Kisah XII: Berontak
Pemberontakan
Pandangan mata itu... ia berada di sana, berdiri bersama sang pemilik kuasa. Ia membuat dinding kokoh yang telah kubangun runtuh seketika. Berkeping-keping dihancurkan oleh tatapannya. Wajah itu ...
.
.
.
Semalam sebelumnya
Malam semakin larut, sudah satu jam kami mengakhiri sesi rapat internal yang membahas rencana untuk esok hari. Semestinya rencana matang yang sudah kami padakan di ruangan tadi dengan beragam penjelasan serta sanggahannya yang riuh mampu membuat hatiku tenang. Nyatanya, aku khawatir. Kali ini dadaku rasanya hendak meledak. Kombinasi rasa-rasa tak mampu diinterpretasikan oleh akal membuat hatiku semakin gamang akan pengambilan keputusan pelik.
Pertanyaan Rustam tadi terngiang-ngiang di otakku. "Bagaimana jika mereka menyimpan sebuah rencana mutakhir yang tak terlacak oleh teknologi apapun?" Pertanyaan yang sederhana, tetapi sanggup membuat kami berpikir ulang. Membuat kami mencari cara untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Rasanya kecerdasan dan akal telah tergerus hingga kosong melompong demi menemukan jawaban dari pertanyaan Rustam.
Ekspresi tak mampu menjelaskan yang juga terukir di wajah Aziz semakin membuat kami kebingungan. Gamang. Hilang akal. Rencana kami yang tadinya terasa bagaikan rencana paling sempurna ternyata masih terlalu dangkal. Masih terlalu banyak lubang dan kemungkinan yang luput dari pengamatan kami. Kami terlalu cepat jumawa. Dan kini kami merasakan akibatnya. Dihempaskan.
Dalam perang, tidak selamanya rencana matang mampu menghasilkan hasil sempurna yang memuaskan. Banyak rencana matang yang begitu detail dan sempurna pupus ketika dihadapkan pada kenyataan yang tidak berjalan mulus. Hancur akibat salah tafsir dan masalah kedisiplinan.
Jika telah begini, penyesalan bukan lagi hal yang dapat diteriakkan. Ketenangan dalam berpikir dan adanya rencana cadangan yang tidak kalah matang adalah jawaban yang paling tepat. Gunakan waktu singkat dengan tepat. Tanpa ada mengisakan tindakan yang tak tepat.
Kali ini, Rustam mengingatkan kami agar tetap berdiri menapak tanah. Tak terbang meskipun optimisme akan kemenangan sudah menggebu-gebu di dalam hati. Ia mengingatkan para pemuda untuk tetap merunduk. Sensasi rasa terbang yang sebelumnya meracun diri mesti dibungkam dengan rasa rendah hati. Terima kasih pada Rustam sang pengingat.
Ingatan Rustam itu membuatnya, aku, Aziz, Pandu, Badrun, dan Zaki kini duduk melingkar. Berdiam-diaman kami sambil menekan-nekan jari telunjuk ke kepala. Semua dilakukan demi menemukan solusi akan pertanyaan sederhana nan kompleks yang disampaikan Rustam.
Di tengah kebuntuan otak ini, tiba-tiba aku teringat dengan sebuah kisah sejarah tentang sebuah kegagalan rencana yang disebabkan oleh dangkalnya analisis akan berbagai kejadian tak terduga. Kala itu, sang perencana hanya membuat rencana satu dimensi yang diyakini akan berhasil terlaksana. Sayangnya, rencananya kemudian dibalikkan oleh lawannya akibat ketidak siapan mental dalam menghadapi dimensi-dimensi lain yang tidak tereksplor olehnya.
Beberapa tahun yang lalu, aku sempat berdiskusi dengan seorang konsultan perencana terkemuka. Ia berkata padaku, "Rencana itu hanyalah satu dari ribuan jalan yang harus dijalani untuk dapat mencapai tujuan akhir yang jauh lebih kompleks dibandingkan rencana itu sendiri." Ia juga mengatakan bahwa rencana kehidupan itu tidak sesederhana program komputer dimana sang komputer hanya akan menuruti apa yang sudah diperintahkan kepadanya dalam kode-kode yang dimasukkan ke pusat otaknya.
"Kehidupan jauh lebih rumit dibandingkan itu. Percaya atau tidak, merencanakan kehidupan yang tidak linear adalah tantangan yang sesungguhnya." Ia mengatakan itu dengan nada bicara yang begitu meyakinkan. Membuat aku terpaku dan terpukau. Aku pun hanya mengangguk menyambut pendapatnya.
Spektrum kehidupan yang kompleks itu lah yang kini harus kami jalani. Spektrum yang tidak terendus sebelumnya. Sebelum Rustam bertanya. Saat itu, kami menempatkan rencana kami ini bak program komputer yang linear dan akan berhasil sesuai dengan apa yang kami inginkan. Tetapi, setelah sadar akan ketidak linearan kehidupan di detik-detik terakhir, kami pun mengubah cara pandang kami dan mencoba untuk memodifikasi rencana 'matang' yang sudah kami susun bersama. Semuanya berawal dari nol. Berawal dari kekosongan.
"Jadi, apa kalian ada ide lagi? Pikiranku sudah buntu. Tam, kau lah coba cari solusi atas apa yang sudah kau mulai." Badrun memulai pembicaraan malam ini dengan gaya bicaranya yang khas. Lemparannya pada Rustam tidak berbelas kasih. Langsung menusuk tepat ke intisari. Tepat kepada apa yang hendak disampaikan olehnya.
"Kenapa kau jadi melempar-lempar solusi padaku? Aku hanya menyampaikan apa yang mengganggu dalam otakku. Aku tidak merendahkan rencana Aziz atau ide Badrun atau ide siapapun itu. Tidak seperti itu. Terima kasih. Semakin lama aku di sini, mungkin kalian akan semakin kehilangan ide. Aku pamit." Sialan, di masa-masa menyulitkan seperti ini datang lagi perpecahan yang tidak selayaknya terjadi.
Seusai Rustam, keheningan kembali menghampiri kelompok pembahas solusi ini. Waktu sudah hampir tengah malam dan belum satu pun solusi atau tawaran solusi keluar dari mulut-mulut para lantang. Semuanya terdiam. Terpaku menunggu sesuatu yang janggal ditunggu. Menunggu sesuatu yang takkan tiba adanya bila tak ditibakan wujudnya.
"Sudahlah, kawan-kawan. Otak kita sudah menolak untuk diajak bekerja sama akan sesuatu yang tidak berguna. Tidak ada jalan keluar untuk ini. Keputusan akhir: kita tetap pada rencana awal. Bila rencana cadangan mereka mengejutkan kita. Mundur! Dengarkan aku. Mundur bila kejutan datang di tengah. Terima kasih." Hal ini sudah berada di luar kehendakku. Bila aku tetap memaksakan kami mencarikan solusi atas sesuatu yang abstrak dan tak mempunyai raga seperti ini, pagi takkan terasa ketika ia menjelang. Aku memberikan kode kepada Badrun untuk berbicara empat mata denganku.
Setelah bertatap wajah, Badrun kemudian berkata, "Lem, kau tak bisa memutuskan hal begini terburu-buru. Aku tahu batas kemampuan kita sudah tertembus. Aku juga tahu mencarikan alternatif akan sesuatu yang tak berbentuk memang akan berbuah kenihilan. Tak ada gunanya kita berdebat hingga fajar bila kita sudah tahu jawabannya adalah kekosongan. Tapi, kita butuh ketenanganmu. Jadi, aku minta kau untuk menunda putusan hingga jam empat pagi. Putusan pastinya diputuskan pukul empat pagi nanti. Sepakat?"
"Ya sudah, sepakat".
.
.
.
Malam sudah lebih dekat kepada pagi dibanding malam itu sendiri. Hatiku menggerutu. Memaksa aku untuk meminta nasihat dari seorang mulia yang sudah lama tidak berbalas kata denganku. Bisik-bisik ini membuat aku kebingungan setengah mati karena rasa canggung yang tiba-tiba singgah di hatiku.
Beberapa waktu aku habiskan untuk mempertimbangkan pilihan antara mengikuti kata hati atau mengingkarinya. Beberapa waktu itu benar-benar habis kupakai untuk memikirkan dengan matang mengenai apakah yang aku harus lakukan. Hingga akhirnya alat komunikasi mutakhir itu pun kugunakan untuk menjelajahi relung-relung masa lalu yang mungkin memudar.
"Halo, Nak? Apakah ini kamu?" Suara yang sudah lama tak kudengar itu kembali membawa aku kepada alam nostalgia. Masa ketika suara itu selalu menyanyikan nyanyian pengantar tidur yang membuatku dahulu langsung beranjak ke ranjang kesayangan dan menutup mataku. Suara lembut itu entah sudah berapa lama kuabaikan. Aku lupa seberapa lama warna dan frekuensi uniknya tak kudengar di telingaku. Aku merindukannya.
"Ibu masih bangun? Belum tidur?" Aku mencoba untuk mencairkan suasana dengan pertanyaan sederhana. Dapat kudengar helaan napas seperti tertahan di ujung lainnya.
"Kamu pun belum tidur. Tumben nelpon ke sini. Ada apa toh nak?" Suara lembut itu menjawabku dengan nada lembutnya yang kurindukan.
"Aku gelisah, Bu. Aku gelisah dengan hal yang akan kuhadapi besok. Seperti ada sesuatu yang menghambat aku untuk membela kebenaran bu." Dadaku mulai berdetak cepat. Perasaanku mulai memberontak. Aku seperti hendak meledak.
"Jangan-jangan itu karena yang kamu bela bukan kebenaran, Nak. Tetapi marabahaya yang dapat menghancurkanmu dan masa depanmu." Suaranya merendah. Nadanya terdengar sendu.
"Tidak mungkin, Bu. Kuyakin rasa ini adalah godaan setan yang ingin aku berhenti membela yang benar bu. Bisikan-bisikan ini tak pernah datang sebelumnya. Ini terlalu aneh bu." Aku mencoba untuk seyakin mungkin dalam berbicara. Meskipun dalam hati, keyakinan itu sudah tersisa sedikit.
"Ibu tak pernah memaksamu untuk melakukan apapun, Nak. Ketika kamu putuskan hubungan dengan keluarga dan kabur ke kota lain pun ibu tak persulit jalanmu. Pesan ibumu ini hanya satu. Berhenti bila nyawa taruhannya, Nak. Bagi ibu, seorang pahlawan mati tidak lebih berharga dari seorang manusia biasa yang hidup." Sedih adalah satu-satunya rasa yang kudengar dari kalimat itu. Kalimat yang magisnya menyentuh kisi-kisi kalbuku. Kesedihan itu menjalar. Aku jadi melankolis.
...
"Kau dengar ibu, tidak?"
...
"Kamu selalu begitu. Ketika ibu memberikanmu nasihat kamu selalu masa bodoh dan tak mau mendengarkan. Ya sudahlah, nak. Jika kamu juga tidak mau dengarkan ibu. Untuk apa kamu hubungi ibumu ini? Sampai jumpa, Nak. Semoga kamu selalu dalam keselamatan." Kalimat yang kelam. Kalimat itu semakin kelam dengan cara penyebutannya yang sangat pahit. Seperti memendam duka lara yang sangat berat.
"Tunggu, Bu. Aku belum bertanya kabar kalian. Apa ayah dan ibu sehat?" Akhirnya kalimat yang sejak tadi hendak terucap itu pun keluar. Perasaanku perlahan melega.
"Itu adalah pertanyaan yang ibu tunggu. Syukur kepada Yang Maha Kuasa, kami sehat nak." Nada suara itu. Aku bisa merasakan kesenangan di suara itu. Sudah lama wanita mulia ini tidak mengeluarkan nada sebahagia itu. Betapa berdosanya aku.
"Ibu, aku hanya ingin meminta satu hal dari ibu. Maafkan aku ya sudah melawan kalian dengan kekeras kepalaanku. Tapi, maaf juga. Aku takkan bisa mundur dari apa yang sudah kuyakini. Terima kasih." aku mematikan sambungan komunikasi itu. Berlama-lama berbicara dengan wanita itu dapat membuat aku semakin lemah dan terombang-ambing dengan gelombang keputus asaan. Keputus asaan itu semakin membuat mataku berat dan keremangan pun akhirnya datang singgah.
.
.
.
Sebuah guncangan membangunkanku.
"Lem, bangun! Kau harus lihat perkembangan terbaru yang ditemukan Aziz!" Suara berat itu membangunkanku. Guncangannya membuatku seperti diguncang oleh dua ratus tenaga kuda.
Dengan mata yang masih terkantuk-kantuk aku kemudian bangkit dan mengikuti langkah Badrun menuju ke ruang komputer. Sekadar informasi, pihak kampus memberikan kami gedung dua lantai sebagai sekretariat organisasi internal. Di lantai pertama, ada ruang rapat, ruang santai, dan dapur umum. Di lantai dua, ada tiga kamar dan ruang komputer serta ruang arsip. Secara fasilitas, sekretariat ini cukup nyaman untuk ditinggali 5-10 orang. Di tempat inilah kami membahas banyak hal mulai dari yang krusial hingga yang janggal.
Kulihat Aziz sedang bermain dengan komputer didampingi Pandu yang sedang melakukan sesuatu yang terlihat janggal di mataku. Sang kalkulator jenius itu memang sulit kupahami cara berpikirnya. Kulihat Aziz mengutak-atik beberapa hal kemudian beralih padaku dan menunjukkan temuannya.
"Kau berhasil menemukan rencana mereka? Wow, aku tak bisa berkata apapun lagi. Kemampuanmu sudah berada di atas batas. Terima kasih atas usahamu." Aku menepuk-nepuk bahunya. Memberi sambutan hangat.
"Jadi intinya, mereka menyiapkan alat pelacak bagi yang masuk ke istana. Segala bentuk godaan masuk ke istana gubernur harus ditolak. Semanis apa pun bujuk rayunya." Aziz berbicara lebih yakin kali ini. Bekas beban berat kemarin tampaknya sudah sirna. Ia terlihat bersinar. Segar.
"Tapi tunggu, bagaimana kau bisa menembus program mereka yang dilindungi pelindung terbaik. Kau yakin ini bukan jebakan?" Pertanyaanku yang bernada ragu itu membuat Badrun melihat ke arahku.
Aziz kemudian melanjutkan, "Aku sudah melakukan tes kejanggalan kode dan hasilnya, kode tembus ini hanyalah kesalahan dari sang pengode yang kurang terliti dalam melindungi datanya. Menilik pola di mana mereka begitu mudah memberikan akses bagi kabar tentang kamera dan persenjataan, sudah terlihat kalau sang gubernur tidak ingin bermain kasar kali ini. Permainannnya akan lembut dan penuh bujuk rayu." Ekspresi Aziz yang penuh dengan kepercayaan diri kala menjelaskan membuat aku kembali bergairah untuk menyelsaikan ini semua. Entah mengapa keyakinan dalam lubuk hatiku berkata bahwa ini adalah buah dari aku menghubungi ibu.
"Kalau begitu berikan kabar ini pada yang lain. Jangan sampai ada yang tidak mendapat kabar terbaru ini." Semangatku sudah sangat membara. Aku benar-benar siap.
.
.
.
Matahari bersinar dengan begitu gagahnya. Ia bertengger di atas singgasananya dan menyinari kepala-kepala manusia yang membutuhkan pencerahan untuk akalnya yang gelap gulita. Teriak-teriakan para manusia yang semangatnya menggebu-gebu usai kejadian Aziz membakar kulit lebih menggelora lagi. Keringat sudah membasahi tubuh sejak seratus menit yang sudah usai.
Badrun sang orator ulung sedang memamerkan kemampuan terbaiknya di depan khalayak. Meskipun kebuntuan sudah hampir menggilakan kami tidak lebih dari enam jam sebelumnya, satu momen pembalik keadaan sukses mendongkrak keadaan ini kembali seperti semula. Sebentar lagi para manusia penuntut kehakikian akan datang untuk mengadili para penzalim yang siap terhabisi urat-urat kehidupannya hingga tak bersisa aliran listrik pembawa kewarasan.
Matahari sudah cukup tinggi saat perjalanan panjang menuju ke kandang gubernur yang juga bekas pahlawan negara dengan memadamkan perang lima belas tahun silam. Lelaki muda yang terkenal tak berbelas kasih itu bukan hanya tidak ragu menjagal lawan-lawannya, ia juga terkenal suka menyiksa mereka dengan kesadisan yang tiada mampu dibayangkan oleh otak-otak anak keturunan Adam. Terutama yang dipenuhi dengan khayal indah yang terlalu surgawi.
Istana bercat putih berlantai tiga itu terhampar di pelupuk mata. Andai saja aku tidak sadar dengan batas-batas yang sudah kubahas bersama dengan para sahabat dengan penuh perdebatan panjang. Perdebatan yang juga dihiasi dengan kekhawatiran khayali, aku akan langsung menerjang dan menghajar beberapa penjaga. Kemarahanku kepada orang-orang yang penuh dengan kebusukan ini sudah membuat aku kehilangan kesabaran. Semakin meningkat seiring dengan perjalanan waktu.
"Selamat datang adik-adik. Kalian sudah lihat kalau kami terbuka untuk mendengar keluh kesah kalian yang prihatin dengan keadaan beberapa teman jurnalis yang ditangkap karena merencanakan pemberontakan. Kalian mungkin tidak percaya dengan kata-kata saya. Tetapi, jika pemerintah memang ingin membumi hanguskan kalian, itu hanyalah pekerjaan kedipan mata, terlalu mudah." Sang gubernur penjagal itu menyambut kami dengan kata-kata penuh kepura-puraan. Ekpresi sadis yang bersembunyi. Mencoba disamarkan di balik topeng manis yang palsu dan menjijikkan.
Dengan kepala yang sudah panas, kuambil pengeras suara dari Badrun dan membalas kata-kata palsunya. Secara menggebu aku berkata lantang, menantangnya, "Jika niat pemerintah, khususnya maharaja memang tulus kami akan sangat menghargainya. Masalahnya, semua itu hanya berada di ujung lidah kalian. Tidak pernah ada usaha sungguhan dalam menenangkan kegelisahan kami." Kata-kataku sendiri berhasil membangkitkan semangatku kembali dan seluruh yang berada di belakangku. Mereka mulai bersorak-sorai. Merayakan sesuatu yang layak dirayakan.
Di tengah sorak-sorai itulah, sesosok itu tertangkap di pandanganku. Memberikanku sensasi rasa kompleks yang tak dapat kujelaskan. Sakit.
Pandangan mata itu... ia berada di sana, berdiri bersama sang pemilik kuasa. Ia membuat dinding kokoh yang telah kubangun runtuh seketika. Berkeping-keping dihancurkan oleh tatapannya. Wajah itu ...
.
.
.
Semalam sebelumnya
Malam semakin larut, sudah satu jam kami mengakhiri sesi rapat internal yang membahas rencana untuk esok hari. Semestinya rencana matang yang sudah kami padakan di ruangan tadi dengan beragam penjelasan serta sanggahannya yang riuh mampu membuat hatiku tenang. Nyatanya, aku khawatir. Kali ini dadaku rasanya hendak meledak. Kombinasi rasa-rasa tak mampu diinterpretasikan oleh akal membuat hatiku semakin gamang akan pengambilan keputusan pelik.
Pertanyaan Rustam tadi terngiang-ngiang di otakku. "Bagaimana jika mereka menyimpan sebuah rencana mutakhir yang tak terlacak oleh teknologi apapun?" Pertanyaan yang sederhana, tetapi sanggup membuat kami berpikir ulang. Membuat kami mencari cara untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Rasanya kecerdasan dan akal telah tergerus hingga kosong melompong demi menemukan jawaban dari pertanyaan Rustam.
Ekspresi tak mampu menjelaskan yang juga terukir di wajah Aziz semakin membuat kami kebingungan. Gamang. Hilang akal. Rencana kami yang tadinya terasa bagaikan rencana paling sempurna ternyata masih terlalu dangkal. Masih terlalu banyak lubang dan kemungkinan yang luput dari pengamatan kami. Kami terlalu cepat jumawa. Dan kini kami merasakan akibatnya. Dihempaskan.
Dalam perang, tidak selamanya rencana matang mampu menghasilkan hasil sempurna yang memuaskan. Banyak rencana matang yang begitu detail dan sempurna pupus ketika dihadapkan pada kenyataan yang tidak berjalan mulus. Hancur akibat salah tafsir dan masalah kedisiplinan.
Jika telah begini, penyesalan bukan lagi hal yang dapat diteriakkan. Ketenangan dalam berpikir dan adanya rencana cadangan yang tidak kalah matang adalah jawaban yang paling tepat. Gunakan waktu singkat dengan tepat. Tanpa ada mengisakan tindakan yang tak tepat.
Kali ini, Rustam mengingatkan kami agar tetap berdiri menapak tanah. Tak terbang meskipun optimisme akan kemenangan sudah menggebu-gebu di dalam hati. Ia mengingatkan para pemuda untuk tetap merunduk. Sensasi rasa terbang yang sebelumnya meracun diri mesti dibungkam dengan rasa rendah hati. Terima kasih pada Rustam sang pengingat.
Ingatan Rustam itu membuatnya, aku, Aziz, Pandu, Badrun, dan Zaki kini duduk melingkar. Berdiam-diaman kami sambil menekan-nekan jari telunjuk ke kepala. Semua dilakukan demi menemukan solusi akan pertanyaan sederhana nan kompleks yang disampaikan Rustam.
Di tengah kebuntuan otak ini, tiba-tiba aku teringat dengan sebuah kisah sejarah tentang sebuah kegagalan rencana yang disebabkan oleh dangkalnya analisis akan berbagai kejadian tak terduga. Kala itu, sang perencana hanya membuat rencana satu dimensi yang diyakini akan berhasil terlaksana. Sayangnya, rencananya kemudian dibalikkan oleh lawannya akibat ketidak siapan mental dalam menghadapi dimensi-dimensi lain yang tidak tereksplor olehnya.
Beberapa tahun yang lalu, aku sempat berdiskusi dengan seorang konsultan perencana terkemuka. Ia berkata padaku, "Rencana itu hanyalah satu dari ribuan jalan yang harus dijalani untuk dapat mencapai tujuan akhir yang jauh lebih kompleks dibandingkan rencana itu sendiri." Ia juga mengatakan bahwa rencana kehidupan itu tidak sesederhana program komputer dimana sang komputer hanya akan menuruti apa yang sudah diperintahkan kepadanya dalam kode-kode yang dimasukkan ke pusat otaknya.
"Kehidupan jauh lebih rumit dibandingkan itu. Percaya atau tidak, merencanakan kehidupan yang tidak linear adalah tantangan yang sesungguhnya." Ia mengatakan itu dengan nada bicara yang begitu meyakinkan. Membuat aku terpaku dan terpukau. Aku pun hanya mengangguk menyambut pendapatnya.
Spektrum kehidupan yang kompleks itu lah yang kini harus kami jalani. Spektrum yang tidak terendus sebelumnya. Sebelum Rustam bertanya. Saat itu, kami menempatkan rencana kami ini bak program komputer yang linear dan akan berhasil sesuai dengan apa yang kami inginkan. Tetapi, setelah sadar akan ketidak linearan kehidupan di detik-detik terakhir, kami pun mengubah cara pandang kami dan mencoba untuk memodifikasi rencana 'matang' yang sudah kami susun bersama. Semuanya berawal dari nol. Berawal dari kekosongan.
"Jadi, apa kalian ada ide lagi? Pikiranku sudah buntu. Tam, kau lah coba cari solusi atas apa yang sudah kau mulai." Badrun memulai pembicaraan malam ini dengan gaya bicaranya yang khas. Lemparannya pada Rustam tidak berbelas kasih. Langsung menusuk tepat ke intisari. Tepat kepada apa yang hendak disampaikan olehnya.
"Kenapa kau jadi melempar-lempar solusi padaku? Aku hanya menyampaikan apa yang mengganggu dalam otakku. Aku tidak merendahkan rencana Aziz atau ide Badrun atau ide siapapun itu. Tidak seperti itu. Terima kasih. Semakin lama aku di sini, mungkin kalian akan semakin kehilangan ide. Aku pamit." Sialan, di masa-masa menyulitkan seperti ini datang lagi perpecahan yang tidak selayaknya terjadi.
Seusai Rustam, keheningan kembali menghampiri kelompok pembahas solusi ini. Waktu sudah hampir tengah malam dan belum satu pun solusi atau tawaran solusi keluar dari mulut-mulut para lantang. Semuanya terdiam. Terpaku menunggu sesuatu yang janggal ditunggu. Menunggu sesuatu yang takkan tiba adanya bila tak ditibakan wujudnya.
"Sudahlah, kawan-kawan. Otak kita sudah menolak untuk diajak bekerja sama akan sesuatu yang tidak berguna. Tidak ada jalan keluar untuk ini. Keputusan akhir: kita tetap pada rencana awal. Bila rencana cadangan mereka mengejutkan kita. Mundur! Dengarkan aku. Mundur bila kejutan datang di tengah. Terima kasih." Hal ini sudah berada di luar kehendakku. Bila aku tetap memaksakan kami mencarikan solusi atas sesuatu yang abstrak dan tak mempunyai raga seperti ini, pagi takkan terasa ketika ia menjelang. Aku memberikan kode kepada Badrun untuk berbicara empat mata denganku.
Setelah bertatap wajah, Badrun kemudian berkata, "Lem, kau tak bisa memutuskan hal begini terburu-buru. Aku tahu batas kemampuan kita sudah tertembus. Aku juga tahu mencarikan alternatif akan sesuatu yang tak berbentuk memang akan berbuah kenihilan. Tak ada gunanya kita berdebat hingga fajar bila kita sudah tahu jawabannya adalah kekosongan. Tapi, kita butuh ketenanganmu. Jadi, aku minta kau untuk menunda putusan hingga jam empat pagi. Putusan pastinya diputuskan pukul empat pagi nanti. Sepakat?"
"Ya sudah, sepakat".
.
.
.
Malam sudah lebih dekat kepada pagi dibanding malam itu sendiri. Hatiku menggerutu. Memaksa aku untuk meminta nasihat dari seorang mulia yang sudah lama tidak berbalas kata denganku. Bisik-bisik ini membuat aku kebingungan setengah mati karena rasa canggung yang tiba-tiba singgah di hatiku.
Beberapa waktu aku habiskan untuk mempertimbangkan pilihan antara mengikuti kata hati atau mengingkarinya. Beberapa waktu itu benar-benar habis kupakai untuk memikirkan dengan matang mengenai apakah yang aku harus lakukan. Hingga akhirnya alat komunikasi mutakhir itu pun kugunakan untuk menjelajahi relung-relung masa lalu yang mungkin memudar.
"Halo, Nak? Apakah ini kamu?" Suara yang sudah lama tak kudengar itu kembali membawa aku kepada alam nostalgia. Masa ketika suara itu selalu menyanyikan nyanyian pengantar tidur yang membuatku dahulu langsung beranjak ke ranjang kesayangan dan menutup mataku. Suara lembut itu entah sudah berapa lama kuabaikan. Aku lupa seberapa lama warna dan frekuensi uniknya tak kudengar di telingaku. Aku merindukannya.
"Ibu masih bangun? Belum tidur?" Aku mencoba untuk mencairkan suasana dengan pertanyaan sederhana. Dapat kudengar helaan napas seperti tertahan di ujung lainnya.
"Kamu pun belum tidur. Tumben nelpon ke sini. Ada apa toh nak?" Suara lembut itu menjawabku dengan nada lembutnya yang kurindukan.
"Aku gelisah, Bu. Aku gelisah dengan hal yang akan kuhadapi besok. Seperti ada sesuatu yang menghambat aku untuk membela kebenaran bu." Dadaku mulai berdetak cepat. Perasaanku mulai memberontak. Aku seperti hendak meledak.
"Jangan-jangan itu karena yang kamu bela bukan kebenaran, Nak. Tetapi marabahaya yang dapat menghancurkanmu dan masa depanmu." Suaranya merendah. Nadanya terdengar sendu.
"Tidak mungkin, Bu. Kuyakin rasa ini adalah godaan setan yang ingin aku berhenti membela yang benar bu. Bisikan-bisikan ini tak pernah datang sebelumnya. Ini terlalu aneh bu." Aku mencoba untuk seyakin mungkin dalam berbicara. Meskipun dalam hati, keyakinan itu sudah tersisa sedikit.
"Ibu tak pernah memaksamu untuk melakukan apapun, Nak. Ketika kamu putuskan hubungan dengan keluarga dan kabur ke kota lain pun ibu tak persulit jalanmu. Pesan ibumu ini hanya satu. Berhenti bila nyawa taruhannya, Nak. Bagi ibu, seorang pahlawan mati tidak lebih berharga dari seorang manusia biasa yang hidup." Sedih adalah satu-satunya rasa yang kudengar dari kalimat itu. Kalimat yang magisnya menyentuh kisi-kisi kalbuku. Kesedihan itu menjalar. Aku jadi melankolis.
...
"Kau dengar ibu, tidak?"
...
"Kamu selalu begitu. Ketika ibu memberikanmu nasihat kamu selalu masa bodoh dan tak mau mendengarkan. Ya sudahlah, nak. Jika kamu juga tidak mau dengarkan ibu. Untuk apa kamu hubungi ibumu ini? Sampai jumpa, Nak. Semoga kamu selalu dalam keselamatan." Kalimat yang kelam. Kalimat itu semakin kelam dengan cara penyebutannya yang sangat pahit. Seperti memendam duka lara yang sangat berat.
"Tunggu, Bu. Aku belum bertanya kabar kalian. Apa ayah dan ibu sehat?" Akhirnya kalimat yang sejak tadi hendak terucap itu pun keluar. Perasaanku perlahan melega.
"Itu adalah pertanyaan yang ibu tunggu. Syukur kepada Yang Maha Kuasa, kami sehat nak." Nada suara itu. Aku bisa merasakan kesenangan di suara itu. Sudah lama wanita mulia ini tidak mengeluarkan nada sebahagia itu. Betapa berdosanya aku.
"Ibu, aku hanya ingin meminta satu hal dari ibu. Maafkan aku ya sudah melawan kalian dengan kekeras kepalaanku. Tapi, maaf juga. Aku takkan bisa mundur dari apa yang sudah kuyakini. Terima kasih." aku mematikan sambungan komunikasi itu. Berlama-lama berbicara dengan wanita itu dapat membuat aku semakin lemah dan terombang-ambing dengan gelombang keputus asaan. Keputus asaan itu semakin membuat mataku berat dan keremangan pun akhirnya datang singgah.
.
.
.
Sebuah guncangan membangunkanku.
"Lem, bangun! Kau harus lihat perkembangan terbaru yang ditemukan Aziz!" Suara berat itu membangunkanku. Guncangannya membuatku seperti diguncang oleh dua ratus tenaga kuda.
Dengan mata yang masih terkantuk-kantuk aku kemudian bangkit dan mengikuti langkah Badrun menuju ke ruang komputer. Sekadar informasi, pihak kampus memberikan kami gedung dua lantai sebagai sekretariat organisasi internal. Di lantai pertama, ada ruang rapat, ruang santai, dan dapur umum. Di lantai dua, ada tiga kamar dan ruang komputer serta ruang arsip. Secara fasilitas, sekretariat ini cukup nyaman untuk ditinggali 5-10 orang. Di tempat inilah kami membahas banyak hal mulai dari yang krusial hingga yang janggal.
Kulihat Aziz sedang bermain dengan komputer didampingi Pandu yang sedang melakukan sesuatu yang terlihat janggal di mataku. Sang kalkulator jenius itu memang sulit kupahami cara berpikirnya. Kulihat Aziz mengutak-atik beberapa hal kemudian beralih padaku dan menunjukkan temuannya.
"Kau berhasil menemukan rencana mereka? Wow, aku tak bisa berkata apapun lagi. Kemampuanmu sudah berada di atas batas. Terima kasih atas usahamu." Aku menepuk-nepuk bahunya. Memberi sambutan hangat.
"Jadi intinya, mereka menyiapkan alat pelacak bagi yang masuk ke istana. Segala bentuk godaan masuk ke istana gubernur harus ditolak. Semanis apa pun bujuk rayunya." Aziz berbicara lebih yakin kali ini. Bekas beban berat kemarin tampaknya sudah sirna. Ia terlihat bersinar. Segar.
"Tapi tunggu, bagaimana kau bisa menembus program mereka yang dilindungi pelindung terbaik. Kau yakin ini bukan jebakan?" Pertanyaanku yang bernada ragu itu membuat Badrun melihat ke arahku.
Aziz kemudian melanjutkan, "Aku sudah melakukan tes kejanggalan kode dan hasilnya, kode tembus ini hanyalah kesalahan dari sang pengode yang kurang terliti dalam melindungi datanya. Menilik pola di mana mereka begitu mudah memberikan akses bagi kabar tentang kamera dan persenjataan, sudah terlihat kalau sang gubernur tidak ingin bermain kasar kali ini. Permainannnya akan lembut dan penuh bujuk rayu." Ekspresi Aziz yang penuh dengan kepercayaan diri kala menjelaskan membuat aku kembali bergairah untuk menyelsaikan ini semua. Entah mengapa keyakinan dalam lubuk hatiku berkata bahwa ini adalah buah dari aku menghubungi ibu.
"Kalau begitu berikan kabar ini pada yang lain. Jangan sampai ada yang tidak mendapat kabar terbaru ini." Semangatku sudah sangat membara. Aku benar-benar siap.
.
.
.
Matahari bersinar dengan begitu gagahnya. Ia bertengger di atas singgasananya dan menyinari kepala-kepala manusia yang membutuhkan pencerahan untuk akalnya yang gelap gulita. Teriak-teriakan para manusia yang semangatnya menggebu-gebu usai kejadian Aziz membakar kulit lebih menggelora lagi. Keringat sudah membasahi tubuh sejak seratus menit yang sudah usai.
Badrun sang orator ulung sedang memamerkan kemampuan terbaiknya di depan khalayak. Meskipun kebuntuan sudah hampir menggilakan kami tidak lebih dari enam jam sebelumnya, satu momen pembalik keadaan sukses mendongkrak keadaan ini kembali seperti semula. Sebentar lagi para manusia penuntut kehakikian akan datang untuk mengadili para penzalim yang siap terhabisi urat-urat kehidupannya hingga tak bersisa aliran listrik pembawa kewarasan.
Matahari sudah cukup tinggi saat perjalanan panjang menuju ke kandang gubernur yang juga bekas pahlawan negara dengan memadamkan perang lima belas tahun silam. Lelaki muda yang terkenal tak berbelas kasih itu bukan hanya tidak ragu menjagal lawan-lawannya, ia juga terkenal suka menyiksa mereka dengan kesadisan yang tiada mampu dibayangkan oleh otak-otak anak keturunan Adam. Terutama yang dipenuhi dengan khayal indah yang terlalu surgawi.
Istana bercat putih berlantai tiga itu terhampar di pelupuk mata. Andai saja aku tidak sadar dengan batas-batas yang sudah kubahas bersama dengan para sahabat dengan penuh perdebatan panjang. Perdebatan yang juga dihiasi dengan kekhawatiran khayali, aku akan langsung menerjang dan menghajar beberapa penjaga. Kemarahanku kepada orang-orang yang penuh dengan kebusukan ini sudah membuat aku kehilangan kesabaran. Semakin meningkat seiring dengan perjalanan waktu.
"Selamat datang adik-adik. Kalian sudah lihat kalau kami terbuka untuk mendengar keluh kesah kalian yang prihatin dengan keadaan beberapa teman jurnalis yang ditangkap karena merencanakan pemberontakan. Kalian mungkin tidak percaya dengan kata-kata saya. Tetapi, jika pemerintah memang ingin membumi hanguskan kalian, itu hanyalah pekerjaan kedipan mata, terlalu mudah." Sang gubernur penjagal itu menyambut kami dengan kata-kata penuh kepura-puraan. Ekpresi sadis yang bersembunyi. Mencoba disamarkan di balik topeng manis yang palsu dan menjijikkan.
Dengan kepala yang sudah panas, kuambil pengeras suara dari Badrun dan membalas kata-kata palsunya. Secara menggebu aku berkata lantang, menantangnya, "Jika niat pemerintah, khususnya maharaja memang tulus kami akan sangat menghargainya. Masalahnya, semua itu hanya berada di ujung lidah kalian. Tidak pernah ada usaha sungguhan dalam menenangkan kegelisahan kami." Kata-kataku sendiri berhasil membangkitkan semangatku kembali dan seluruh yang berada di belakangku. Mereka mulai bersorak-sorai. Merayakan sesuatu yang layak dirayakan.
Di tengah sorak-sorai itulah, sesosok itu tertangkap di pandanganku. Memberikanku sensasi rasa kompleks yang tak dapat kujelaskan. Sakit.
Komentar
Posting Komentar