Memoar IV: Jenius dan Cinta

Penelitian

Jujur, aku belum kenal betul dengan Aisyah. Hal itu sedikit banyak menumbuhkan rasa kesal. Aku memang tak menyia-nyiakan momentum ketika ia memuji-mujiku di hadapan khalayak. Beberapa hari setelahnya, aku langsung mengadakan pertemuan intim dengannya. Tiga bulan berlalu. Dan hanya satu hal yang aku yakini tentang kami, kami sudah menjadi buah bibir kampus. Dengan ia sebagai topik utama, tentu saja.

Wajahnya yang manis dan cantik itu sudah mampu membius ratusan pasang mata lelaki. Yang paling tampan hingga yang tercipta dengan embusan angin kentut. Yang paling pemikir hingga yang lumpuh pemikiran. Yang masih bergelayut dengan tangan ibundanya hingga yang sudah mampu menghasilkan ratusan juta dari keringat sendiri. Mereka semua terbius dengan keindahan sang dewi yang menggenggam jiwa ini. Dan mereka menatap ke langit seraya berdoa aku segera menjauh dari bidadari pujaan mereka. Persaingan yang hanya akan mempermalukan mereka ini sebaiknya tidak perlu dimulai. Pemenangnya terlalu eksplisit.

Ia memang termasyhur dengan pencapaiannya ketika sekolah menengah dahulu. Ia adalah pemimpin dari sebuah perkumpulan putri-putri remaja borjuis di ibu kota negara. Aku tak paham dengan perkumpulan apa pula itu. Rustam, salah satu bawahanku di organisasi internal kampus menjelaskan kalau itu adalah perkumpulan putri-putri remaja kerabat maharaja yang berfokus di bidang pengembangan kemampuan mereka baik di segi pengetahuan maupun budi pekerti. Peduli pula maharaja dengan budi pekerti kerabatnya. Padahal ia sendiri tak berbudi pekerti. Amoral.

Kalau benar ia mengepalai perkumpulan sejenis itu, Aisyah sudah pasti bukanlah sekadar remaja tangguh kelas remeh-temeh. Pastinya ia berada di lingkaran dalam kekuasaan. Lingkaran setan itu. Sesuatu yang sekuat hati kuhindari.

Apakah aku lebih baik mundur saja dari pada terperangkap dalam jaring setan nafsu duniawi ini. Masih banyak anak perawan lain yang sanggup kugandeng dan menjadi nyonyaku di masa mendatang yang katanya terhampar indah dan mahaluas buatku. Tapi, aku pun sudah tertarik ke dalam medan magnet yang begitu kuat ini. Ribuan Tesla mungkin.

Sejak siang menyingsing dengan matahari panasnya, Badrun sudah pergi ke Fakultas Sastra untuk menemui Rozak, kolumnis serampangan yang beberapa minggu ini rutin mengirimkan tulisannya yang indah pada kami. Dibandingkan sampah-sampah tulisan para jurnalis abal itu, tulisan Rozak tampil bak oase di tengah kehampaan padang pasir Sahara. Tulisannya terhampar dengan ide yang hampir selalu menarik dengan pembahasan yang sedalam Palung Mariana di tengah lautan mahaluas Pasifik. Tulisannya tidak hanya berdasarkan emosi-emosi berlebihan tetapi disertai sumber baku yang membuat tulisannya tampak mahal. Ia adalah seorang pencipta mahakarya. Dan kami bangga terlibat dalam prosesnya.

Di ruangan markas kami ini, hanya ada aku dan Aziz, peneliti andalanku yang otaknya encer seperti air yang mengalir deras di sungai yang tak dibendung. Kau boleh lihat sederet penghargaan Aziz jika berkunjung ke rumah indekosnya yang tak jauh dari kampus. Aziz bukanlah tipe pemidato, tetapi ia adalah pengamat terhebat yang pernah bertatapan mata denganku. Analisanya selalu tajam dan ia mampu melihat dengan mata yang jelas dan menyeluruh. Seperti ia dapat melihat kebenaran di balik bayang. Bukan sihir karena ia tidak memperdulikan pendapat takhayul. Kuncinya adalah logika dan penalaran tingkat tinggi. Sesuatu yang disebut sihir angka oleh Akbar, sang mata-mata. Itu yang membuat kami percaya selalu pada hasil penelitian lapangannya. Akurat. Tepat. Yang terpenting, singkat.

Rekannya dalam bekerja adalah Pandu. Sang ahli matematika dengan kecepatan berhitung setara komputer 1000 byte. Bukan sekadar cepat, keakuratan perhitungan pemilik mata hitam dengan tatapan yang selalu serius itu juga sangat mengagumkan. Aku terkagum saat pertama kali ia menunjukkan kekuatan ajaibnya itu di depan kami. Akurasinya seperti angka-angka itu berderet di depan matanya dan otomatis terproses dalam prosesornya, otak 8000 bit. Kala itu, kekagumanku terpukau sampai-sampai aku tak sadar air liur sudah membanjiri. Betapa malunya aku. Sialan. Anak jenius sial.

Aziz saat ini sedang sibuk dengan setumpuk berkas yang kusuruh dianalisisnya semingguan ini. Apalagi kalau bukan berkas-berkas penelitian sang dewi cinta, Aisyah. Perangkap setan atau bukan, aku sudah terjebak dalan bujuk tatap matanya. Aku takkan sanggup mundur sebelum hasil penelitian kami sempurna menghasilkan suatu putusan. Apabila terbukti ia buruk untukku dan lingkaran pergaualanku bahkan perjuanganku memberantas ketidak adilan di negeri rusak ini, aku pun belum tahu langkah selanjutnya. Belum berputus. Harapanku masih membubung tinggi di angkasa mahaluas kalau ia berada jejauhan dari lingkaran setan kekuasaan maharaja terkutuk.

Di atas negeri yang teramat kucinta tetapi teramat kubenci penguasanya ini lah lintah-lintah yang sangat menggeramkan diri itu banyak mengganguku. Bahkan urusan seperti ikatan cinta. Karena itulah putusanku sudah bulat. Sejak hampir kematian yang menjelang tahun lalu, kebulatan tekadku semakin mendekati baja. Membaja setiap detakan waktu dan pendule jam dinding.

"Lem, kau lihat hasil kesimpulanku ini. Memang ini masih sementara, tetapi dapat hampir terjamin kalau dewi kau itu adalah hantu dedemit kemaharajaan. Berhati-hatilah. Sudah sejauh mana kau menjalankan rencana pendekatanmu?" Aku terdiam mencerna kata demi kata yang keluar dari mulutnya. Aku hayati hingga kata-katanya bergema dalam kepalaku.

"Belum sejauh yang kalian bayangkan, Ziz. Aku masih berhati-hati dengan setiap langkah yang akan kuambil. Seindah-indahnya dewi itu, hidupku lebih terasa penting kurasa. Aku masih punya cukup akal sehat untuk menahan nafsuku. Terserah pada orang-orang melihat apa itu." Aku terpaksa membuat akuan palsu di depan cercaan ini.

"Jangan kehilangan semangatmu begitu, Sahabat. Kau cukup tampan dan hebat untuk dapat menggaet gadis manapun yang kau kehendaki. Pahit kukatakan padamu. Aisyah ini meskipun sang dewi cintamu, belum pantas membuat hatimu retak hingga berkeping. Tapi, ya itu semua terserah padamu. Walaupun dengan hasil yang kukatakan padamu, jikalau kau masih mengejarnya ya itu pilihanmu. Cinta itu sesuatu yang rumit. Dapat melelehkan baja sifat seorang ksatria tertangguh. Kau lihat itu Julius Caesar ketika terperangkap lubang cinta Cleopatra. Sekarang, mungkin kau juga akan terperangkap lubang setan yang sama." Dia berani mengadili aku! Membandingkan aku dengan penakluk asal Romawi pecinta selangkangan wanita itu. Betapa dia menghinakan aku dengan kata-katanya.

"Sahabatku yang baik, Aziz. Aku pahamkan kekhawatiran engkau, apabila berlaku. Tetapi, menurut pandangan pertimbangan keadilanku, aku takkan melebihi batas. Cintaku padanya belum mengikatku bagai benalu. Tenang saja sahabat. Sahabatmu ini orang yang pantang hangus oleh cinta. Perjuangan kita akan selalu menjadi yang terdepan dan terutama. Bahkan apabila bandingannya adalah pelukan kecup sang bidadari asmara." Begitulah aku mengakui dengan kata-kata makna samar. Mungkin terlihat tercemar. Aku menyebarkan kata-kata tertata.

"Lanjutkan pengamatamu, Aziz. Aku juga akan memulai pengamatanku. Jikalau ada yang salah dengannya, hendaklah akupun mengetahui." Harapanku padanya masihlah sangat besar. Semoga harapanku tidak hanya membubung tinggi tetapi dapat menjadi nyata adanya.

Cinta, kata ini benar-benar perangkap kehidupan tak terhindari oleh hati. Ketika telah terperangkap di janji keindahannya, seketika dunia dan seisinya terlupa. Seakan itu semua berada dalam genggaman jiwa. Cinta memang menciptakan ilusi yang menyakitkan jiwa. Terkadang, membuat kita berpikir kenapa kita kehilangan seluruh logika jika sudah dihadapkan kepada keagungan sang cinta? Apakah para kumpulan jenius itu sama saja dengan para idiot jika dihadapkan pada persepsi cinta?  

Komentar

Postingan Populer