Memoar I: Arak dan Cinta
Dalam puisi-puisi lama, kata-kata puitis itu berkisah tentang betapa memabukkan arak hitam kala ia telah tertenggak. Rasa mabuknya menjalar hingga ke pori-pori otak. Namun, lain pula alkisah bila wanita yang tertenggak di hati, rasa mabuknya berkali-kali lipat. Dunia seakan berguncang-guncang. Matahari serasa bersinar lebih terang. Bulan berbinar binar diiringi terang benderang gemintang di langit. Rasa mabuk itulah yang terasa padaku kala arak wanita itu tertenggak. Membasahi kerongkongan. Mengaduk-aduk perasaan. Menembus batas kewarasan.
Arak memabukkan itu bernama Aisyah. Sejak pandang pertama aku langsung terjerembap ke dalam lubang cinta. Apakah rasa ini memang cinta? Apa sekadar nafsu birahi adanya? Entahlah, otakku kebingungan dihajar pertanyaan filosofis yang tak mampu dijawab menggunakan logika akal manusia. Cinta. Rasa. Yang pasti, aku termimpi-mimpi bayangan wajahnya yang indah dipandang sang mata. Semuanya. Matanya yang berwarna langit itu. Hidung indahnya yang seperti dimiliki oleh dewi-dewi khayangan.
Aku termimpi-mimpi bayangannya dengan rambut hitamnya yang tergerai indah. Lembut bagaikan sutra. Termimpi dengan bentuk tubuhnya yang sempurna dengan lekukan-lekukan yang membangkitkan. Kulitnya yang putih bak susu itu juga membuat diri bersujud akibat cantiknya. Ia adalah sang dewi kecantikan yang turun dari atas langit. Sang dewi cinta yang dibuat hendak menghukum para pembenci keindahan dan cinta.
Begitulah, kumohon jangan biarkan aku terlupa padanya. Jikalau berjodoh, mudahkanlah wahai Yang Menggenggam Kehidupan.
"Oi, kau mengapa melamun? Awas kau kesurupan!" Suara seseorang membuatku terperanjat; khayalanku buyar. Siapa gerangan orang ini? Ternyata dia.
"Apa kau Badrun !! Mengganggu khayalku yang indah saja! Tak senang benar kau tampaknya padaku. Sampai-sampai khayalan orang pun kau ganggu!" Aku benar-benar masygul dengan kelakuan anak ini. Badrun. Sahabatku yang seringkali membakar perasaan. Rasa-rasanya kepalan tanganku ingin langsung menghantamnya dengan seribu tebasan. Dasar Badrun Sang Pengganggu. Kuyakin nyamuk pun akan terganggu dengan suaranya yang mampu menggoncang jiwa manusia itu.
"Aku tahu kau sedang memikirkan apa. Palin-paling kau mengkhayalkan Aisyah, wanita barumu. Kau ini Lem, tabiat selalu saja sama, tak pernah kau tahan nafsu setanmu. Sekali-sekali tahan, Lah! Gadis semanis itu, janganlah sampai kau rusak!" ucap Badrun dengan nada yang memancing kejengkelan singgah. Kata-katanya cukup panas untuk memerahkan telinga.
Badrun ini memang, kalau sudah bicara, tinggi kata-katanya hampir menyentuh pintu langit. Menggetarkan pasak-pasak bumi. Membuatku kehilangan nafsu akan kata-kata.
"Run, kau dengar aku. Aku tak pernah bermain-main dengan perasaan wanita. Sekali aku jatuh cinta pada makhluk sang Pencipta yang indahnya mengurung jiwa itu, aku akan pertahankan dan perjuangkan cinta ini. Kau cam kan itu, Badrun." Badrun tertawa menyakitkan hati. Seolah kata-kataku barisan omong kosong yang menggelikan jiwa. Awas kau Badrun, aku tidak pernah mengingkari ucapanku. Suatu saat aku akan buktikan kalau kali ini kurungan cinta sudah menggenggam aku dalam seribu kepalan.
Tawa Badrun berhenti. Ia kemudian berkata, "Bukan begitu Lem, bukan maksudku meragukan engkau. Kau sadar siapa kau, Kan? Kau sadar kalau setiap gerakanmu dipantau orang lain. Kau itu figur penting, Lem. Jangan kau rusak nama indahmu di kampus hanya karena gosip kau mempermainkan seorang putri manis pujaan kampus. Pun, biar kuingatkan kau. Aisyah bukan gadis mainan Lem. Dia itu bekas ketua perkumpulan putri borjuis apalah itu di ibukota. Sekarang, kudengar si Andi sudah membujukinya dengan kata-kata murahan yang membuatku pengin muntah. Rudi Lopez juga sudah merayu-rayunya dengan bujukan ala salesman tak punya pengalaman tempur agar ia bergabung dengan pers kampus."
Andi, pemilik mulut yang suka sekali bermanis-manis dengan perempuan. Ingin kutampar mulutnya yang membuat emosiku menggebu-gebu sampai ke otak. Terkadang, aku merasa tidak adil kepada Andi karena aku selalu tidak bisa bersikap objektif kepadanya. Tetapi, setiap kali kudengar namanya, otakku langsung mendidih. Dan Rudi Lopez? Terserahlah!
"Aku butuhkan dia sebagai kekasih, Run, bukan sebagai pesuruh. Lagipula kita sudah punya sekretaris terbaik di dunia, Dyah yang ligatnya tak tertandingi oleh makhluk apapun. Ingat itu Badrun!" Ahoi Badrun, sudah berapa lama kita berbagi rasa dan pahamkan hati satu sama lain. Tak peka benar engkau ini.
"Terserah kaulah, Lem. Aku ini apa, Lah? Cuma sekadar memberi kau gambaran. Mengingatkan. Selama kau mengerti apa yang kau kejar aku tak masalah. Sebagai sahabatmu, aku dukung kau selama kau tak melanggar batas."
"Terserah kau lah Run. Yang penting saat ada tugas memanggil, kau jalankan ya!" Aku tersenyum entah karena apa. Badrun tidak menanggapiku lagi. Anehnya tidak sedikitpun rasa tersinggung mendapatkan tempat, meskipun tanggapan tak kunjung datang. Aku dikacangi. Biarlah. Terserah.
Sudahlah, lebih baik aku kembali ke alam khayali. Kembali memikirkan keindahan bidadari yang sudah memenuhi otakku dengan senyuman-senyumannya yang anggun. Aku mabuk. Arak itu bekerja begitu cepat. Umpama kereta api cepat buatan pabrikan terkenal itu. Aku tersambar petir-petir dengan tegangan 200 juta kilo Volt. Untung saja ini hanya alam khayali. Imajinasi. Efek pendek arak keindahan.
Saat memikirkan keindahan sang bidadari itu lah aku teringat akan sebuah kisah dongeng yang termasyhur diceritakan kala aku kecil dahulu. Kisah seorang bidadari yang jatuh cinta pada seorang pemuda kampung yang tidak layak untuk dicintai. Kualitasnya bobrok. Memalukan.
Kelayakan pemuda itu pudar karena ia menyimpan hal-hal bobrok yang sangat memudarkan simpati di dalam kantong hatinya. Kebobrokan itu tidak disebabkan kemuskinan. Kebobrokan itu adalah efek buruk arak cinta. Arak itu telah mengubahnya jadi pembohong ulung dan pengkhianat cinta. Ia khianati bidadari itu. kekasihnya sendiri.
Gambaran fisik gagah dan gelar besar berupa bekas prajurit sebuah kerajaan besar tak ubah pendapatku tentangnya. Bagiku itu bukanlah sebuah alasan untuk membenarkan kebohongannya. Kisah cintanya dibangun di atas kebohongan. Apakah cintaku juga akan dibangun di atas dasar yang sama?
Pemikiran itu berputar-putar dalam kepalaku sepertu gasing abadi yang berputar-putar tanpa henti. Percepatan gasing itu konstan. Seharusnya pikiran gelap kuhindari dalam masa-masa seperti ini. Sialan! Seharusnya aku memikirkan sesuatu yang indah seperti kisah cinta seorang raja dan putri yang membawa kebahagiaan dan kejayaan bagi seluruh dunia sekitar 200 tahun yang lalu. Alih-alih kisah-kisah maha kelam masa lalu yang membuatku was-was akan kemajuan kisahku. Aku salah kenang. Aku salah terawang.
Pikiran gelap itu telah berlalu. Matahari kembali tersenyum dengan indahnya. Menampakkan berkas-berkas cahaya yang indah dipandangi. Kehangatan pancarannya menenangkan mata hati pembatinan. Wajah dunia semakin indah dengan bayangan wajah Aisyah sang pengalih dunia. Meskipun pergulatan pikiranku yang dipenuhi dengan warna-warni kegelisahan terus menerus menggebu-gebu memenuhi lembar-lembar otak.
Kesibukanku yang bergulat dengan pikiran sendiri membuatku lupa dengan dunia dan isinya. Hentakan langkah Badrun yang keluar dari ruangan pun tak terdengar lagi di telingaku. Hal yang membuatku terheran usai dunia nyata kembali memasuki benak. Rasukku kembali kusyukuri. Nikmatku kembali ketenggak. Arak cinta itu terus menerus menggerus otak. Arak itu bukankah sekadar arak. Arak itu bukanlah arak. Araknya arak khayali. Cintanya lah yang asli.
Arak memabukkan itu bernama Aisyah. Sejak pandang pertama aku langsung terjerembap ke dalam lubang cinta. Apakah rasa ini memang cinta? Apa sekadar nafsu birahi adanya? Entahlah, otakku kebingungan dihajar pertanyaan filosofis yang tak mampu dijawab menggunakan logika akal manusia. Cinta. Rasa. Yang pasti, aku termimpi-mimpi bayangan wajahnya yang indah dipandang sang mata. Semuanya. Matanya yang berwarna langit itu. Hidung indahnya yang seperti dimiliki oleh dewi-dewi khayangan.
Aku termimpi-mimpi bayangannya dengan rambut hitamnya yang tergerai indah. Lembut bagaikan sutra. Termimpi dengan bentuk tubuhnya yang sempurna dengan lekukan-lekukan yang membangkitkan. Kulitnya yang putih bak susu itu juga membuat diri bersujud akibat cantiknya. Ia adalah sang dewi kecantikan yang turun dari atas langit. Sang dewi cinta yang dibuat hendak menghukum para pembenci keindahan dan cinta.
Begitulah, kumohon jangan biarkan aku terlupa padanya. Jikalau berjodoh, mudahkanlah wahai Yang Menggenggam Kehidupan.
"Oi, kau mengapa melamun? Awas kau kesurupan!" Suara seseorang membuatku terperanjat; khayalanku buyar. Siapa gerangan orang ini? Ternyata dia.
"Apa kau Badrun !! Mengganggu khayalku yang indah saja! Tak senang benar kau tampaknya padaku. Sampai-sampai khayalan orang pun kau ganggu!" Aku benar-benar masygul dengan kelakuan anak ini. Badrun. Sahabatku yang seringkali membakar perasaan. Rasa-rasanya kepalan tanganku ingin langsung menghantamnya dengan seribu tebasan. Dasar Badrun Sang Pengganggu. Kuyakin nyamuk pun akan terganggu dengan suaranya yang mampu menggoncang jiwa manusia itu.
"Aku tahu kau sedang memikirkan apa. Palin-paling kau mengkhayalkan Aisyah, wanita barumu. Kau ini Lem, tabiat selalu saja sama, tak pernah kau tahan nafsu setanmu. Sekali-sekali tahan, Lah! Gadis semanis itu, janganlah sampai kau rusak!" ucap Badrun dengan nada yang memancing kejengkelan singgah. Kata-katanya cukup panas untuk memerahkan telinga.
Badrun ini memang, kalau sudah bicara, tinggi kata-katanya hampir menyentuh pintu langit. Menggetarkan pasak-pasak bumi. Membuatku kehilangan nafsu akan kata-kata.
"Run, kau dengar aku. Aku tak pernah bermain-main dengan perasaan wanita. Sekali aku jatuh cinta pada makhluk sang Pencipta yang indahnya mengurung jiwa itu, aku akan pertahankan dan perjuangkan cinta ini. Kau cam kan itu, Badrun." Badrun tertawa menyakitkan hati. Seolah kata-kataku barisan omong kosong yang menggelikan jiwa. Awas kau Badrun, aku tidak pernah mengingkari ucapanku. Suatu saat aku akan buktikan kalau kali ini kurungan cinta sudah menggenggam aku dalam seribu kepalan.
Tawa Badrun berhenti. Ia kemudian berkata, "Bukan begitu Lem, bukan maksudku meragukan engkau. Kau sadar siapa kau, Kan? Kau sadar kalau setiap gerakanmu dipantau orang lain. Kau itu figur penting, Lem. Jangan kau rusak nama indahmu di kampus hanya karena gosip kau mempermainkan seorang putri manis pujaan kampus. Pun, biar kuingatkan kau. Aisyah bukan gadis mainan Lem. Dia itu bekas ketua perkumpulan putri borjuis apalah itu di ibukota. Sekarang, kudengar si Andi sudah membujukinya dengan kata-kata murahan yang membuatku pengin muntah. Rudi Lopez juga sudah merayu-rayunya dengan bujukan ala salesman tak punya pengalaman tempur agar ia bergabung dengan pers kampus."
Andi, pemilik mulut yang suka sekali bermanis-manis dengan perempuan. Ingin kutampar mulutnya yang membuat emosiku menggebu-gebu sampai ke otak. Terkadang, aku merasa tidak adil kepada Andi karena aku selalu tidak bisa bersikap objektif kepadanya. Tetapi, setiap kali kudengar namanya, otakku langsung mendidih. Dan Rudi Lopez? Terserahlah!
"Aku butuhkan dia sebagai kekasih, Run, bukan sebagai pesuruh. Lagipula kita sudah punya sekretaris terbaik di dunia, Dyah yang ligatnya tak tertandingi oleh makhluk apapun. Ingat itu Badrun!" Ahoi Badrun, sudah berapa lama kita berbagi rasa dan pahamkan hati satu sama lain. Tak peka benar engkau ini.
"Terserah kaulah, Lem. Aku ini apa, Lah? Cuma sekadar memberi kau gambaran. Mengingatkan. Selama kau mengerti apa yang kau kejar aku tak masalah. Sebagai sahabatmu, aku dukung kau selama kau tak melanggar batas."
"Terserah kau lah Run. Yang penting saat ada tugas memanggil, kau jalankan ya!" Aku tersenyum entah karena apa. Badrun tidak menanggapiku lagi. Anehnya tidak sedikitpun rasa tersinggung mendapatkan tempat, meskipun tanggapan tak kunjung datang. Aku dikacangi. Biarlah. Terserah.
Sudahlah, lebih baik aku kembali ke alam khayali. Kembali memikirkan keindahan bidadari yang sudah memenuhi otakku dengan senyuman-senyumannya yang anggun. Aku mabuk. Arak itu bekerja begitu cepat. Umpama kereta api cepat buatan pabrikan terkenal itu. Aku tersambar petir-petir dengan tegangan 200 juta kilo Volt. Untung saja ini hanya alam khayali. Imajinasi. Efek pendek arak keindahan.
Saat memikirkan keindahan sang bidadari itu lah aku teringat akan sebuah kisah dongeng yang termasyhur diceritakan kala aku kecil dahulu. Kisah seorang bidadari yang jatuh cinta pada seorang pemuda kampung yang tidak layak untuk dicintai. Kualitasnya bobrok. Memalukan.
Kelayakan pemuda itu pudar karena ia menyimpan hal-hal bobrok yang sangat memudarkan simpati di dalam kantong hatinya. Kebobrokan itu tidak disebabkan kemuskinan. Kebobrokan itu adalah efek buruk arak cinta. Arak itu telah mengubahnya jadi pembohong ulung dan pengkhianat cinta. Ia khianati bidadari itu. kekasihnya sendiri.
Gambaran fisik gagah dan gelar besar berupa bekas prajurit sebuah kerajaan besar tak ubah pendapatku tentangnya. Bagiku itu bukanlah sebuah alasan untuk membenarkan kebohongannya. Kisah cintanya dibangun di atas kebohongan. Apakah cintaku juga akan dibangun di atas dasar yang sama?
Pemikiran itu berputar-putar dalam kepalaku sepertu gasing abadi yang berputar-putar tanpa henti. Percepatan gasing itu konstan. Seharusnya pikiran gelap kuhindari dalam masa-masa seperti ini. Sialan! Seharusnya aku memikirkan sesuatu yang indah seperti kisah cinta seorang raja dan putri yang membawa kebahagiaan dan kejayaan bagi seluruh dunia sekitar 200 tahun yang lalu. Alih-alih kisah-kisah maha kelam masa lalu yang membuatku was-was akan kemajuan kisahku. Aku salah kenang. Aku salah terawang.
Pikiran gelap itu telah berlalu. Matahari kembali tersenyum dengan indahnya. Menampakkan berkas-berkas cahaya yang indah dipandangi. Kehangatan pancarannya menenangkan mata hati pembatinan. Wajah dunia semakin indah dengan bayangan wajah Aisyah sang pengalih dunia. Meskipun pergulatan pikiranku yang dipenuhi dengan warna-warni kegelisahan terus menerus menggebu-gebu memenuhi lembar-lembar otak.
Kesibukanku yang bergulat dengan pikiran sendiri membuatku lupa dengan dunia dan isinya. Hentakan langkah Badrun yang keluar dari ruangan pun tak terdengar lagi di telingaku. Hal yang membuatku terheran usai dunia nyata kembali memasuki benak. Rasukku kembali kusyukuri. Nikmatku kembali ketenggak. Arak cinta itu terus menerus menggerus otak. Arak itu bukankah sekadar arak. Arak itu bukanlah arak. Araknya arak khayali. Cintanya lah yang asli.
Komentar
Posting Komentar