Memoar II: Roman Persahabatan
Berkas-berkas cahaya seakan menyengat otakku. Seakan tersengat tegangan listrik ratusan ribu volt, otakku perlahan memutar gambar-gambar samar seseorang. Aisyah? Bukan, gambar-gambar itu adalah Badrun. Gambar-gambar itu adalah sosok seorang lelaki kurus yang sedang memegang pengeras suara.
Perlahan-lahan gambar-gambar itu semakin jelas. Jaringan elektron otakku semakin bersemangat memutar peristiwa yang kubagi suka-dukanya bersama Badrun. Sampailah ingatan itu di suatu peristiwa tahun lalu. Peristiwa penyampaian asa di depan istana maharaja usai sebuah putusan nyeleneh yang merugikan rakyat.
Penyampaian asa itu berakhir dengan kerusuhan yang diperparah ulah penegak hukum yang telah menanggalkan jubah kehormatan. Mereka menggunakan peluru tajam! Tiga nyawa melayang saat itu. Bahkan nyawaku sendiri hampir terbang. Lenganku tergores sebuah peluru tajam yang membuatku kehilangan banyak darah, sebelum akhirnya aku terjatuh di tengah jalanan.
Ketika aku tersadar, aku sudah berada di bangsal putih rumah sakit. Sepucuk surat tertinggal padaku, disampaikan oleh ibu perawat. Aku terharu dengan isi surat itu. Ternyata, malaikat penolongku adalah salah seorang aparat. Isi suratnya membuat perspektifku bergeser. Pikiranku keliru. Aparat hanyalah tameng bagi setan sesungguhnya, pemerintah, terutama maharaja rakus sang penenggak arak di atas luka manusia. Gemuklah ia di atas penderitaan rakyatnya. Gemuk pula lah para pembantunya yang menjilatinya hingga ia basah oleh air liur mereka.
Hatiku tersengat oleh penderitaan batin dengan para penegak hukum itu. Mereka melawan kata hati. Mereka keraskan tekad demi nafkah untuk anak-istri. Demi kebebasan rasa terancam yang mencekam. Secara menyedihkan mereka terseret ke dalam lubang dosa para penguasa zalim. Tertimbun keburukan. Terpendam. Dipendam.
Aku sendiri tidak tahu mengapa aku harus terjebak dengan dunia keras seperti ini dan menjadi tameng para manusia kelas bawah. Entah pikiran apa yang merasukku. Sudahlah, lagi pula aku sudah terlanjur basah oleh kata-kataku lima tahun silam. Kata-kata kala aku masih ketua organisasi di sekolah menengahku. Aku muda. Semangatku membara. Dendamku menyala. Dan aku terjerat. Lekat. Mengerat.
Tekad itu timbul usai laporan investigasi klub jurnalistik sekolah tentang sekolah yang sangat-sangat korup. Kami terpaksa terjun langsung dan membentuk tim penyelidik untuk membuktikan kebenarannya. Tak ada rasa terkejut padaku saat aku tahu kalau laporan itu bukanlah ucapan jempol semata. Itu benar. Aku sudah tahu sebelumnya. Tetapi, sebuah hal yang terlalu keji membuatku terperanjat dan berubah haluan. Hal yang membuat aku nekat melawan balik arus ketidak adilan. Berontak.
Begitulah awal mula kisah pemberontakan ini. Kisahku. Permulaan yang membuatku bersumpah akan menjadi para penjaga barisan terdepan yang bertujuan menjaga keadilan dan memusnahkan segala bentuk ketidak adilan yang berlaku di atas tanah hijau negeriku. Aku akan mengorbankan apa pun untuk dapat menjadikan visiku ini menjadi nyata. Bukan sekadar khayal. Bukan hanya kata-kata remaja bebal.
Gayung ternyata bersambut ketika aku masuk ke kampus ini. Bermodalkan visi-misi dan dukungan luar biasa dari para sahabat, aku berhasil membuat mimpiku lebih dekat lagi beratus-ratus meter ke tujuan. Langkah-langkah yang akan kuhaturkan kini akan mempunyai bobot dengan ribuan anak manusia yang siap berdiri berteriak bersamaku. Melawan ketidak adilan. Mengeringkan luka-luka para tertindas dengan obat-obat mujarab. Melawan dengan kerja otak yang dihiasi nurani.
Begitulah sepenggal kisah ini kututurkan. Kisah seorang yang terjebak sebagai ketua organisasi internal kampus demi sebuah cita-cita membumi hanguskan arus penindasan di atas tanah negeri indah ini. Jika aku dijebak secara terang-terangan dan diangkat jadi 'raja' tak resmi kampus, Badrun secara lantang mendeklarasikan diri sendiri menjadi orator utama dan koordinator lapangan. Penggerak roda perjuangan. Pejuang tak berbanding. Penting dalam genting. Organisasi kami menaruh harapan besar pada kemampuan Badrun. Tidak heran, di penyampaian asa berdarah itu ia adalah salah satu dengan catatan terhitam yang dipajang di meja Satuan Khusus Anti-Demokrasi Liar Kepolisian. Incaran kelas atas. Syukurnya tak teretas.
Di kampus, selain organisasi internal, ada organisasinya si Andi, seorang elitis papan atas. Organisasinya adalah organisasi borjuis kelas kakap dan merupakan anti-tesis dari organisasi kami. Proyek mereka adalah acara-acara yang tidak mendidik. Hanya menghamburkan dana yang bertaburan. Dana yang seharusnya sudah lebih dari cukup untuk membangun perpustakaan yang layak misalnya. Hal inilah yang selalu kuperjuangkan bersama Badrun dan teman-temanku di organisasi. Hal yang membuatku panas melihat mereka. Jijik dengan kelakuan mereka.
Tetapi, niat kami selalu dikaburkan dengan topeng pengrusakan yang dibisikkan oleh antek-antek setan yang membenci kami. Begitulah adanya, kami dirongrong karena kepedulian yang menumpuk. Sedangkan mereka dipuja-puja karena kegiatan yang membutakan kemanusiaan.
Lain si Andi lain pula ceritanya si Rudi. Rudi adalah pemimpin redaksi dari pers kampus. Terkadang, ia terasa seperti penjilat yang menjijikkan. Hina sekali rasanya jika aku harus membaca tulisan-tulisan yang ia naikkan di dalam portalnya. Terutama tulisan Armando, tentang apalah itu. Tulisannya seperti puji-pujian yang tak berdasar. Semuanya kosong tak punya esensi. Heran juga aku, melihat para mahasiswa sini yang teramat cintanya pada tulisan-tulisan Armando. Sampai termabuk-mabuk dengan deretan kata-kata puitisnya yang sebenarnya kosong, tak bermakna. Hampa.
Sebenarnya dalam relung jujurku, Rudi tidak sedangkal Andi dalam berbuat. Rudi masih dapat beropini dengan layak dan berdebat dengan lantang. Apabila ada panggilan gerakan kemanusiaan pun dia masih senang untuk hadir dan menggeranyangi lawan-lawannya. Bila aku harus memilih lawan, aku akan berusaha untuk menghindari Rudi. Selain itu, ia berbahaya karena ia punya senjata mematikan, pers kampus. Penggiring opini. Mematikan.
Meskipun hati ini memang sering memilih jalan yang berbeda jalur dengan Rudi, ia masihlah memiliki sedikit rasa yang pantas kupuji, ia adalah seprang pejuang yang rela berlantang-lantang di bawah sengatan matahari tiap bersamaku, meskipun di ruang lingkup terpisah. Aku benci ia, tapi aku salut juga.
Karena itulah, andaikan Aisyah memilih untuk menjadi sekretaris persnya Rudi, aku rela-rela saja karena ia takkan menjadi elitis yang merugikan para kaum bawah. Aisyah akan berada di lingkungan yang tepat bila ia bergabung dengan Rudi Lopez. Asalkan Aisyah tidak teracuni oleh gaya penulisan Armando, tidak ada masalah.
Memikirkan Aisyah kembali membuat binar-binar yang terlintas di udara kembali. Bunga-bunga asmara yang sedang mekar dalam hatiku semakin indah karenanya. Rasa-rasanya aku ingin bercerita tentang kisah-kisah indah romansa anak keturunan Adam-Hawa. Tetapi, kali ini kisah ini adalah roman persahabatan. Bukan kisah kasih dua sejoli yang sedang dimabuk asmara.
Berkas-berkas cahaya yang tadi menyengat otakku kini sudah berhenti. Pita kaset kusut yang memutar acak tadi kini sudah kembali rapi tersusun di dalam kepalaku. Ingatan akan suka-duka hidup yang kubagi dengan Badrun membuatku sedikit merasa bersalah dengannya. Aku sudah berpikir Badrun memojokkanku dengan pendapatnya tentang Aisyah. Emosiku berbalik padaku, mengukir rasa sesal. Seharusnya kata-katanya kudengarkan dan kurenungkan. Ia memahami aku lebih dari orang-orang kebanyakan memahamiku. Maafkan aku Badrun. Kau lah binar-binar masa mudaku yang penuh dengan mimpi-mimpi masa depan penuh kebahagiaan. Terima kasih.
Perlahan-lahan gambar-gambar itu semakin jelas. Jaringan elektron otakku semakin bersemangat memutar peristiwa yang kubagi suka-dukanya bersama Badrun. Sampailah ingatan itu di suatu peristiwa tahun lalu. Peristiwa penyampaian asa di depan istana maharaja usai sebuah putusan nyeleneh yang merugikan rakyat.
Penyampaian asa itu berakhir dengan kerusuhan yang diperparah ulah penegak hukum yang telah menanggalkan jubah kehormatan. Mereka menggunakan peluru tajam! Tiga nyawa melayang saat itu. Bahkan nyawaku sendiri hampir terbang. Lenganku tergores sebuah peluru tajam yang membuatku kehilangan banyak darah, sebelum akhirnya aku terjatuh di tengah jalanan.
Ketika aku tersadar, aku sudah berada di bangsal putih rumah sakit. Sepucuk surat tertinggal padaku, disampaikan oleh ibu perawat. Aku terharu dengan isi surat itu. Ternyata, malaikat penolongku adalah salah seorang aparat. Isi suratnya membuat perspektifku bergeser. Pikiranku keliru. Aparat hanyalah tameng bagi setan sesungguhnya, pemerintah, terutama maharaja rakus sang penenggak arak di atas luka manusia. Gemuklah ia di atas penderitaan rakyatnya. Gemuk pula lah para pembantunya yang menjilatinya hingga ia basah oleh air liur mereka.
Hatiku tersengat oleh penderitaan batin dengan para penegak hukum itu. Mereka melawan kata hati. Mereka keraskan tekad demi nafkah untuk anak-istri. Demi kebebasan rasa terancam yang mencekam. Secara menyedihkan mereka terseret ke dalam lubang dosa para penguasa zalim. Tertimbun keburukan. Terpendam. Dipendam.
Aku sendiri tidak tahu mengapa aku harus terjebak dengan dunia keras seperti ini dan menjadi tameng para manusia kelas bawah. Entah pikiran apa yang merasukku. Sudahlah, lagi pula aku sudah terlanjur basah oleh kata-kataku lima tahun silam. Kata-kata kala aku masih ketua organisasi di sekolah menengahku. Aku muda. Semangatku membara. Dendamku menyala. Dan aku terjerat. Lekat. Mengerat.
Tekad itu timbul usai laporan investigasi klub jurnalistik sekolah tentang sekolah yang sangat-sangat korup. Kami terpaksa terjun langsung dan membentuk tim penyelidik untuk membuktikan kebenarannya. Tak ada rasa terkejut padaku saat aku tahu kalau laporan itu bukanlah ucapan jempol semata. Itu benar. Aku sudah tahu sebelumnya. Tetapi, sebuah hal yang terlalu keji membuatku terperanjat dan berubah haluan. Hal yang membuat aku nekat melawan balik arus ketidak adilan. Berontak.
Begitulah awal mula kisah pemberontakan ini. Kisahku. Permulaan yang membuatku bersumpah akan menjadi para penjaga barisan terdepan yang bertujuan menjaga keadilan dan memusnahkan segala bentuk ketidak adilan yang berlaku di atas tanah hijau negeriku. Aku akan mengorbankan apa pun untuk dapat menjadikan visiku ini menjadi nyata. Bukan sekadar khayal. Bukan hanya kata-kata remaja bebal.
Gayung ternyata bersambut ketika aku masuk ke kampus ini. Bermodalkan visi-misi dan dukungan luar biasa dari para sahabat, aku berhasil membuat mimpiku lebih dekat lagi beratus-ratus meter ke tujuan. Langkah-langkah yang akan kuhaturkan kini akan mempunyai bobot dengan ribuan anak manusia yang siap berdiri berteriak bersamaku. Melawan ketidak adilan. Mengeringkan luka-luka para tertindas dengan obat-obat mujarab. Melawan dengan kerja otak yang dihiasi nurani.
Begitulah sepenggal kisah ini kututurkan. Kisah seorang yang terjebak sebagai ketua organisasi internal kampus demi sebuah cita-cita membumi hanguskan arus penindasan di atas tanah negeri indah ini. Jika aku dijebak secara terang-terangan dan diangkat jadi 'raja' tak resmi kampus, Badrun secara lantang mendeklarasikan diri sendiri menjadi orator utama dan koordinator lapangan. Penggerak roda perjuangan. Pejuang tak berbanding. Penting dalam genting. Organisasi kami menaruh harapan besar pada kemampuan Badrun. Tidak heran, di penyampaian asa berdarah itu ia adalah salah satu dengan catatan terhitam yang dipajang di meja Satuan Khusus Anti-Demokrasi Liar Kepolisian. Incaran kelas atas. Syukurnya tak teretas.
Di kampus, selain organisasi internal, ada organisasinya si Andi, seorang elitis papan atas. Organisasinya adalah organisasi borjuis kelas kakap dan merupakan anti-tesis dari organisasi kami. Proyek mereka adalah acara-acara yang tidak mendidik. Hanya menghamburkan dana yang bertaburan. Dana yang seharusnya sudah lebih dari cukup untuk membangun perpustakaan yang layak misalnya. Hal inilah yang selalu kuperjuangkan bersama Badrun dan teman-temanku di organisasi. Hal yang membuatku panas melihat mereka. Jijik dengan kelakuan mereka.
Tetapi, niat kami selalu dikaburkan dengan topeng pengrusakan yang dibisikkan oleh antek-antek setan yang membenci kami. Begitulah adanya, kami dirongrong karena kepedulian yang menumpuk. Sedangkan mereka dipuja-puja karena kegiatan yang membutakan kemanusiaan.
Lain si Andi lain pula ceritanya si Rudi. Rudi adalah pemimpin redaksi dari pers kampus. Terkadang, ia terasa seperti penjilat yang menjijikkan. Hina sekali rasanya jika aku harus membaca tulisan-tulisan yang ia naikkan di dalam portalnya. Terutama tulisan Armando, tentang apalah itu. Tulisannya seperti puji-pujian yang tak berdasar. Semuanya kosong tak punya esensi. Heran juga aku, melihat para mahasiswa sini yang teramat cintanya pada tulisan-tulisan Armando. Sampai termabuk-mabuk dengan deretan kata-kata puitisnya yang sebenarnya kosong, tak bermakna. Hampa.
Sebenarnya dalam relung jujurku, Rudi tidak sedangkal Andi dalam berbuat. Rudi masih dapat beropini dengan layak dan berdebat dengan lantang. Apabila ada panggilan gerakan kemanusiaan pun dia masih senang untuk hadir dan menggeranyangi lawan-lawannya. Bila aku harus memilih lawan, aku akan berusaha untuk menghindari Rudi. Selain itu, ia berbahaya karena ia punya senjata mematikan, pers kampus. Penggiring opini. Mematikan.
Meskipun hati ini memang sering memilih jalan yang berbeda jalur dengan Rudi, ia masihlah memiliki sedikit rasa yang pantas kupuji, ia adalah seprang pejuang yang rela berlantang-lantang di bawah sengatan matahari tiap bersamaku, meskipun di ruang lingkup terpisah. Aku benci ia, tapi aku salut juga.
Karena itulah, andaikan Aisyah memilih untuk menjadi sekretaris persnya Rudi, aku rela-rela saja karena ia takkan menjadi elitis yang merugikan para kaum bawah. Aisyah akan berada di lingkungan yang tepat bila ia bergabung dengan Rudi Lopez. Asalkan Aisyah tidak teracuni oleh gaya penulisan Armando, tidak ada masalah.
Memikirkan Aisyah kembali membuat binar-binar yang terlintas di udara kembali. Bunga-bunga asmara yang sedang mekar dalam hatiku semakin indah karenanya. Rasa-rasanya aku ingin bercerita tentang kisah-kisah indah romansa anak keturunan Adam-Hawa. Tetapi, kali ini kisah ini adalah roman persahabatan. Bukan kisah kasih dua sejoli yang sedang dimabuk asmara.
Berkas-berkas cahaya yang tadi menyengat otakku kini sudah berhenti. Pita kaset kusut yang memutar acak tadi kini sudah kembali rapi tersusun di dalam kepalaku. Ingatan akan suka-duka hidup yang kubagi dengan Badrun membuatku sedikit merasa bersalah dengannya. Aku sudah berpikir Badrun memojokkanku dengan pendapatnya tentang Aisyah. Emosiku berbalik padaku, mengukir rasa sesal. Seharusnya kata-katanya kudengarkan dan kurenungkan. Ia memahami aku lebih dari orang-orang kebanyakan memahamiku. Maafkan aku Badrun. Kau lah binar-binar masa mudaku yang penuh dengan mimpi-mimpi masa depan penuh kebahagiaan. Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar