Penguntit

Penguntit

Pagi menyerbu aku dengan kehangatan dan rasa ramah. Hatiku menjawab perasaan nyaman ini dengan sebuah jawaban yang begitu menggetarkan hati. Hari kemarin yang dipenuhi dengan pendar-pendar rasa bersalah entah mengapa sirna semua. Bayang-bayang wajah manusia penipu yang sanggup membolak-balik perasaan dan pandangan akan kehidupan memang masih menghantui diri. Tapi, biarlah manusia itu terus berkutat dengan kebohongannya yang fana. Kupun bisa membohongi diri sendiri dengan kepura-puraan yang takkan bisa ditebak oleh hati orang lain. Tetapi, rasa senang yang menjalar ke dasar sanubari ini bukanlah sebuah kepura-puraan.

Matahari pagi itu mengiringi kembalinya aku ke dunia nyata. Dunia nyata yang menghilang ketika aku berkutat dengan jalan pikiran alam bawah sadarku dalam sekian hari terakhir. Pikiran pekat akan kegelapan dan kekelaman kehidupan perlahan memudar usai kembalinya aku ke kamar indekosku kemarin malam. Aura kepura-puraan yang menjijikkan yang berusaha kulawan kini telah lenyap. Perasaan persahabatan yang kuat kembali kurasakan mengalir dan menjalar dari dinding-dinding dingin yang berlapis cat berwarna kesukaanku, biru langit.

Biru langit melambangkan sesuatu yang bersifat bebas. Langit, lautan, adalah beberapa contoh betapa bebasnya warna itu. Langit yang melambangkan keindahan yang tak semua orang dapat menyaksikannya. Langit dengan filosofinya yang dapat membuat orang menguap-nguap lebar atau berjingkrak-jingkrak bahagia. Langit adalah refleksi semesta yang begitu indah. Melindungi makhluk yang berada di bawahnya dengan atmosfir. Sang langit, angkasa raya yang akan dipenuhi dengan gemintang saat malam singgah dan bertenggerlah matahari dengan kehangatannya saat siang datang.

Lautan beda pula. Dengan fakta bahwa segala makhluk terdiri dari mayoritas air, lautan memberikan kehidupan yang sangat banyak bagi makhluk-makhluk dunia beserta dunianya sendiri. Bumi yang indah ini didominasi oleh air lautan yang seolah tak berbatas ruang dan waktu. Leluhurku dahulu adalah penjelajah lautan dengan kapal-kapal layar mereka yang membentang-bentang kegagahannya.

Lautan mungkin lebih identik dengan masa lalu umat manusia. Tetapi, tanpa masa lalu umat manusia itu, para profesor pengukir masa depan itu takkan mampu menciptakan balok-balok melayang yang digunakan manusia masa kini untuk berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Atau para pengkhayal akan burung besi itu takkan mampu merumuskan khayalannya dalam bentuk persamaan yang tak berbatas akal manusia.

Pagar pembatas dunia beradab dengan pembentuk perdaban itu terlihat lebih agung dari pada biasanya. Lalu-lalang para anak muda dengan berbagai ekspresi turut menambah keagungan tembok agung yang dibangun oleh arsitek luar biasa itu.

Tembok agung itu pada dasarnya tidak berbeda dengan kebanyakan tembok pembatas yang pernah diciptakan manusia dalam sejarah penciptaan peradaban. Tembok itu hanyalah coran beton yang dicat dengan warna alamiah dunia. Tetapi, seperti kusebut sebelumnya, tembok ini adalah pembatas bagi dua dunia yang berbeda tujuan. Memberikan batas kepada setiap insannya agar dapat menghargai proses menuju dunia luar, dunia beradab. Di balik tembok inilah mahligai pembentuk peradaban itu mengumpulkan tenaga dengan segenap jiwa dan raganya agar ia tak tergilas oleh cepatnya akselerasi sang peradaban. Di sini pula ia beradaptasi dengan genggaman kehidupan dengan mencari-cari sinkronisaisi mimpi dengan pemiliknya serta jalan-jalan panjang penggapaiannya.

Kumasuki tembok tebal yang agung dan penting tersebut. Tulisan 'SELAMAT DATANG PARA PEMBENTUK MASA DEPAN' itu sudah berkali-kali membuatku terharu. Sepenting inikah aku dalam kehidupan yang fana ini? Pembentuk masa depan. Apakah masa depan yang akan kubentuk akan menjadi masa depan yang dapat menampung mimpi-mimpi para anak bangsa yang tak habis-habisnya terhancurkan oleh kekerasan duniawi yang begitu terasingkan oleh kata keadilan.

Kuberjalan menuju ke ruangan yang akan kugunakan sepagi ini sebagai tempatku mendengarkan Profesor Zainal, manusia yang akan membantuku mewujudkan mimpi para pengukir tulisan yang mengiringi pintu gerbang tembok agung itu. Profesor Zainal adalah salah seorang profesor berhati baja tetapi begitu tulus dalam mengukir setiap lempung tanah liat yang dihadapkan kepada putaran tangannya untuk dibentuk menjadi karya seni tingkat tinggi. Sebuah mahakarya.

Sang profesor terkenal dengan nada suaranya yang menggelegar ketika berbicara dan energinya yang tidak pernah habis dalam mengajarkan ilmu-ilmu pembentuk masa depan kepada para pembentuknya. Sang profesor yang juga merupakan ahli filsafat termuda itu adalah teman diskusi kesukaan manusia. Ia berdiskusi tidak dengan mendebat dan menghancurkan opini teman diskusinya dan membalasnya dengan pendapatnya seolah pendapatnya itu adalah sebuah firman langit yang harus dituruti semesta.

Ia menghargai setiap pendapat yang keluar dari lisan kawan diskusinya. Sehatnya atmosfir diskusi dengannya lah yang membuat kelasnya yang sebenarnya berat terasa seperi taman bermain yang asyik untuk dinikmati.

Sepuluh menit lagi kelas filsafat dasar akan dibuka oleh sang profesor. Usai minggu lalu ia membahas tentang sejarah peradaban manusia dan filosofi setiap eranya, minggu ini ia telah berjanji akan membahas tentang jalan pikiran Socrates. Sebuah topik yang membuat aku dan para teman sekelas langsung bersorak sorai usai ia menutup kelasnya tujuh hari silam.

Kemarin malam saja aku sudah menghabiskan tujuh artikel mengenai Socrates dan dasar pemikiran serta pendapat tokoh lain terhadap sang maha guru filsafat ini. Hatiku mengerut sedih saat mendapati akhir hidup Socrates yang mati dieksekusi dengan bunuh diri meminum Conium maculatum atau sejenis racun cemara. Keasyikan akibat membaca tentang Socrates lah yang membuatku terlupa akan kejadian pengembalianku ke dunia nyata. Hingga matahari pagi ini kembali membawaku ingatan itu. Tetapi, urusan mengenai hal-hal itu baru akan kuurus usai Socrates.

Diskusi mengenai Socrates itu berjalan seru. Pembahasan tentang mahaguru filsuf ini begitu intim di hati dan aku merasa ikatanku dengan objek pembahasan begitu dekat. Padahal, selain mendengarkan namanya yang sering disebut dalam forum-forum, aku baru saja semalam mendalami kisah hidup orang hebat ini. Meskipun dalam semalam, aku sudah langsung terpukau dengan jalan pikirannya yang begitu indah dengan berbagai pemikiran yang banyak diterapkan oleh manusia-manusia zaman sekarang. Socrates adalah sebuah kemajuan peradaban yang berpikir terlalu maju di masanya. Terkadang, pikiran Socrates terlalu sulit untuk dipahami oleh manusia di zamannya. Pikiran Socrates yang maju itu tak dapat terkekang oleh kemajuan zaman dan masih terasa sangat relevan usai ribuan tahu setelah kematiannya.

"Aisyah, saya perhatikan kamu dari tadi begitu menikmati diskusi kita mengenai Bapak Socrates. Kamu sampai tersenyum-senyum karena apa? Coba kamu berikan pendapatmu tentang Socrates. Saya belum mendengat suaramu sepagi ini." Suara Profesor Zainal langsung membuatku terperanjat dan mungkin salah tingkah. Tapi, kebiasaan berpikir tenang membuat aku dapat mengendalikan keadaan dengan baik. Pandanganku pun langsung kuarahkan ke depan dengan tenang.

Dengan sedikit tersenyum aku menjawab, "Socrates adalah maha karya pemikiran yang cara berpikirnya terlalu maju untuk zamannya. Seorang Socrates yang begitu agung dengan pemikiran ajaibnya dapat melahirkan seorang Plato dan Aristoteles yang banyak mengajarkan konsep-konsep kemajuan berpikir, bahkan pada ratusan generasi setelah mereka. Socrates dengan segala isi kepalanya takkan mampu disaingi oleh kebanyakan manusia modern, bahkan oleh para cendikiawan bergelar profesor masa kini. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para pemikir kekinian, saya masih merasa menyaingi atau merasa sanggup menyaingi seorang Socrates merupakan suatu pemikiran absurd yang tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh sang pengungkap. Begitu dangkal dan tidak memiliki dasar pemikiran yang kokoh dan nyata. Hanya berdasarkan pada opini yang terlalu arogan tetapi kosong. Hampa."

Tepuk tangan para hadirin yang berada di ruangan langsung membuat aku terbang ke atas langit. Ungkapan sang profesor selanjutnya, "Sangat cerdas! Wajar sang pemimpin kampus memilih kamu sebagai sandaran hatinya." membuat aku semakin melayang-layang ke atas langit ke tujuh. Ungkapan itu langsung disambut dengan teriakan-teriakan para kera pintar yang semakin menerbangkan aku hingga tak dapat lagi menjengkali Bumi.

Pendapatku itu kemudian ditampilkan sebagai penutup diskusi hari itu. Diskusi yang sangat berkesan bagiku. Membuatku semakin mengagumi tokoh maha filsuf yang menjadi topik diskusi pagi ini.

Denting-denting ingatan kemudian menggelitikku. Teringat aku kalau aku harus menemui sesosok manusia yang telah berjasa mengembalikanku ke dunia nyata. Sosok lelaki yang telah mengukir namanya hingga terpatri nama manusia di hatiku. Aku harus segera menemuinya. Tapi, aku masih punya urusan sedikit.

.
.
.

Gedung sekretariat yang dalam beberapa helaan siklus matahari terbit menjadi rumah kesekianku itu terlihat asing. Padahal, aku baru beberapa hari tak mengunjungi ruangan para jurnalis kampus yang beberapa kali terlibat kegentingan masa muda dengan lelakiku. Dalam satu pembicaraan intim kami dari ratusan lainnya, ia mengungkapkan kalau pemimpin redaksi pers kampus ini sebenarnya punya bakat yang sangat besar andai saja jilatannya kepada sosok atas dapat dikurangi beratus-ratus persen. Ungkapan yang menarik ini berhasil membuatku membaca karya sang pemimpin redaksi. Tulisannya memang sangat puitis dengan diksi yang sangat beragam, mendekati kumpulan kata-kata tak terakses oleh kerja otak.

Tapi, seperti kata sang Pemimpin Kampus, tulisan salah satu penulisnya lah yang paling membuat hati panas. Tulisan itu benar-benar sukses membangkitkan jiwa nihilisme pembacanya dengan kosongnya makna yang ditekankan dalam setiap tulisannya. Tulisan itu terlihat sebagai hasil kerja orang yang hanya mengecek tesaurus bahasa Indonesia tanpa ada niat untuk menyingkronkan kalimat-per-kalimat agar dapat menyatu dengan baik dan memberikan makna yang sempurna.

Tulisan itu benar-benar tidak mempunyai sumber inspirasi yang dapat menggugah pembacanya. Sayangnya, barangkali masih banyak yang suka dengan aliran nihilisme. Buktinya, penyuka tulisan orang itu sangat banyak berjejer di seluruh kampus.

Gedung sekretariat yang terasa asing itu kumasuki dengan perasaan bercampur aduk. Perasaan itu tidak bisa kujelaskan satu per satu karena setiap rasanya tidak memiliki suatu rasa yang berdiri sendiri. Rasa-rasa yang bercampur itu silang menyilang dan bertumpuk-tumpuk dan kusut bagaikan benang yang tersimpan di saku celana. Aku masuk dan mataku menangkap sesosok manusia yang kukenali dengan baik. Raisa, redaktur tulisan yang sejak awal sudah menjadi sahabatku di organisasi ini. Ia sedang duduk di depan komputer. Terlihat sedang sibuk dengan dunianya.

Melihat aku, Raisa kemudian berdiri dan menghampiriku seraya berkata, "Syah, kamu apa kabar? Kenapa beberapa hari ini menghilang? Kami khawatir loh dengan keadaan kamu."

Aku sedikit menunduk. Malu. Kemudian berkata, "Maaf, telah membuat kalian mencari-cari dan khawatir. Raisa, kak Rudi di mana? Bukannya biasanya ia selalu ada di sekretariat. Apa dia lagi masuk kelas?"

"Kak Rudi lagi ada urusan di rektorat. Mungkin sebentar lagi akan kembali. Ada yang ingin kamu obrolin sama dia?" Melihat ekspresi Raisa yang selalu lembut tanpa adanya kepura-puraan ini selalu membuat aku merasa berdosa telah melakukan tindakan kepura-puraan beratus-ratus kali dalam kehidupanku yang teramat singkat untuk dapat melakukan dosa.

"Tidak ada. Ngomong-ngomong, kamu sendiri tidak ada kelas, Sa?" Aku mengalihkan topik. Mencoba untuk mengalihkan pertanyaannya.

"Aku lagi tidak masuk kelas. Makanya aku di sini dan aku lagi mengedit beberapa artikel yang baru masuk." Ia kemudian ke komputernya.

Aku kemudian duduk. Kemudian melanjutkan pembicaraan. "Selama aku tidak ada, ada masalah, Sa?"

"Hmm, kamu ini memang. Semuanya aman terkendali." Raisa mengucapkan kata-kata itu sembari menggerakkan jari tangannya membentuk gestur 'semuanya sudah terkendali'.

Pada saat pembicaraan empat mata mengenai kejadian beberapa hari terakhir itulah, sebuah teriakan memanggil namaku terdengar, "Aisyah! Kamu ada di dalam?" Aku kenal suara ini. Suara berat yang sering kudengar bila aku berkunjung ke sekretariat organisasi internal kampus.

Pemilik suara ini adalah suara Akbar, adik tingkat kekasihku yang juga merupakan mata-matanya di organisasi internal kampus. Seorang lelaki dengan perawakan sedang dengan sorot mata datar yang terkadang membuat orang merasa direndahkan. Jika dinilai dari wajah, wajahnya dapat dikatakan lumayan tampan. Dengan sedikit sentuhan darah bangsa asing di wajahnya.

Ketika aku mendengar suaranya. Aku akhirnya sadar sesuatu. Pantas saja dari tadi aku merasa dikuntit. Ternyata perasaan itu bukan sekadar perasaan skeptis yang berlebihan. Akbar memang seorang yang sangat lihai.

Ketika aku keluar, Akbar kemudian berkata, "Aisyah, kamu harus ikut aku sekarang. Ada situasi genting. Oiya, coba cek alat komunikasi kamu."

Aku kemudian mengecek alat komunikasiku dan jantungku seolah berhenti berdetak saat berita yang sedang 'naik daun' itu terpampang di layar benda super-canggih tersebut.

'KECELAKAAN MOBIL DI TIKUNGAN 19. KORBAN MERUPAKAN KETUA ORGANISASI KAMPUS. MAYAT KORBAN HILANG TAK BERJEJAK'

"Ini berita bohong?" Aku tidak tahu apakah bulir-bulir air asin sudah keluar dari mataku atau tidak. Tapi, ini adalah suatu hal yang gila! Baru saja hatiku berbunga-bunga oleh keindahan sejarah dunia dengan berbagai filsafat indah uang dipersembahkan oleh para filsuf masa lalu. Kini, bunga itu langsung layu layaknya disiram menggunakan pupuk basi yang mengandung asam Sulfat yang teramat pekat.

"Saya tidak bisa menjawabnya di sini. Kawan-kawan sudah menunggu Kamu di sekretariat. Kak Badrun punya beberapa pertanyaan yang hendak ditanyakan langsung kepadamu, Aisyah." Air wajahnya menyiratkan satu hal, mereka mencurigaiku terlibat dengan hal ini.

Menangkap hal itu, aku kemudian menyangkal dengan keras. "Gila! Kalian dan fantasi liar kalian tentang semua hal di atas dunia ini sudah gila! Aku takkan mungkin mengkhianati lelaki yang kucintai!"

Akbar sedikit mundur. Terkejut. Kemudian ekspresinya kembali tenang. "Kamu punya hak untuk berbicara, Aisyah. Tapi bukan di sini. Di sekretariar. Mari!" Akbar sudah berjalan membelah keheningan pagi. Kelap-kelip matahari yang sudah mulai meninggi memancarkan bayangannya yang semakin jauh meninggalkanku. Ia tidak melihat ke belakang lagi ke arahku. Aku bimbang dengan keadaan seperti ini. Jikalau sang kekasih memang sudah mati tertimpa kebiadaban sang gubernur kolonel, maka aku dan tanganku sendiri lah yang akan membalaskan rasa sakit ini.

Di tengah kebimbangan akan kebenaran kabar itu lah kakiku secara tanpa diperintahkan berjalan mengikuti langkah-langkah Akbar. Berjalan melewati berbagai bangunan pembangun masa depan dunia, berjalan melewati wajah-wajah beratus ekspresi, mulai dari kesenangnan tak berbatas hingga kesedihan tak tersembunyikan. Langkah-langkah itu kemudian membawa kami ke hadapan bangunan yang lumayan megah berlantai dua. Bangunan itu lah yang digunakan oleh para pengurus organisasi internal kampus untuk menjalankan tugas mereka dalam membela kepentingan para mahasiswa pencatat lembar-lembar masa depan.

Kami memasuki pintu jati yang sudah beberapa kali kulewati. Tetapi, perasaanku kali ini berbeda dengan perasaanku sebelum-sebelumnya. Rasa yang kali ini kurasakan adalah kecemasan yang benar-benar menggumpal dalam hati. Rasa cemas yang tidak dapat terkendali itu semakin terbakar ketika wajah-wajah dingin itu menatapku seolah sedang memberikan pengadilan bagiku. Tampaknya rasa cemas ini takkan pudar dalam waktu singkat.

"Selamat, Tuan Putri. Sandiwara yang kalian susun bersama para komplotan bajingan itu sudah sukses menjebak Lem dan menghilangkan akal sehatnya hingga pikiran jernihnya keruh oleh kepalsuan kata-kata cintamu. Sandiwara kalian itu berhasil menampar kami dengan rencana licik yang tersusun rapi. Harga yang kami bayar untuk sandiwara itu benar-benar sangat mahal, terlalu mahal untuk membuat kami sanggup membayarnya lunas. Kalaupun sanggup, kami enggan untuk membayar sesuatu yang takkan bisa kami nikmati rasanya, kecuali keperihan. Terima kasih, Aisyah!" Tepuk tangan Badrun mengiringi pidato panjangnya yang terdengar menyakitkan itu. Lutut serta tangannya bergetar. Tangannya terkepal dan terlihat darah sudah mulai keluar dari telapak tangannya akibat kepalan yang terlalu kuat. Keadaan Badrun benar-benar berbeda dari Badrun yang biasanya begitu santai dan banyak bicara. Ia tetap banyak bicara, tetapi bicaranya penuh dengan amarah.

"Kalian menuduhku tanpa dasar ...." aku berkata datar. Tidak tertarik dengan tuduhan ini.

"Sayangnya kami punya dasar, Tuan Putri." Kali ini Aziz sang ilmuwan lah yang menjawabnya. Pria yang berperawakan sedang dengan kaca mata yang selalu membingkai wajahnya itu terlihat sedikit aneh. Ia seperti tidak senang dengan kehadiranku.

"Hubunganmu dengan sang gubernur kolonel sudah cukup sebagai bukti kalau kau terlibat dengan masalah pelik ini. Pamanmu, sang maharaja memerintahkan apa padamu hingga kau tega khianati cinta Sulaiman?" Aziz kembali melanjutkan kata-katanya yang membuatku sedikit terkejut dengan temuan baru itu. Aku dan banyak orang yang membantuku menyembunyikan identitas sudah menghapus jejak langkahku di internet sehingga orang-orang takkan bisa melacak kebenaran tentangku. Kami sudah memastikan hanya akan memberikan identitas umum saja. Jadi, Aziz bisa tahu fakta ini dari mana?

"Aku akui aku memang punya hubungan dengan sang gubernur. Tapi, kami sudah tidak berbicara selama bertahun-tahun ..." aku mengatakan itu sembari berkacak pinggang. Nadaku jelas-jelas memberi sangkalan.

"Dan kamu kabur ke istananya demi menghindari dunia nyata. Ceritamu cukup lucu tetapi logikanya berserakan. Fakta kamu adiknya sudah cukup menjadi bukti betapa sulitnya keadaanmu kini untuk mengelak. Ayolah akui saja kesalahanmu jika kamu memang sayang dengan Sulaiman." Kata-kata Aziz kali ini cukup menyakitkan bagiku. Itu adalah kata-kata tersadis yang pernah diucapkan oleh seseorang padaku. Rasanya seperti dicambuk oleh seribu pecut yang dibakar. Begitu perih. Begitu sakit.

"Terserah kalian mau percaya atau yidak. Satu yang harus kalian tahu, aku benar-benar mencintainya." Ucapku seraya keluar dari ruangan pengadilan yang tak adil itu.

Komentar

Postingan Populer