Ingatan X: Identitas
Identitas
Seribu tahun yang lalu, hiduplah seorang raja yang ceritanya nantinya akan menjadi inspirasi milyaran manusia yang hidup setelahnya. Dalam sejarah, raja itu diceritakan sebagai pahlawan yang sudah dinubuatkan setengah milenia sebelumnya oleh seorang utusan langit yang juga disepakati oleh seluruh dunia sebagai manusia paling berpengaruh di sepanjang sejarah peradaban.
Raja itu dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya kemudian berhasil menghempaskan sebuah kekuatan kekaisaran maha tangguh yang memudar. Ia akhirnya dikenal sebagai sang pembebas. Seorang yang dikenal dunia sebagai pembuka jalan bagi suatu dinasti di timur dunia. Sebuah dinasti yang akan mendominasi peradaban dunia timur hingga keruntuhannya di penghujung perang besar kurang lebih satu setengah abad silam.
500 tahun usai penaklukkan raja itu, berdirilah seorang pemuda lantang didikan seorang guru besar bangsa. Pemuda itu dengan lantang menolak segala bentuk penjajahan di atas muka Bumi. Bermodalkan tekad baja yang bahkan tidak bisa dilelehkan panasnya meriam musuh dan dinginnya lantai penjara, ia dan rekan-rekannya berhasil mengusir penjajah dari tanah hijau indah itu. Ia adalah sang pembebas lainnya. Seorang putra fajar. Penyambung lidah rakyatnya. Seorang pencinta keindahan.
Sejak penciptaan manusia beratus ribu tahun yang silam, berpuluh-puluh miliar manusia sudah terlahir dan mati. Membentuk siklus kehidupan yang hampir mustahil diciptakan oleh bahkan seniman sekelas dan sejenius apapun. Siklus kehidupan yang begitu kompleks dan sempurna itu disebut manusia dengan ekosistem. Berbagai penelitian dibuat untuk meneliti pengaruhnya terhadap kehidupan di atas Bumi. Semuanya sepakat akan satu hal. Mengubahnya hanya akan berakhir bencana.
Hanya kekuatan maha di atas segalalah yang sanggup mencipta dan menghancurkan siklus keabadian itu. Kekuatan maha di atas segala yang mengatur mekanismenya hingga ke tingkat-tingkat tak terjangkau oleh khayal insani. Kekuatan itu adalah sang Maha, tidak bisa dibandingkan dengan apa pun yang berdiri atau bersentuhan dengan tanah. Kekuatan itu adalah kekuatan itu sendiri. Ia tak berbanding. Dan ia menjaga siklus itu.
Di atas tanah ini lah manusia menciptakan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban maju. Di sini pula manusia menciptakan perdamaian dan memukul genderang peperangan yang berputar-putar berganti-ganti di atas dunia. Raja-raja silih berganti duduk di atas takhta emas berlapis berlian seribu karat. Beribu-ribu raja menyatakan diri sebagai penguasa di atas penguasa. Ketidak puasan dan keserakahan manusia bertumpuk-tumpuk menimbulkan tarikan pedang yang menebas manusia lain seakan ia berhak mencabut nyawa itu. Seakan manusia yang tertebas itu tidak punya hak untuk menginjakkan kakinya di atas tanah dunia. Ia sang jagal kejam yang tak memilih korbannya. Takhta menghalalkan segala cara. Ia tak mengenal dosa.
Tadi pagi dunia manusia, maya dan nyata, pecah ketenangan usai dua orang kerabat maharaja tertangkap tangan melakukan tindak pidana penyuapan kepada 18 orang demang. Sebenarnya niatan baik istana dalam mengusut masalah ini sudah disambut dengan baik oleh masyarakat luas. Tetapi, sikap represif pemerintah kepada delapan jurnalis yang ditangkap oleh penjaga istana ketika bertugas, meskipun mereka tidak melakukan pelanggaran telah memancing amarah masyarakat. Dunia yang tenang kini rusuh oleh teriakan-teriakan yang dikode dalam bahasa-bahasa komputer.
Usai mendapat hasil riset dari Aziz sejam yang lalu, kami memutuskan untuk melakukan penyampaian aspirasi besok hari di depan kantor gubernur. Ketua Forum Organisasi Kampus Nasional juga telah menghubungi Badrun setengah jam yang lalu untuk memberi kabar tentang penyampaian asa yang juga akan dilakukan di ibu kota.
Siang ini, kami akan mengadakan pembahasan tentang agenda yang akan kami sampaikan besok di hadapan tuan gubernur. Semoga saja hati mereka kali ini tidak setertutup tahun lalu.
Aku berjanji kali ini aku takkan melepaskan kesempatan emas untuk menghentikan kegilaan yang sudah terlalu menjadi-jadi di atas tanah negeriku. Kali ini, kegilaannya sudah terlalu memuakkan. Nalarku sudah tidak sanggup menerima hal-hal seperti ini. Aku mungkin bulan pembebas seperti sang raja atau sang pemuda. Meski begitu, setidaknya aku tidak lepas tangan dengan apa yang terjadi di depan mataku dan inilah pilihanku. Melawan kezaliman.
.
.
.
Matahari bersinar terang benderang dan menyengat kulit. Wajah-wajah kebanyakan manusia Bumi sedang lesu akibat kombinasi sempurna rasa haus, kelelahan, dan menahan amarah. Kupandangi Badrun yang sedang menulis sesuatu yang entah bagaimana terasa asing bagiku siang ini. Padahal, persahabatan kami sudah membuat kami berpisah dalam waktu yang sulit melebihi 1000 detik. Duo jeniusku juga sedang mengernyitkan kening menghitung berbagai kemungkinan untuk strategi besok. Kami semua sibuk. Rasanya seperti terbakar. Hatiku terbakar. Bukan oleh cinta Aisyah. Tetapi, oleh amarah dan gelisah.
Situasi hening ini lumayan menyiksa batin karena kekompleksan rasa yang mengiringinya. Di satu sisi, rasa marah yang menggebu-gebu dalam hatiku sudah membuat kondisi kejiwaan hampir terberangus karena panasnya yang tidak mampu ditahan oleh segel hati. Lain halnya dengan situasi otak yang sedang memikirkan segala kemungkinan rencana besok. Rencana yang mungkin akan menjadi kisah perjuangan paling bersejarah dalam berpuluh-puluh tahun terakhir. Mungkin saja semuanya akan berakhir kali ini. Mungkin.
Bila tahun lalu, para penegak hukum dipaksa oleh rezim terkutuk untuk menggunakan peluru tajam demi menghentikan suara-suara para penyeru perubahan, aku penasaran tahun ini mereka mau apa. Akankah mereka menggunakan senjata yang lebih mematikan? Senjata pemusnah massal mungkin. Senjata pemusnah kehidupan Bumi? Mungkin.
Apa senjata berat mutakhir akan dikerahkan oleh para penakut untuk menakuti gerombolan singa tidur yang terusik dan hendak mengaum kepada para kambing serakah? Yang pasti, kebusukan para pemalsu sejarah akan terombang-ambing dalam raut wajah kebingungan apabila kedok mereka terbongkar oleh kelompok-kelompok analis muda yang mampu menelanjangi otak. Mereka akan kalah.
Dalam situasi panas seperti ini, Aisyah tidak sedikitpun hadir memberikan inspirasi kepadaku baik dalam bentuk bisikan maupun ilham yang disampaikannya lewat mimpi atau mungkin surat. Entah mengapa aku merasa kalau dalam situasi panas, aku akan selalu berseberangan dengannya. Tidak peduli cinta seperti apa yang kami tawarkan kepada dunia, pada dasarnya pertolakan pikiran akan selalu menjadi hantu kejam yang membuat kami bak magnet satu kutub. Tidak dapat bersatu.
Lagipun, Aisyah itu sudah jauh tertinggal ratusan detik. Ia hilang ditelan oleh dimensi tak terendus dalam tiga hari terakhir. Marah ia mungkin oleh betapa sibuknya aku yang sedang mempersiapkan pelepasan jabatan akhir tahun ini. Biarlah. Lagipula, ia juga sedang sibuk dengan organisasinya. Ia sedang sibuk. Aku sedang sibuk. Kami hanya terlalu lelah untuk ....
Menjauh? Mungkin. Marah? Entahlah. Aku tak punya jawabnya.
Matahari sudah mulai mereda panasnya, tetapi kepala belum menemukan cara terbaik untuk mendingin. Ruangan tempat kami biasa mengumpulkan ide-ide itu semakin ramai dengan kepala-kepala manusia yang siap untuk menggempur besok hari di hadapan ribuan massa lainnya. Situasi panas yang berada di kepala dan hati tidak boleh membuat kami berada di luar kendali, segalanya punya aturan. Setidaknya begitulah yang kupercayai dan kami percayai.
Matahari sudah hampir mendekati garis hilangnya kala aku membuka rapat. Dengan suara yang hampir tak mau keluar, aku berkata, "Kawan-kawan, sengaja aku memberikan kesempatan bagi kita semua untuk berpikir matang selama seharian ini untuk dapat memikirkan strategi terbaik yang akan digunakan dalam penjajalan besok. Memang, sejak setahun terakhir, sejak penyampaian pendapat di depan istana di ibu kota, kita diam dan tertidur. Kita diam karena tak ada guntur yang menyambar. Tapi kali ini jiwa demokrasi kita akan kembali ditembusi dengan suatu ide liar di masa neo-kolonialisme rezim zalim. Bila tahun lalu aku hampir kehilangan nyawa dan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan lanjutan, maka apabila kali ini kesempatan untuk hidup itu benar-benar pupus, itu semua akan menjadi kebanggaan bagiku dan aku takkan pernah menyesal mati demi membela sesuatu yang benar dan layak diperjuangkan. Aku akan mati bangga. Tercerahkan. Selanjutnya, demi waktu yang tak layak tersia-siakan, penjelasan strategi dan mekanisme besok akan langsung dijelaskan oleh Aziz. Aziz, silakan!"
Aziz mengambil alih forum. Dengan suara seraknya ia berkata, "Kawan-kawan, karena hari ini kita tidak punya waktu banyak, aku akan menjelaskan garis besar rencana kita besok dengan cepat. Dengarkan pelan-pelan. Cerna maknanya. Tanya bila ada yang janggal. Ini bukan rencana sempurna. Tapi, sudah pernah berjalan sempurna. Intinya begini, pihak kepolisian atau pihak berwajib atau aparat atau apalah istilahnya telah memasang delapan titik kamera yang dapat mempreteli identitas orang yang tersorot. Dari situlah mereka nantinya akan mengikuti orang itu dan kemudian menangkapnya. Menyergapnya dengan kecepatan tinggi. Strategi kita sederhana. Tugas kita adalah menghindari pemindai ini dengan memanipulasi sudut pengambilan gambarnya atau memanipulasi titik fokusnya. Sederhananya begini, gunakan waktu sekitar 3 nano detik untuk menghindari sudut pengambilan gambarnya. Sederhana tapi sulit. Perhitungannya rumit, tapi akurat. Sulit tapi pekat."
Sesaat, Aziz melihat kepadaku. Aku melihat keraguan di matanya. Aku kemudian mengangguk untuk memberikannya kekuatan. Aku menatapnya dan menyalurkan rasa percaya. Ia kemudian melanjutkan, "Bagian tersulit dari misi kita kali ini bukanlah menghindari alat pemindai super itu. Masalah yang paling berat adalah revolver MR1256RP yang dirancang oleh Profesor Usmar Hasan. Untuk sekadar informasi, revolver ini mampu melacak targetnya hingga 360 derajat. Hampir tanpa titik buta. Hal yang membuat revolver ini begitu mematikan adalah cara kerjanya yang menggunakan lensa optik pelacak intensitas cahaya sasaran tembaknya. Kabar baiknya, aku mendapat akal untuk mengakalinya, aku akan mengakalinya dengan lensa sintesis yang berwarna gelap dan tidak memantulkan cahaya atau membiaskannya. Lensa ini akan menahan sorotan sensor penangkap sinyal yang hendak dicuri oleh sang revolver mematikan. Satu pesanku pada kalian. Meski hati semakin panas, otak harus semakin cerdas."
Aziz mengangguk padaku dan aku membalasnya. Kami begitu optimis. Semangat kami membara. Menyala-nyala. Menjilat-jilat. Pekat.
Seribu tahun yang lalu, hiduplah seorang raja yang ceritanya nantinya akan menjadi inspirasi milyaran manusia yang hidup setelahnya. Dalam sejarah, raja itu diceritakan sebagai pahlawan yang sudah dinubuatkan setengah milenia sebelumnya oleh seorang utusan langit yang juga disepakati oleh seluruh dunia sebagai manusia paling berpengaruh di sepanjang sejarah peradaban.
Raja itu dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya kemudian berhasil menghempaskan sebuah kekuatan kekaisaran maha tangguh yang memudar. Ia akhirnya dikenal sebagai sang pembebas. Seorang yang dikenal dunia sebagai pembuka jalan bagi suatu dinasti di timur dunia. Sebuah dinasti yang akan mendominasi peradaban dunia timur hingga keruntuhannya di penghujung perang besar kurang lebih satu setengah abad silam.
500 tahun usai penaklukkan raja itu, berdirilah seorang pemuda lantang didikan seorang guru besar bangsa. Pemuda itu dengan lantang menolak segala bentuk penjajahan di atas muka Bumi. Bermodalkan tekad baja yang bahkan tidak bisa dilelehkan panasnya meriam musuh dan dinginnya lantai penjara, ia dan rekan-rekannya berhasil mengusir penjajah dari tanah hijau indah itu. Ia adalah sang pembebas lainnya. Seorang putra fajar. Penyambung lidah rakyatnya. Seorang pencinta keindahan.
Sejak penciptaan manusia beratus ribu tahun yang silam, berpuluh-puluh miliar manusia sudah terlahir dan mati. Membentuk siklus kehidupan yang hampir mustahil diciptakan oleh bahkan seniman sekelas dan sejenius apapun. Siklus kehidupan yang begitu kompleks dan sempurna itu disebut manusia dengan ekosistem. Berbagai penelitian dibuat untuk meneliti pengaruhnya terhadap kehidupan di atas Bumi. Semuanya sepakat akan satu hal. Mengubahnya hanya akan berakhir bencana.
Hanya kekuatan maha di atas segalalah yang sanggup mencipta dan menghancurkan siklus keabadian itu. Kekuatan maha di atas segala yang mengatur mekanismenya hingga ke tingkat-tingkat tak terjangkau oleh khayal insani. Kekuatan itu adalah sang Maha, tidak bisa dibandingkan dengan apa pun yang berdiri atau bersentuhan dengan tanah. Kekuatan itu adalah kekuatan itu sendiri. Ia tak berbanding. Dan ia menjaga siklus itu.
Di atas tanah ini lah manusia menciptakan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban maju. Di sini pula manusia menciptakan perdamaian dan memukul genderang peperangan yang berputar-putar berganti-ganti di atas dunia. Raja-raja silih berganti duduk di atas takhta emas berlapis berlian seribu karat. Beribu-ribu raja menyatakan diri sebagai penguasa di atas penguasa. Ketidak puasan dan keserakahan manusia bertumpuk-tumpuk menimbulkan tarikan pedang yang menebas manusia lain seakan ia berhak mencabut nyawa itu. Seakan manusia yang tertebas itu tidak punya hak untuk menginjakkan kakinya di atas tanah dunia. Ia sang jagal kejam yang tak memilih korbannya. Takhta menghalalkan segala cara. Ia tak mengenal dosa.
Tadi pagi dunia manusia, maya dan nyata, pecah ketenangan usai dua orang kerabat maharaja tertangkap tangan melakukan tindak pidana penyuapan kepada 18 orang demang. Sebenarnya niatan baik istana dalam mengusut masalah ini sudah disambut dengan baik oleh masyarakat luas. Tetapi, sikap represif pemerintah kepada delapan jurnalis yang ditangkap oleh penjaga istana ketika bertugas, meskipun mereka tidak melakukan pelanggaran telah memancing amarah masyarakat. Dunia yang tenang kini rusuh oleh teriakan-teriakan yang dikode dalam bahasa-bahasa komputer.
Usai mendapat hasil riset dari Aziz sejam yang lalu, kami memutuskan untuk melakukan penyampaian aspirasi besok hari di depan kantor gubernur. Ketua Forum Organisasi Kampus Nasional juga telah menghubungi Badrun setengah jam yang lalu untuk memberi kabar tentang penyampaian asa yang juga akan dilakukan di ibu kota.
Siang ini, kami akan mengadakan pembahasan tentang agenda yang akan kami sampaikan besok di hadapan tuan gubernur. Semoga saja hati mereka kali ini tidak setertutup tahun lalu.
Aku berjanji kali ini aku takkan melepaskan kesempatan emas untuk menghentikan kegilaan yang sudah terlalu menjadi-jadi di atas tanah negeriku. Kali ini, kegilaannya sudah terlalu memuakkan. Nalarku sudah tidak sanggup menerima hal-hal seperti ini. Aku mungkin bulan pembebas seperti sang raja atau sang pemuda. Meski begitu, setidaknya aku tidak lepas tangan dengan apa yang terjadi di depan mataku dan inilah pilihanku. Melawan kezaliman.
.
.
.
Matahari bersinar terang benderang dan menyengat kulit. Wajah-wajah kebanyakan manusia Bumi sedang lesu akibat kombinasi sempurna rasa haus, kelelahan, dan menahan amarah. Kupandangi Badrun yang sedang menulis sesuatu yang entah bagaimana terasa asing bagiku siang ini. Padahal, persahabatan kami sudah membuat kami berpisah dalam waktu yang sulit melebihi 1000 detik. Duo jeniusku juga sedang mengernyitkan kening menghitung berbagai kemungkinan untuk strategi besok. Kami semua sibuk. Rasanya seperti terbakar. Hatiku terbakar. Bukan oleh cinta Aisyah. Tetapi, oleh amarah dan gelisah.
Situasi hening ini lumayan menyiksa batin karena kekompleksan rasa yang mengiringinya. Di satu sisi, rasa marah yang menggebu-gebu dalam hatiku sudah membuat kondisi kejiwaan hampir terberangus karena panasnya yang tidak mampu ditahan oleh segel hati. Lain halnya dengan situasi otak yang sedang memikirkan segala kemungkinan rencana besok. Rencana yang mungkin akan menjadi kisah perjuangan paling bersejarah dalam berpuluh-puluh tahun terakhir. Mungkin saja semuanya akan berakhir kali ini. Mungkin.
Bila tahun lalu, para penegak hukum dipaksa oleh rezim terkutuk untuk menggunakan peluru tajam demi menghentikan suara-suara para penyeru perubahan, aku penasaran tahun ini mereka mau apa. Akankah mereka menggunakan senjata yang lebih mematikan? Senjata pemusnah massal mungkin. Senjata pemusnah kehidupan Bumi? Mungkin.
Apa senjata berat mutakhir akan dikerahkan oleh para penakut untuk menakuti gerombolan singa tidur yang terusik dan hendak mengaum kepada para kambing serakah? Yang pasti, kebusukan para pemalsu sejarah akan terombang-ambing dalam raut wajah kebingungan apabila kedok mereka terbongkar oleh kelompok-kelompok analis muda yang mampu menelanjangi otak. Mereka akan kalah.
Dalam situasi panas seperti ini, Aisyah tidak sedikitpun hadir memberikan inspirasi kepadaku baik dalam bentuk bisikan maupun ilham yang disampaikannya lewat mimpi atau mungkin surat. Entah mengapa aku merasa kalau dalam situasi panas, aku akan selalu berseberangan dengannya. Tidak peduli cinta seperti apa yang kami tawarkan kepada dunia, pada dasarnya pertolakan pikiran akan selalu menjadi hantu kejam yang membuat kami bak magnet satu kutub. Tidak dapat bersatu.
Lagipun, Aisyah itu sudah jauh tertinggal ratusan detik. Ia hilang ditelan oleh dimensi tak terendus dalam tiga hari terakhir. Marah ia mungkin oleh betapa sibuknya aku yang sedang mempersiapkan pelepasan jabatan akhir tahun ini. Biarlah. Lagipula, ia juga sedang sibuk dengan organisasinya. Ia sedang sibuk. Aku sedang sibuk. Kami hanya terlalu lelah untuk ....
Menjauh? Mungkin. Marah? Entahlah. Aku tak punya jawabnya.
Matahari sudah mulai mereda panasnya, tetapi kepala belum menemukan cara terbaik untuk mendingin. Ruangan tempat kami biasa mengumpulkan ide-ide itu semakin ramai dengan kepala-kepala manusia yang siap untuk menggempur besok hari di hadapan ribuan massa lainnya. Situasi panas yang berada di kepala dan hati tidak boleh membuat kami berada di luar kendali, segalanya punya aturan. Setidaknya begitulah yang kupercayai dan kami percayai.
Matahari sudah hampir mendekati garis hilangnya kala aku membuka rapat. Dengan suara yang hampir tak mau keluar, aku berkata, "Kawan-kawan, sengaja aku memberikan kesempatan bagi kita semua untuk berpikir matang selama seharian ini untuk dapat memikirkan strategi terbaik yang akan digunakan dalam penjajalan besok. Memang, sejak setahun terakhir, sejak penyampaian pendapat di depan istana di ibu kota, kita diam dan tertidur. Kita diam karena tak ada guntur yang menyambar. Tapi kali ini jiwa demokrasi kita akan kembali ditembusi dengan suatu ide liar di masa neo-kolonialisme rezim zalim. Bila tahun lalu aku hampir kehilangan nyawa dan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan lanjutan, maka apabila kali ini kesempatan untuk hidup itu benar-benar pupus, itu semua akan menjadi kebanggaan bagiku dan aku takkan pernah menyesal mati demi membela sesuatu yang benar dan layak diperjuangkan. Aku akan mati bangga. Tercerahkan. Selanjutnya, demi waktu yang tak layak tersia-siakan, penjelasan strategi dan mekanisme besok akan langsung dijelaskan oleh Aziz. Aziz, silakan!"
Aziz mengambil alih forum. Dengan suara seraknya ia berkata, "Kawan-kawan, karena hari ini kita tidak punya waktu banyak, aku akan menjelaskan garis besar rencana kita besok dengan cepat. Dengarkan pelan-pelan. Cerna maknanya. Tanya bila ada yang janggal. Ini bukan rencana sempurna. Tapi, sudah pernah berjalan sempurna. Intinya begini, pihak kepolisian atau pihak berwajib atau aparat atau apalah istilahnya telah memasang delapan titik kamera yang dapat mempreteli identitas orang yang tersorot. Dari situlah mereka nantinya akan mengikuti orang itu dan kemudian menangkapnya. Menyergapnya dengan kecepatan tinggi. Strategi kita sederhana. Tugas kita adalah menghindari pemindai ini dengan memanipulasi sudut pengambilan gambarnya atau memanipulasi titik fokusnya. Sederhananya begini, gunakan waktu sekitar 3 nano detik untuk menghindari sudut pengambilan gambarnya. Sederhana tapi sulit. Perhitungannya rumit, tapi akurat. Sulit tapi pekat."
Sesaat, Aziz melihat kepadaku. Aku melihat keraguan di matanya. Aku kemudian mengangguk untuk memberikannya kekuatan. Aku menatapnya dan menyalurkan rasa percaya. Ia kemudian melanjutkan, "Bagian tersulit dari misi kita kali ini bukanlah menghindari alat pemindai super itu. Masalah yang paling berat adalah revolver MR1256RP yang dirancang oleh Profesor Usmar Hasan. Untuk sekadar informasi, revolver ini mampu melacak targetnya hingga 360 derajat. Hampir tanpa titik buta. Hal yang membuat revolver ini begitu mematikan adalah cara kerjanya yang menggunakan lensa optik pelacak intensitas cahaya sasaran tembaknya. Kabar baiknya, aku mendapat akal untuk mengakalinya, aku akan mengakalinya dengan lensa sintesis yang berwarna gelap dan tidak memantulkan cahaya atau membiaskannya. Lensa ini akan menahan sorotan sensor penangkap sinyal yang hendak dicuri oleh sang revolver mematikan. Satu pesanku pada kalian. Meski hati semakin panas, otak harus semakin cerdas."
Aziz mengangguk padaku dan aku membalasnya. Kami begitu optimis. Semangat kami membara. Menyala-nyala. Menjilat-jilat. Pekat.
Komentar
Posting Komentar