Kolonel Ali

Aisyah Sebenarnya

Dunia manusia ramai dengan kecaman. Para manusia gerah terhadap keputusan pemerintah yang represif terhadap situasi terkini terkait dengan kasus pejabat lingkaran dalam istana yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana penyuapan. Masalah bertambah dengan kabar penculikan beberapa wartawan yang juga dikabarkan disiksa oleh pihak istana.

Berbagai kampus di seluruh negeri sudah sepakat untuk mengadakan penyampaian pendapat di muka umum besok. Ini artinya kampusku yang dipimpin oleh sang pemimpin yang juga merupakan lelaki yang kucinta akan mengumpulkan gelombang massa yang berpotensi kerusuhan esok hari. Badai mungkin telah menanti.

Sudah tiga hari aku kabur dari kenyataan. Semua usaha para rekan dan sahabatku, bahkan sang kekasih dalam menghubungiku kuabaikan. Entah mengapa, sejak hal ini mencuat empat hari yang lalu di jaringan pribadiku, aku langsung merasa kembali kotor. Dosa apa yang sudah kubawa ke alam dunia ini. Apakah aku sudah menyeret para manusia ke dalam lubang mematikan. Mungkin kutak berlaku langsung. Tetapi, aku makan dari bekas kotoran. Aku begitu menjijikkan.

Janji-janji yang kuucapkan kepada kekasih yang kucinta seutuhnya seakan hanya topeng akan kemunafikanku dalam bertindak. Aku mengucapkan kata-kata kosong yang sudah pasti takkan sanggup kupenuhi. Kekotoran kata-kataku membuat aku pengin muntah karena kejijikanku pada diri sendiri. Kejijikan ini bahkan telah membuat aku menderita krisis kepercayaan diri. Limpahan rasa takut akan kehilangan segalanya mencuat dalam segumpal daging yang isinya harus dijaga kemurniannya. Hatiku rapuh. Jiwaku hampir runtuh. Pertahananku tertembus.

Mimpi buruk akan kehilangan asa, seperti yang dulu pernah terjadi di masa laluku, kembali datang singgah. Pendar-pendar cahaya gelap yang dulu sempat menggelapkan hatiku kini datang kembali. Membuat aku benar-benar takut untuk membuat keputusan. Bisik-bisik mematikan yang datang di kanan dan kiri telingaku membuat aku benar-benar buntu dalam memikirkan segala sesuatunya. Gelimangan itu lah yang membuat aku masih terjaga hingga waktu sudah menujukkan pukul 2 pagi. Aku tak dapat tertidur. Rasa kantukku tertutup kegelisahan.

Rasa takut apabila mataku terpejam suara-suara mengecam akan datang meneriaki aku lah yang membuat aku tidak bisa menutup mata dan menjemput mimpi. Ketakutan itu terus menerus datang hingga aku sadar kalau aku butuh energiku untuk menghentikan kegilaan yang akan terjadi besok. Oh yang memberi kehidupan, berikan aku kekuatan untuk memejamkan mata. Dan perlahan kesadaran akan segala sesuatu yang berputar di atas dunia pun perlahan memudar. Menyisakan ketenangan.

.
.
.

Gemuruh terompet membangunkanku. Ada apa? Apakah istana diserang? Perang pecah? Sudah berapa lama aku tertidur? Kuperhatikan garis-garis cahaya matahari masuk ke dalam kisi-kisi jendela kamarku. Matahari tampaknya belum terlalu tinggi. Setelah agak lama aku terdiam dan tetap berbaring di atas ranjangku, kualihkan pandangku ke dinding berwarna putih yang mewarnai kamarku. Kulihat jarum pendek jam dinding menunjukkan angka 7 sedangkan jarum panjangnya menunjuk ke angka 3.

Jam analog! Di masa sekarang, bagi sebagian orang mungkin akan merasa hebat ketika ia memiliki jam digital yang berharga senilai berapa ratus gram emas. Andaikan ia memahami cita rasa seni tingkat tinggi yang terpatri dalam jam analog. Sekadar informasi, jam yang bertengger manis di dinding kamar ini dibawa oleh bibiku setahun lalu ketika ia sedang bepelesir ke negara nan jauh di sana di benua biru. Konon katanya, jam ini adalah peninggalan seorang bangsawan yang nama keluarganya kini sudah habis digerogoti oleh zaman, bila tiga ratus tahun yang lalu orang mendengar nama itu, mungkin orang-orang akan merasa takut setengah mati karena kekuasaan hampir tak terbatas yang dimiliki oleh keluarga tak tersentuh tanah itu. Tapi kini, orang hanya akan mengernyitkan dahi seraya berkata, "Hah? Saya tidak pernah mendengarnya!"

Jam 7.15 pagi. Aku belum terlambat untuk melakukan pencegahan akan sebuah bencana yang akan membuat aku membenci diriku sendiri seumur hidup. Debar-debar jantungku dan bunyi-bunyi harapan yang menggema dalam hatiku membuat aku merasakan sensasi menyakitkan dan merasa seperti teriris-iris oleh sesuatu yang tak seharusnya membuat aku terluka. Bagaimanapun indah dan meyakinkannya topeng yang kupasang di hadapan khalayak, di lubuk hatiku aku masihlah seorang remaja yang dapat terluka oleh sebuah rasa bersalah.

Bagiku, pujangga-pujangga itu telah memberikan dua jenis pandangan berlawanan di kehidupanku. Entah mereka telah berjasa atau malah berdosa telah menanamkan sebuah kebohongan yang ditelan mentah oleh para remaja, termasuk aku.

Pujangga golongan satu menceritakan bahwa cinta itu bahagia, indah, memabukkan, dan memberi rasa nyaman. Sensasi ilusi cinta yang membuat hati berbunga-binga dan dunia seperti berubah menjadi surga. Keindahannya membuat hati selalu merasa bersyukur dilahirkan dan jiwa merasa bersyukur sudah dipertemukan dengan sang belahan jiwa.

Bagiku, cerita pujangga yang seperti itu adalah sebuah kebohongan. Aku lebih suka dengan pujangga jenis kedua. Pujangga yang gaya berceritanya begitu realistis dalam menarasikan kisah cinta anak keturunan Adam dan Hawa. Kepada pujangga yang seperti ini aku haturkan sembah terima kasih sudah membukakan mataku kalau cinta itu tidak bisa dipandang dua dimensi. Dimensi cinta itu begitu banyak dan tidak semuanya mampu dipahami oleh manusia Bumi dan makhluk hidup lain yang tinggal di belahan manapun di galaksi jagat raya ini.

Dimensi cinta yang menyayat-nyayat itu lah yang kurasakan kini. Kombinasi rasa khawatir dan sedih yang merasuki aku sampai-sampai menghimpit dadaku. Sesak. Tidak akan ada obat yang mampu menenangkan aku kali ini. Oh tunggu, aku masih punya kartu As.

.
.
.

Dengan langkah tergesa aku menjelajahi seisi istana gubernur itu. Para penjaga yang menjaga di setiap pintu ruangan menghormat sekadarnya padaku. Langkah-langkahku menggema ke seluruh ruangan, merambat melalui dinding istana, suara gemanya yang memantul-mantul begitu menyeramkan, bahkan aku sendiri pun merasa ngeri mendengar gema dari suara langkahku sendiri.

Pintu kayu kokoh itu kudobrak. Dua orang pengawal yang menjaga di luar pintu itu tidak ada yang berani menyentuhku. Kumasuki ruangan berornamen putih itu dengan langkah cepat dan raut wajah murka. Nuansa klasik khas abad pertengahan langsung terpamerkan ketika aku masuk ke ruangan itu. Bercampur dengan temaram yang menghantui ruangan luas itu. Ruangan itu artistik dan mengerikan.

Seorang pria berusia akhir 30-an kulihat sedang duduk. Menulis sesuatu. Di hadapannya seperangkat komputer paling mutakhir sedang dioperasikan. Dalam duduknya, pria itu sudah berpakaian rapi. Padahal hari masih begitu muda, matahari bahkan masih malu-malu menampilkan cahayanya, garis-garis sinarnya terkadang masih menghilang di balik tembok-tembok pencakar langit. Kumis tebal pria itu terpilin simetris dan rambutnya disisir rapi, mengilat akibat diolesi minyak rambut kualitas papan atas. Ia telah bersiap. Persiapannya matang. Ia mungkin akan membantai para penyampai asa hari ini.

"Aku ingin kegilaan ini berhenti sampai di sini, Kakak!" Tanpa basa-basi aku langsung menghajar orang yang merupakan manusia yang berbagi rahim denganku ini tepat di mukanya.

"Adikku yang manis, silakan duduk. Apa kamu ingin menyapa ayah? Bukankah sudah bertahun-tahun kalian tidak berbicara baik-baik. Mungkin jika kali ini kamu lebih manis, ayah dapat menjentikkan jarinya dan boom ... semua akan berubah dan terlaksana seperti yang kamu kehendaki. Lagi pula, kakakmu ini sudah lumayan lama tidak melihatmu. Bagaimana kuliahmu? Aku dengar kamu sudah menjadi sekretaris pers kampus. Hmm, adikku yang glamor, manja, dan terjebak dalam dunia putri dongeng itu ternyata mau bergabung dengan kumpulan jurnalis amatir yang sok idealis. Ada apa denganmu? Hah! Apa kota ini sudah membuatmu gila?" Ia tersenyum sinis. Senyuman yang selalu keluar dari wajahnya. Senyuman yang selalu berhasil membuat aku geram. Memancing amarah.

"Tidak ada yang gila di kota ini dan maaf, aku tidak mau duduk! Aku ingin kamu sekarang memerintahkan seluruh pasukanmu di setiap penjuru kota untuk membiarkan para mahasiswa masuk dan menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah!" Aku menolaknya dengan keras. Bujuk rayunya sudah tidak mempan lagi. Aku tahu ia luar dalam.

"Atas perintahmu? Hei adikku, kesempatanmu untuk memerintahkan sesuatu kepadaku sudah kau sia-siakan setahun yang lalu ketika kau menolak dijodohkan dengan pemuda itu. Cinta, heh, apa yang kau dapatkan dari kata yang terlalu banyak kau baca di novel fiksi itu? Dijauhkan dari ibu kota. Dititipkan kepada kakakmu yang kau tuduh melakukan sesuatu yang mustahil dilakukan. Buka matamu, Aisyah. Kau takkan bisa menjadi seorang pemberontak, tak cocok. Jalan hidupmu sudah ditentukan di hari kamu dilahirkan oleh ibunda. Jika kamu berani mengubahnya, kerusakan lah yang akan kamu temui." Ekspresi orang ini benar-benar membuat aku jengkel. Andaikan aku punya kekuatan untuk menghajar orang ini. Maka, akan kulakukan.

Kolonel Ali, seorang cemerlang yang dipuja-puja seisi negeri karena berhasil memadamkan perang saudara 15 tahun yang lalu kala usianya masih 21 tahun. Meskipun di mata negara ia adalah seorang pahlawan pembaharu revolusi yang amat dihormati, di mataku ia hanyalah sosok lelaki yang ditakdirkan lahir sebelum aku. Ia memang sudah begitu gagah ketika aku terlahir ke atas dunia. Jarak usia kami hampir 20 tahun. Tapi, kolonel yang satu ini memiliki banyak kenangan indah di dalam kepalaku. Setidaknya, hingga kejadian yang tak pantas diingat itu pecah sepuluh tahun lalu.

Empat tahun lalu, ia diberikan kekuasaan yang lebih besar untuk memerintah wilayah barat negeri ini. Tuan kolonel itu kini bergelar tuan gubernur-kolonel. Jabatan yang sangat prestisius. Terlebih, karena usianya yang terlampau muda untuk mengemban tugas seberat itu.

Hidup berjauhan dengannya pada awalnya memberikan aku sensasi tenang yang mengobsesi aku sejak lama. Sensasi itu ternyata semu dan tidak dapat dikendalikan. Bayangan-bayangannya ternyata lebih menyakitkan dibandingkan melihatnya secara langsung. Ditambah sosok yang paling kubenci di dunia ini selalu datang menggangguku. Sebuah insiden tahun lalu akhirnya membuat aku harus kembali bertemu dengan sang kolonel, bahkan menjadi subjeknya.

"Tolonglah, Kak." Air mata ternyata sudah membasahi pipiku. Emosi sudah tidak bisa kutahan lagi.

"Baiklah kalau begitu, ternyata orang itu benar."

.
.
.

Matahari semakin tinggi. Usaha terakhir yang kuanggap kartu asku ternyata gagal kumanfaatkan. Doktrin kebencian yang sudah terpatri dalam otaknya tidak dapat kulelehkan, bahkan dengan air mataku.

Aku masih menangis saat ia meninggalkanku di ruangan itu. Terisak-isak. Banjir. Langkahnya terlihat terburu-buru. Di tangan kanannya ia menggenggam alat komunikasi yang dapat berfungsi dengan gerakan ekspresi wajah. Dari ekspresinya ia tampaknya sedang memerintahkan anak buahnya untuk melakukan suatu terobosan.

Terobosan itu suatu saat akan membuatku semakin terpuruk dengan rasa bersalahku. Membuatku merasa sendiri dalam hari-hari sulit seperti ini.

Aku kemudian berjalan menuju balkon. Menunggu sesuatu yang akan menghancurkanku. Aku menunggu waktu yang tak kunjung berjalan. Aku merasa terjebak dalam dunia penuh kesalahan semesta. Aku menunggu dalam diam. Menyusun kilat-kilat ingatan yang mungkin terpendam.

Aku ingat betapa brutalnya kejadian tahun lalu. 45 orang tewas di kejadian yang berawal dari kenaikan berbagai harga bahan pokok itu. Kala itu, pidato perdana menteri di hadapan rakyat dianggap tidak pro-rakyat dan sangat represif terhadap rakyat. Rakyat sudah begitu gerah. Dan kali ini mereka sudah tak mampu menahan amarah. Mereka melepaskan rasa geram yang telah terpendam.

Keesokan harinya, ribuan rakyat sudah berkumpul di depan istana untuk menyampaikan aspirasi mereka. Mereka disambut dengan sepleton prajurit bersenjata lengkap. Satu patah dua patah kalimat diteriakkan ketika peluri tajam kemudian mengejar mereka. Membabi buta.

Kudengar saat itu seorang ahli dagang yang terkenal dengan kejujurannya membiayai 2.500 mahasiswa dari seluruh negeri untuk berangkat ke ibu kota malam itu juga. Dari situlah secara tersamar aku melihat lelakiku pertama kalinya. Jika aku pernah mengatakan pada kalian tentang bagaimana kali pertama aku terpukau padanya. Ceritaku tentang masa perkenalan mahasiswa itu sedikit salah. Inilah kebenarannya. Aku sudah lama terpukau dengan karisma dan keberaniannya. Aku sudah lama terjerat. Bahkan sebelum kisah ini tersebar dari mulut ke mulut. Atau dari alat ke alat komunikasi.

Di balkon, sang gubernur kolonel sudah siap sedia dengan pakaian militer lengkap. Ia berdiri tegak didampingi oleh Kapten Hasan, pemuda usia 20-an yang sudah mendampinginya sejak ia pindah ke kota ini.

Kapten Hasan adalah lelaki paling atletis yang pernah kutemui. Ia tidak terlalu tinggi. Tapi, badannya kekar dan aku tidak mau membayangkan otot-otot seperti apa yang terukir di balik seragam militernya. Kapten Hasan adalah orang kepercayaan sang gubernur-kolonel. Ia bahkan ditugaskan untuk menjemputku empat bulan lalu. Hanya dia. Di dalam kabin pesawat yang hanya terdiri dari aku, ia dan tiga orang awak pesawat itu lah kami diam duduk mengkhayalkan banyak hal selama dua jam perjalanan. Tanpa basa-basi. Hening. Sunyi.

Begitu pun dengan satu jam perjalanan dari bandara menuju istana gubernur. Kami menghabiskan satu jam panjang itu dengan hanya berdiam-diaman. Karena sikap diamnya yang luar biasa menyiksa itulah aku memutuskan untuk menjulukinya robot kaku yang tidak berperasaan. Waktu terasa seperti dilambatkan saat itu.

Robot kaku tak berasa itu ternyata berbeda dengan ketika ia berada bersama sang kolonel. Ia langsung memasang tampang santai seolah kolonel adalah atasan ramah yang sudah dianggapnya sahabat sehidup semati. Ia berbeda dan aku sedikit merasa tersingggung.

Di balkon, bukan hanya sang ajudan yang menemani sang kolonel. Di sana juga berdiri wanita cantik yang tidak berbeda jauh usianya dariku. Mungkin berbeda sekitar tiga tahunan atau kurang. Setahuku, wanita ini bertemu dengan sang kolonel setahun usai ditugaskan di provinsi yang sangat kaya ini. Wanita itu adalah putri dari pengusaha tambang kelas kakap di provinsi tersebut.

Setelah berhubungan selama dua tahun, ia melamar wanita cantik itu beberapa bulan silam. Karena cinta? Seperti yang dikatakannya padaku tadi. Dia tidak menggantungkan nasib dan tidak peduli akan omong kosong itu. Semuanya demi takhta. Semuanya demi kuasa.

Ketinggian matahari sudah cukup menyegat kala gerombolan massa yang berjumlah sekitar sepuluh ribu itu masuk berjejer menuju pelataran istana. Senyum sinis sang gubernur langsung menyambut mereka. Bak menyambut mangsa yang siap diterkam saja lelaki ini. Sang gubernur kolonel yang dianggap pahlawan itu sebenarnya tak lebih dari jagal yang senang membantai lawan-lawannya.

"Selamat datang adik-adik. Kalian sudah lihat kalau kami terbuka untuk mendengar keluh kesah kalian yang prihatin dengan keadaan beberapa teman jurnalis yang ditangkap karena merencanakan pemberontakan. Kalian mungkin tidak percaya dengan kata-kata saya. Tetapi, jika pemerintah memang ingin membumi hanguskan kalian, itu hanyalah pekerjaan kedipan mata, terlalu mudah." Suara kolonel penjagal ini bernada ramah. Tetapi, di balik suara ramah itu, tersimpan pendam-pendam kekejaman. Begitu terasa. Begitu nyata.

Deg ... jantungku berhenti ketika melihatnya. Lelaki ini. Mengapa ia harus begitu keras kepala untuk datang ke sini. Aku menyerah. Ia kemudian mengambil pengeras suara dan berkata, "Jika niat pemerintah, khususnya maharaja memang tulus kami akan sangat menghargainya. Masalahnya, semua itu haya berada di ujung lidah kalian. Tidak pernah ada usaha sungguhan dalam menenangkan kegelisahan kami." Jantungku semakin terguncang ketika ia menoleh ke atas. Aku bisa merasakan ekspresi kekecewaan di wajahnya.

Sang kolonel sesaat tersenyum kepadaku sebelum kemudian ia berbisik, "Baiklah kalau begitu!"

Komentar

Postingan Populer