lagi gunanya kita menghabiskan waktu berharga di tempat ini."

"Lem, aku sudah bilang, jangan gegabah. Tetap tenang!" Orang ini memang tidak pernah mau kalah. Ia selalu ingin dominan. Tapi, kali ini aku sudah membulatkan tekad. Tak akan ada lagi yang membuatku goyah. Aku bagaikan karang.

...

Aku terus berjalan keluar dari istana yang sesak dengan kepura-puraan itu. Aku tak menjawab panggilan Badrun lagi. Kuikuti Aziz yang sedang membawa ratusan orang keluar dari perangkap duniawi.

Orang-orang yang sudah rela mengikuti kami itu berbaris keluar. Berjejer setelah menghadapi sesuatu yang mendekati hal sia-sia. Mereka keluar tanpa ada mengeluh. Mereka mencoba untuk tetap tangguh. Meski kehidupan menyeret mereka ke tengah duniawi yang rusuh. Tetapi, mereka tetap mencoba untuk utuh.

Keluar dari ruangan bercita rasa seni yang dipenuhi dengan kepura-puraan itu memberikan sebuah ketenangan baru bagiku. Ruangan pengap yang menyesakkan itu kini telah berlalu. Ruangan Tuhan yang maha indah kini akan memberikan tempat tinggal.

Kini, urusan pribadikulah yang harus kuselesaikan. Urusan dengan seseorang dewi pengutuk itu telah membuat napasku berembus tak nyaman. Membuat dada sesak. Membuatku kesulitan mengeluarkan kata-kata. Membuatku seperti terbelah-belah bagaikan amoeba. Membuatku seperti keping-keping kaca yang berserakan di tanah.

Kupandangi taman yang berjarak dua ratus meter itu. Adakah ruang hijau yang disinari matahari yang menyengat itu akan menjadi tempat berakhirnya kisah ini? Kisah ini mungkin akan berakhir seperti cerita melankolia yang melelahkan. Adakah cinta ini akan secepat itu terkubur karena suatu cerita yang akan usang dibakar oleh amarah?

.
.
.

Barisan para sahabat itu rapat berdiri di depan istana dengan suasana hati beragam. Tiap-tiap orang sedang berbicara dengan mereka yang tadi keluar dari ruangan istana berisi kepura-puraan. Beban pikiran yang memberatkan kepala membuat diri setengah tersadar. Membuat kendali dengan langkah kaki melemah. Hingga, alam bawah sadar kemudian menyeret diri ke taman. Siap untuk menyelesaikan benjolan di hati.

"Kak, maafkan aku telah menghilang lima hari ini. Aku malu, Kak. Aku tak tahu mau bagaimana lagi. Setelah tahu kabar terkutuk itu, hasratku satu-satunya hanyalah kabur dari dunia dan isinya. Lari dari kenyataan yang membuatku tertekan dengan keadaan. Maafkan aku yang telah menyimpan masalah ini sendiri. Aku tidak bisa mengkhianati kalian dan aku juga tidak bisa memgkhianati keluargaku. Aku tidak seperti kakak ..." sebuah suara tiba-tiba datang dari belakangku. Begitu indah. Begitu merdu. Ketika aku berbalik. Aku seperti melihat bidadari surga. Aku seperti memandang ke arah titisan dewi yang agung.

"Seorang pengkhianat. Itulah aku. Kabur dari ibu sendiri. Mempermalukan nama besar keluarga. Dan kehilangan kehormatannya. Jujur, kata-kata yang telah kita bagi bersama dalam setiap pertemuan kita, adakah itu kepura-puraan?" Aku memotong ucapannya. Hatiku yang terpana tak membuat otakku berhenti.

"Kak, cinta kita bukan sandiwara. Itu nyata. Apa Kakak tidak merasakan pancaran cinta yang sudah kita reguk bersama. Menurut kakak itu palsu?" Nada suaranya semakin merdu. Aku semakin tak tahan.

"Keraguanmu padaku sepertinya bukan pura-pura. Sayangnya, rasa yang berada di hati terlalu absurd untuk ditemukan jawabnya. Cintaku padamu adalah sebuah kemurnian rasa. Bila memang rasa yang kau berikan untukku juga adalah rasa yang kemurniannya sama, maka aku berterima kasih padamu. Dan selamat, kau sudah memilih dan menentukan pilihanmu". Aku tertawa getir. Menertawakan takdir.

Air yang berbulir itu jatuh. Isak suaranya mengiringi kelirihan hati yang teriris-iris gumpalan pisau-pisau fana dunia. Sensasi basahnya menyayat-nyayat dinding hati yang sudah rapuh karena tersiram sinaran matahari yang tak berbatas panas. Lembar-lembar buluh yang tipis nan tajam dirajam turut menampakkan taji dengan ketajaman goresannya. Aliran darah tak tampak mengalir dari luka khayal yang terbayang di dalam kepala manusia.

Hati ini kembali melunak mendengar isakan pilu yang menandakan penyesalan dalam yang suci itu. Suaranya terasa tulus. Rasa yang sudah lama kucoba kendalikan pun lenyap, tak mampu kutanggung. Aku menyerah kalah. Takluk oleh kuatnya tarikan magnet sang dewi cinta. Tak tertahan, kuciumi bibir itu dengan lumatan tak terkendali. Nafsuku lepas arah. Aku terjarah. Desah-desah napas yang tertarik terdengar indah bak gubahan sang maestro. Mengalun lembut di telingaku. Memberikan sensasi yang tak dapat dijelaskan. Bahkan oleh hati. Bahkan oleh kejeniusan.

Balasan darinya tak kalah liar. Ia melumat habis bibirku dengan rona merah bibirnya. Lumatannya tak memberi aku waktu untuk bernapas. Aku sesak oleh cintanya. Aku sesak oleh indahnya.

Ciuman saling balas yang panas itu semakin panas di bawah teriknya mentari yang menyegat-nyengat diri. Pandang-pandang mata anak manusia yang berkumpul di halaman istana putih itu turut memberikan kesaksian akan keindahan surgawi yang mereka saksikan dengan kedua mata waras.

"Semenit yang lalu, kamu marah padaku seakan dunia ini akan runtuh karena tertimpa kuatnya guncangan amarahmu kak. Kini, sedetik berlalu usai lumatanmu pada bibirku menghidupkan kupu-kupu yang kini bertengger di hatiku. Seperti yang kau katakan, rasa kita memang terlalu absurd untuk dapat ditemukan sebuah jawaban. Aku tak punya keinginan untuk menjadi pemecah teka-teki, Kak. Inginku hanya untuk berbagi rasa absurd yang sama denganmu." Ia tersenyum. Begitu cantik. Begitu indah. Begitu surgawi.

Keabsurdan rasa itupun kembali terlumat dengan ciuman susulan yang semakin membuat rona-rona merah di bibir bertambah merah. Rasa yang tidak dapat dijelaskan oleh hati manusia. Umpama sajak para pujangga lama, rasa kami adalah puisi yang begitu pribadi hingga tak terjelaskan makna hakikinya.

.
.
.

Cinta dan absurditasnya lewat bagai tak pernah kejadian. Ia hilang dari buku catatan sang pencatat agung. Bayang-bayang kebohongan implisit yang disampaikan oleh seorang jagal berbaju pengayom membuat rasa tidak puas akan keadaan yang menusuk-nusuk jantung semakin berkobar seperti api. Melahap setiap rasa tak dominan di dalam diri. Keinginan untuk mengaburkan rasa yang ada tidak mampu terbuat karena kerja otak yang terus menerus mengilatkan berkas-berkas ketidak puasan nurani.

Jalan-jalan panjang yang dilalui beramai-ramai usai atraksi kebobrokan semesta terasa mudah untuk dilalui meskipun perasaan di dalam hati hancur tak berbentuk. Atraksi itu terbentur dengan ego sendiri dan ego orang-orang tak memedulikan perasaan dunia. Tembok pembatas kampus yang dihiasi dengan warna kebanggaan almamater itu terlihat rapuh karena kelemahan sokongan rasa yang kuat untuk memperbaiki dunia yang telah rusak dibantai oleh kemunafikan para pejabat.

Para pengiring kebenaran itu kembali ke dunianya masing-masing. Mimpi akan hari esok yang lebih baik kembali terlintas dalam kepala. Meskipun otak-otak waras sudah dapat menebak kalau kehancuran sudah di depan mata. Titik-titik kewarasan anak Adam sudah berada di garis nadir. Menunggu untuk hilang dari garis takdir.

Semuanya sudah mencoba tutup mata katup telinga. Berpura-pura buta akan keadaan dunia. Melihat tapi tak berbuat. Merasa tapi tak peka. Masa bodoh.

Bila keadaan semakin memburuk hingga berada di ambang batas garis normalnya, orang-orang akan segera berontak. Jejeran daftar dosa penguasa mungkin sedang dilupakan sejenak. Semuanya karena sensasi rasa lelah yang terus mengungkung. Semuanya menunggu saat yang tepat untuk bangkit. Suatu saat nanti mungkin ketika lawan telah mulai lengah. Mungkin. Atau tidak. Entah.

Bermodalkan langkah-langkah gontai akibat perasaan gagal dan takluk serta perasaan dangkal akibat terperas paras wanita, diri ini bergontai-gontai berjalan menuju ketak terbatasan. Diri manusia yang sudah lama tidak kembali ke ruang sepi tempat diri ini berbagi khayal dengan semesta itu pun mengikuti garis aspal yang dipenuhi kendaraan baja melayang yang takkan terpental di terpa angin. Mungkin badai akan hempaskannya. Mungkin juga badai lah yang kan hempas.

Baja melayang yang bergerak konstan dengan anak manusia berada di atasnya kemudian oleng terdorong oleh kekuatan yang bukan supranatural. Aku terbanting ke depan tetapi disambut oleh teknologi temuan para pahlawan yang berjasa bagi napas-napas manusia yang terpental, terbang dari titik normalnya.

Kendaraan yang kubeli awal tahun lalu ini melayang. Melawan gravitasi. Kemudian keluar dari jalur aspal berarah.

Pintu baja yang disepuh itu kemudian digebuk oleh sebatang baja bercahaya di ujung yang kekuatannya dapat melunakkan baja gubahan para fenomenal itu. Anak Adam itu kemudian diseret. Aku diseret masuk ke dalam truk baja dengan kesadaran setengah atau mungkin kurang. Lemparan diri ke besi itu kemudian menghadiahi rasa sakit alamiah yang menjalar. Begitu nyeri hingga bayang-bayang dunia kemudian memudar. Berpencar.

Komentar

Postingan Populer