XXI: Alasan Mencinta

Alasan Mencinta

Waktu terasa melambat. Lelaki ini kembali mengubah percepatan waktu yang bergerak di sekitarku. Medan tariknya begitu kuat hingga aku tak sanggup melawannya. Masa bodoh pada ahli fisika Jerman itu. Masa bodoh dengan teori fisika kuantum yang membuatku sering kali hampir muntah itu. Itu semua tak berlaku saat ini padaku. Terutama saat berada di hadapan pemuda pengendali medan tarik ini.

Pertemuan itu terasa begitu fiktif. Ia abstrak karena logika ceritanya yang tak tercerna akal. Kecepatan perputaran dunia terasa seperti hal yang bersifat khayali karena cerita ini. Gravitasi dan hukum-hukum alami terasa seperti dongeng yang dibisikkan sejak aku sekolah dulu.

Kisah ini adalah orkestra sang Maha. Orkestra dimana kami adalah aktor sekaligus objek penderita ceritanya. Konduktor yang tak berbanding itu seringkali tawarkan sesuatu yang terlalu sukar untuk kupahami. Sesuatu yang membuat aku terjebak di kesukaran itu. Terjebak di dalam berbagai spektrum pilihan yang mempunyai daya tarik yang sama kuat. Aku sering gamang karenanya.

Pertemuan ini tak tercerna akal. Tapi, hati dapat merasakan kebahagiaan yang tak terhingga akibat pertemuan yang begitu hangat ini. Sambut berupa peluk-cium membuktikan kalau hati kami belum lagi tawar. Rasa kami beluk lagi pudar. Kami masih saling cinta.

Kami mungkin telah melewati gemuruh panjang dalam sebulan ke belakang. Menghadapi berbagai peristiwa yang membingungkan dalam perode singkat ini. Tapi, pertemuan ini membuktikan kalau itu semua hanyalah cobaan Tuhan. Ujian untuk ketangguhan cinta kami.

Usai akal yang hilang dua puluh hari yang lalu akibat ancaman tak teredam dari penjahat tak berbelas kasih, aku menghilang tanpa jejak. Kususun rencana untuk kembali ke ibu kota. Untuk menelusuri jejak-jejak peradaban yang barangkali akan berguna dalam perjalananku kali ini. Perjalanan melawan arus takdir. Mungkin pikiran akan kata itu membuatku ingin menembus batas berpikir. Aku ingin keluar dari titik nadir yang mengungkung. Dan aku kembali ke ibu kota.

Ibu kota tak memberikan penyelesaian akhir. Ia hambar. Semuanya rusuh sejak menghilangnya Sulaiman. Kerusuhan itu semakin rusuh usai kabar penangkapan Badrun. Anak yang menuduhku mengkhianati Sulaiman itu langsung mendapatkan balasan.

Aku memang tak menyimpan dendam. Untuk apa aku menyimpan kesumat, aku sudah menghabiskan cinta kepada Sulaiman. Rasa benci sudah tak dapat terukir lagi di hatiku. Ia bentuk abstraktif kehidupan yang tak ingin lagi kureguk. Ia adalah rasa yang egois.

Kisah-kisah egois adalah salah satu kisah paling absurd yang paling digemari oleh para manusia. Para manusia menyebutnya cinta sejati. Tetapi, aku menyebutnya keegoisan tak terlawankan. Spektrum cinta sejati itu tidak jelas. Terlalu luas cakupannya. Mungkin sebenarnya tidak ada. Cinta sejati itu bekerja layaknya fiksi. Menampilkan khayal-khayal tertahan manusia yang terlalu mustahil untuk diwujudkan eksistensinya. Ia adalah bentuk tak tentu dari khayalan manusia yang tak berurut. Kusut.

Kutersenyum sendiri memikirkan isi kepalaku yang begitu liar. Aku mengkritisi tentang spektrum cinta sejati yang egoistik. Seakan aku akan menghilangkan ego itu bila aku yang ditimpa pilihan antara dua cinta dan orang lain. Tanpa mencoba untuk memberikan pembelaan, aku akan coba untuk menantang upaya kalian untuk menyudutkanku.

Egoisme itu akan terlihat buruk ketika orang lain yang melakukan. Ketika egoisme itu dilakukan oleh diri sendiri, masa bodoh adalah hal yang paling sering singgah. Menilai diri sendiri akan selalu bias. Jika ingin menilai diri sendiri, berikan kesempatan itu pada sang ahli. Dan aku, enggan untuk menilai diriku sendiri.

Kutak tahu apakah kritikanku pada kisah-kisah egois justru akan berbalik padaku. Semoga saja tidak. Aku tak diizinkan untuk egois. Aku adalah milik peradaban dan akan mengabdi pada peradaban. Cahaya cinta mungkin akan kutinggalkan bila dilawankan dengan keadilan di kehidupan orang lain. Mungkin saja. Tapi, tolong jangan bingungkan aku. Harapanku, benturan itu takkan terjadi.

Pelukan itu kemudian terlepas. Pikiranku pun berhenti memikirkan sesuatu yang liar. Sinar kehidupan kembali mereguk aku. Reuni di gedung empat lantai yang remang ini bukan hanya antara aku dan lelaki yang dicintai semesta, Sulaiman. Di ruangan ini pula, lima orang lainnya sedang melepas rindu karena perpisahan sesaat yang begitu menguras hati.

Empat dari lima orang itu adalah orang-orang yang kujemput lima hari lalu. Aku menjemput mereka di rumah petak tak layak huni. Itulah yang diberikan oleh keluargaku kepada mereka. Hal yang terlalu membuat muak. Terutama menilai fakta bahwa mereka adalah tamu yang seharusnya disambut dengan penuh suka cita. Pesakitan atau bukan, siapapun berhak mendapatkan penyambutan hebat.

Apalagi orang-orang ini. Kumpulan orang-orang kelas marjinal yang tergerus oleh kekejaman duniawi dan segala kerlap-kerlipnya. Meski marjinal, tetapi tatapan mata mereka penuh dengan harapan. Sekali tebas pandang, keyakinanku menyebutkan mereja bukan penjahat munafik yang gemar bersilat lidah. Keluarga ini adalah keluarga yang hangat. Membuatku merindukan masa lalu.

Orang tua tujuh puluhan itu mungkin begitu kolot hingga otakku terus-menerus harus menahan rasa agar tidak membungkam gaya berpikirnya yang menggelikan itu. Tetapi, ia adalah orang tua yang benar-benar sudah merasakan berbagai peristiwa sejarah. Ia sudah melewati sebuah gelombang kejatuhan rezim maha kuat di masa remajanya, menghadapi krisis pemerintahan yang begitu kejam hingga berujung pada pembantaian massal di pertengahan umur lima puluhan, hingga kini menghadapi penghakiman tak berimbang kepada cucu kesayangan, Badrun.

Badrun. Manusia yang menuduhku. Badrun. Sahabat sejati sang pemimpin besar. Orang yang paling dipercaya olehnya. Ia adalah sedikit orang yang tahu aku dan seluruh isi pikiranku yang liar. Aku yakin ia tak pernah membagi data ini kepada siapapun. Bahkan kepada sahabatnya Sulaiman.

Badrun memiliki kualitas besar untuk menjadi orang kepercayaan. Ia lantang berteriak. Suara seraknya dapat membungkam apapun. Meskipun terkadang tak terkendali, ia masih sangat di atas rata-rata untuk dapat menjalankan berbagai strategi rumit. Ia mungkin tak secerdas Sulaiman, tetapi ia lebih energik dari Sulaiman. Sulaiman mungkin ahli bela diri kelas wahid, tetapi aku yakin Sulaiman takkan menang bila harus berhadapan dengan Badrun. Badrun punya kualitas. Fisik dan psikis. Untuk apa aku membencinya. Semua itu hanya emosi sesaat. Implusivitas kerja otak yang tak jernih usai kesedihan yang bertumpuk.

Sulaiman menatap aku dengan tatapan tak terjelaskan maknanya. Ia terlihat begitu murka kali ini. Tatapan matanya padaku seolah tak menyimpan kerinduan seperti yang kusimpan untuknya. Ia menatapku datar. Jikalau begini, untuk apa peluk-cium hangat tadi? Untuk membuktikan betapa aku mencintanya? Jikalau begitu, Sulaiman resmi merupakan begundal paling kubenci sepanjang sejarah peradaban manusia. Tapi ... aku kemudian sadar bahwa ceramah panjangku soal egoisme dan cinta kini berbalik padaku. Oh ....

"Aisyah, usai semua yang terjadi akhir-akhir ini, usai segala pahit-manis-getir yang kita lalui dalam berapa ratus jam belakangan, aku ingin bertanya satu hal padamu Aisyah. Apakah hatimu tidak punya keraguan? Apakah yang membuatmu mencintaiku? Adakah cinta ini semuanya sebenarnya hanyalah ilusi?" Pertanyaan itu begitu getir. Kutak mampu menjawabnya karena hanya ketulusan lah yang kupunya sebagai alasan mencinta. Hingga aku pun menelusur ke dalam pikiranku. Dan aku menemukannya.

Kisah ini takkan pernah bisa terpisahkan dari masa kecilku yang begitu getir. Aku dibesarkan di lingkungan istana yang dipenuhi dengan kepalsuan dan tipu daya. Ayahku adalah adik dari maharaja sekaligus perdana menterinya.

Meskipun ayahku hanya perdana menteri, ia berhasil mengamankan setidaknya seperempat kekuasaan kepadanya. Jumlah yang hampir setara dengan maharaja. Karena meskipun pada dasarnya monarki absolut, kekuasaan maharaja tidak benar-benar mutlak, ia tetap saja berbagi kekuasaan dengan para menterinya. Bersihnya, maharaja punya tiga puluh persen kekuasaan. Tapi menurutku, melihat sang maharaja yang kurang cakap dalam memimpin, ia pasti memiliki kurang dari angka itu.

Di tengah konflik kekuasaan dan kekuatan itulah aku dibesarkan layaknya tuan putri. Apapun yang kuinginkan semuanya terpenuhi, tidak peduli seabsurd apapun keinginan itu. Masa-masa awal hidupku kuingat adalah bagian terbaik dari dunia ini. Hal itu terus seperti itu hingga aku bertemu Sulaiman.

Pada masa ini, aku dimanjakan bukan hanya oleh ayah. Ibuku juga sangat memanjakan aku. Cintanya tak memiliki batas. Aku termabuk dengan cinta kasih itu. Hingga aku lupa pada satu hal, kefanaan. Kefanaan itu datang singgah. Menimbulkan luka di hati yang tidak bisa dijelaskan maknanya. Hatiku kelu menghadapi konflik ini. Aku merasa dunia tidak lagi adil dan aku putuskan untuk menutup diri. Jiwaku sudah mati rasa.

Perasaan fana itu datang dalam bentuk jemputan malaikat langit kepada ibuku. Usiaku saat itu delapan. Jika ditanya rasanya, kedahsyatan rasa kehilangan yang begitu menyakitkan itu tidak pernah bisa mengabur. Ia kekal dalam hatiku. Meninggalkan bekas luka pecut yang teramat perih. Bekas pecutan itu bagaikan disiram dengan air garam. Begitu menyakitkan. Begitu menyiksa.

Usiaku sepuluh kala ayahku menikah lagi. Wanita itu sempurna. Ia menyayangiku. Aku tahu rasa sayangnya tulus padaku. Ia begitu baik padaku, akulah yang terlalu egois. Enggan untuk berbagi cinta. Enggan untuk melupakan kenangan masa lalu. Enggan untuk menghapuskan cerita Sedih yang begitu memikat. Aku enggan. Ia tetap berjuang untuk mendaoatkan cintaku. Aku menjauh. Ia mendekat.

Tapi, tetap saja ia gagal. Aku sudah mati rasa. Sudah tidak bisa mencinta. Cintaku sudah musnah. Dan ia datang padaku hanya menjemput rasa kecewa.

Pernikahan itu membuat aku merenggang dari ayahku. Ia tetap memenuhi segala kebutuhanku. Membuat aku menjadi tuan putri tercantik sejagat. Tetapi, rasanya hambar. Aku tak dapat menikmati itu semua. Itu semua seperti cahaya remang yang tak dapat terangi kegelapan hati, tak cukup kuat untuk benderang seperti matahari. Tak cukup kuat untuk membuatku memaafkan dunia yang telah membawa orang lain ke kehidupanku.

Kehidupanku berjalan seperti siklus yang tak berhenti. Membosankan. Datar. Hampa. Dan itu berjalan selama bertahun-tahun. Begitu lama. Begitu lama.

Aku mencoba untuk kabur dari kenyataan. Menjadi pemimpin dari berbagai perkumpulan dengan segunung kepura-puraannya adalah bentuk pelarian yang sering kali kucoba. Tetap saja, itu semua tidak membantu. Tidak sama sekali. Rasa hampa dan kosong itu tetap ada. Mengungkung aku hingga tahap yang tak masuk akal. Hingga kerusuhan petaka setahun silam mengubah segalanya.

Sulaiman. Pemuda yang kucinta. Itulah kali pertama aku melihatnya. Pada pandang pertama, aku langsung terpukau dengan karismanya yang mengurung. Aku terkepung oleh semangatnya yang membangkitkan hasrat. Aku terbengong olehnya. Dan pada kesan pertama aku jatuh cinta. Tersihir.

Bagaikan mendapatkan berkah langit, cintaku bagaikan mendapat restu semesta. Restu itu datang dalam bentuk seorang malaikat penyatu. Orang yang terkenal dengan jukukan raksasa dari timur itu ternyata memerhatikan aku dalam diam. Usai kerusuhan petaka yang sempurna memilukan itu ia menemui aku. Tepat ketika aku sedang bercengkrama di taman bersama sahabatku satu-satunya, Lisa.

Raksasa dari Timur, seorang pengusaha kelas atas yang merupakan orang terkaya di negara ini. Kekayaannya lima kali lipat kekayaan seluruh keluargaku. Raksasa dari Timur adalah adik dari Tuan Jenderal Osman, saingan terberat ayahku. Dahulu, ayah jenderal Osman dan kakekku adalah dua pemersatu bangsa. Dua sosok pahlawan yang menyatukan negeri usai kepahitan akibat perang saudara.

Sekitar lima belas tahun lalu. Kakek wafat sebelum perang benar-benar usai. Pamanku, yang saat itu masih bergelar Tuan Pemimpin Agung menggantikan posisi kakek dan berhasil memenangkan peperangan menyedihkan itu. Sang tetua yang tersisa, mati di hari pelantikan. Paman pun dilantik sebagai maharaja dan Jenderal Osman kemudian diangkat sebagai pemimpin tertinggi militer. Ayahku kebagian peran sebagai perdana menteri.

Raksasa dari Timur tidak memedulikan persaingan kekuasaan di lingkaran dalam. Ia meninggalkan bagiannya dan membangun konsorsium bisnisnya. Sepuluh tahun telah berlalu dan kini ia adalah salah satu penggerak utama ekonomi negara ini. Seorang taipan. Ia berada jauh dari kekuasaan istana. Berada di timur ratusan kilometer. Tetapi berpengaruh. Ia dapat mencipta keruh; dapat membuat badai. Dan ia berada di hadapanku. Siap untuk membadaikan kehidupanku yang sudah cukup tenang. Menggemuruh.

Dengan wibawa langit ia berkata, "Aisyah, bukan? Saya Ali Rustam. Orang-orang lebih suka memanggil saya Raksasa dari Timur atau Timur saja. Mengingatkan saya pada kaisar zaman dahulu. Saya memerhatikan arah tatapanmu tadi. Kamu sepertinya terpukau dengan seseorang. Sulaiman?"

"Sulaiman?" Aku bertanya bingung. Siapa dia.

"Pemimpin mahasiswa wilayah barat. Dia keponakanku. Kamu tak perlu heran dengan gaya berpakaiannya yang mendekati ketak layakan. Ia memang seperti itu. Tak memedulikan penampilan. Yang penting ia tampan, bukan? Aku bisa membuatmu dekat dengannya secara alamiah. Syaratnya hanya satu. Kamu lanjutkan sekolahmu ke barat. Ia akan terpukau padamu pada tatapan pertama. Siapa juga yang tidak? Setelahnya, kamu curi perhatiannya. Aku yakin tak perlu lagi mengajarimu soal ini. Kamu Aisyah, bukan?" Bujukan sang raksasa ini begitu mencengkram. Ia berhasil menggoyangkan pendirianku. Mengendalikanku bak boneka. Dan aku ikuti keinginannya.

Tawaran kekuasaan mendekati tak berbatas seminggu kemudian kutolak mentah-mentah. Kekeruhan pun kembali memayungi kehidupanku bersama ayahanda. Biarlah, tekadku sudah bulat. Dengan atau tanpa restu langit, aku akan menuju barat dan di situlah aku akhirnya memulai cerita ini dengan benar.

"Tidak ada ilusi di cinta kita, Kak. Semuanya apa adanya. Tak ada kepura-puraan. Hanya perseteruan batin lah yang membuat kita jadi bias." Itulah jawaban yang ingin kusampaikan dan akhirnya tersampaikan. Cintaku padamu murni. Terhubung ia mungkin dengan saran sang Timur. Tapi, keluarannya adalah semurni-murni rasa. Abadi.

"Bagaimana dengan pamanku? Apakah ia ikut memanipulasi rasa kita. Aku kenal ia. Ucapannya begitu mencengkram. Sudahlah, Aisyah. Kamu pikirkan saja dulu jawabannya. Kita bisa bicara lagi, Aisyah. Setelah kamu yakinkan hatimu." Kata-kata ini membuatku teringat dengan ucapan ibu kantin dahulu. Usai aku mempermalukan tiga orang lelaki yang sedang menyatakan cintanya di hadapanku. Ketiga bintang sekolah itu berlutut bagai orang bodoh yang kebagian lempung. Begitu dangkal. Begitu lembek. Membuatku mengucapkan kata-kata pahit yang menghancurkan harga diri mereka dalam sekejap.

Ibu kantin yang punya nada suara yang sangat kusuka itu berkata, "Hentikan perbuatan mempermalukan orang ini nak. Nanti, tulahnya dapat membuatmu kebingungan setengah mati. Kau ingatlah! Dunia itu tidak diam. Ia berputar dengan poros yang tetap. Menggerakkan takdir-takdir manusia sesuai dengan kehendaknya. Karena itulah, manusia mesti berhati-hati menghadapi garis takdir. Seimbang." Kata-kata yang menohok dari seorang ibu kantin. Dan ia bukan ibu kantin biasa. Ia seorang lulusan filsafat. Ia adalah salah satu alasan aku mengambil filsafat.

Dan kebingunganku semakin pekat. kata-katanya kini menjadi sebuah kenyataan. Sulaiman pun berangkat. Kakinya melangkah. Mulutku yang tertutup rapat tadi akhirnya terbuka. Mengeluh pelan padanya, "Kak, jika kakak bertanya tentang ketulusan cintaku, maka aku tanya pada kakak alasan kebencian kakak terhadap dunia. Aku penasaran." Ia sempat terhenti. Kemudian berjalan menuju dunia lain. Meninggalkanku yang masih tercelat. Meninggalkanku yang masih tenggelam dalam spektrum mimpi dan angan-angan. Menunggu Sulaiman mengirimkan jawaban. Menunggu. Dan menunggu.


Komentar

Postingan Populer