Memoar IX: Kegelisahan
Pensi atau Ekspresi Kegelisahan
Gubrak... pintu ruangan sekretariat organisasi internal mahasiswa itu terbanting. Seorang lelaki terpental. Aku lah yang membanting begundal itu. Remuk. Andi, beraninya ia datang ke sini untuk memprotes keputusan Aisyah yang menolaknya dan bergabung dengan Pers Kampus. Kalau orang-orang di atas tanah dunia ini mengira reaksiku berlebihan, maka orang-orang itu kupersilakan dengan sepenuh jiwa dan ragaku agar berkenalan dengan Andi. Niscaya, kau akan tahu sebabnya.
Aku sudah pernah menggoreskan tinta sebelumnya dalam mendeskripsikan betapa hinanya seorang Andi. Ia adalah elitis yang benar-benar dapat menghancurkan masa depan banyak orang bila dibiarkan berkeliaran dengan kata-kata manisnya, khususnya terhadap wanita. Kata-kata bujuk rayu itu begitu menjijikkan sampai-sampai membuat aku selalu pengin muntah. Kata-kata kepalsuan. Penuh tipu daya. Tak punya rasa.
.
.
.
Sebelumnya...
Aku dan teman-teman pengurus organisasi sedang mengadakan rapat mingguan ketika Aisyah datang. Ia masuk dan duduk memerhatikan kami melakukan adu argumen alot yang bertujuan untuk memajukan organisasi ini. Berdebar-debar jantung para manusia yang berada di ruangan itu merasakan kehadiran seorang dewi yang duduk memandangi mereka bagaikan sesosok dewi pengawas.
Fokus yang telah dibangun utuh sebelumnya kendor karena dipandangi olehnya. Beberapa bahkan lupa topik apa yang sedang dibahas dalam rapat kali ini. Pikiran buyar oleh keadaan. Hati berdebar oleh pandangan.
Rapat berakhir dengan putusan yang terasa kurang memuaskan. Meskipun kurang puas, hasil rapat itu dapat menampung seluruh aspirasi para anggota yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Ketidak puasan yang terdapat dalam hati adalah wujud respons hati yang merasa tak terpenuhi seluruh keinginannya yang menggunung. Ia awalnya mengerut, tapi akhirnya dapat terima putusan. Demi semuanya. Demi kepentingan bersama.
Aisyah tersenyum padaku usai aku menutup rapat kali ini dengan membacakan surat keputusan hasil rapat yang telah kutandatangani. Setelahnya, ia berkata, "Kak, aku sudah memutuskan untuk bergabung dengan Pers Kampus. Sebentar lagi kami akan mengadakan forum nasional untuk para jurnalis-jurnalis kampus lainnya. Aku akan bertindak sebagai sekretaris utama."
Aku menghela napas. Itu berarti ia akan sering bertemu dengan Rudi. Aku memang kurang suka dengan beberapa tulisan mereka yang terkadang tidak sesuai fakta lapangan, malah mendekati sampah. Tetapi, Rudi adalah orang yang masih memiliki sedikit idealisme yang andaikan dimaksimalkan akan sangat berharga. Faktanya, aku tidak suka menjadi lawannya di lapangan. Faktanya lagi, aku menyimpan rasa kagum pada Rudi. Sedikit.
"Ya, bagus! Kamu akhirnya berhasil masuk ke salah satu organisasi yang sangat berpengaruh di kampus. Pers Kampus itu terkenal sangat dekat dengan dewan pimpinan kampus. Meskipun tudingan mereka akan beberapa hal yang terkesan abstraktif tidak terlalu kusukai. Tetapi, dari pada organisasi borjuisme kelas kakap, Pers Kampus masih sangat layak untuk dimasuki."
"Kakak tidak terlihat senang, apa aku sebaiknya mengundurkan diri saja?" Wajahnya merengut dan kusut seketika. Kebahagiaan yang tadi ada, sirna tak berbekas.
"Tentu saja aku bahagia, asalkan kau ingat satu hal, jangan jadi dewi berhala orang banyak." kugenggam tangannya untuk memberikannya kepastian. Energi positif seolah tersalur lewat genggaman tangan itu. Ia kembali tersenyum. Kebahagiaan itu kembali.
.
.
.
Waktu berjalan normal dan diselingi dengan pembicaraan ringan antar anak manusia yang dirundung rasa cinta. Kami sudah terbang melayang sampai ke awang-awang, mengingat sejarah umat manusia yang berputar secara konstan di dalam pikiran. Seolah-olah diri sudah hidup ribuan tahun sebelum penciptaan Adam dan Hawa. Jengkal-jengkal kata-kata kami sudah mendalami berbagai topik pembahasan yang hanya dapat dipahami sepasang otak anak manusia yang sedang dimabuk asmara.
Begitulah, jikalau kami telah bertemu dan bertatap wajah. Waktu akan terasa tak terikat lagi. Dia terbang, khianati hukum relativitas yang ditemukan oleh seorang jenius di awal abad ke-19. Pembahasan tentang semesta dan isinya mengikat kami dengan ketat. Perdebatan tentang berbagai tokoh revolusi mengisi sisi pembicaraan kami. Bagi kebanyakan orang, topik pembicaraan kami mungkin terasa membosankan. Tapi bagi kami, pembicaraan 'membosankan' itu adalah masa-masa yang sangat bebas bagi kami dalam merayakan kebersamaan kami.
Pembicaraan itu kemudian terdistraksi dengan ketukan di pintu. Andre pergi membuka pintu dan berdirilah seorang yang tidak ingin kutemui akhir-akhir ini. Perusuh tingkat atas yang sangat kutak suka kehadirannya. Andi, manusia elitis berengsek yang membuat hati ini panas berubah mendung berubah badai. Otakku langsung mendidih kala melihat raut wajahnya yang seolah-olah telah disakiti seisi dunia. Menjijikkan.
"Aisyah, boleh bicara sebentar? Boleh lah ya?" Tanpa banyak basa-basi Andi memulai ulahnya dengan kata-kata menjijikkan yang membuatku ingin membungkamnya selamanya.
"Sepertinya aku tak bisa kak. Lagi ada yang dikerjakan, boleh lain waktu saja?" Aisyah mencoba untuk menolak begundal itu. Tapi, tampaknya Andi tidak menoleransi penolakan. Ia kemudian mulai agresif dan mencoba untui menarik pergelangan tangan Aisyah.
"Baiklah, tapi kamu harus jawab tanyaku. Mengapa kamu menolak tawaranku masuk ke organisasi paling elite sekampus? Kamu malah bergabung dengan kelompok pengkritik yang tidak punya karya itu. Tolol! Kamu memang pantas dikatakan tolol! Ketika banyak yang ingin bergabung dengan kami, kamu malah menolak!" Andi teriak. Teriakan yang membuat emosiku memuncak.
Aku kemudian menepis tangan Andi dan mendorongnya ke pintu sekretariat. Aku lantas menggeram padanya, "Sekali lagi mulut kotormu ucapkan kata-kata bodoh di hadapanku, apalagi kepada Aisyah, nasibmu akan berakhir dalam hitungan detik. Kau camkan itu!"
"Aku tak punya urusan dengan pemimpin kacrut ya! Asal kau tahu, yang kubutuhkan di sini itu Aisyah, bukan dirimu." Bogem mentah kemudian menyambut ucapannya yang tidak penting bagi peradaban itu. Pemimpin kacrut, pilihan kata yang buruk. Kata-kata seperti itu tidak layak untuk diperdengarkan kepada khalayak. Terlalu kasar dan buruk untuk dijadikan jalinan caci maki.
.
.
.
Pernah aku berbicara dengan seorang sahabat, seorang penyair yang sering menuliskan syair-syair tentang makna kehidupan. Beberapa kali aku memintanya untuk membuatkan aku syair untuk mengingatkan aku akan kehidupan singkat di atas muka dunia. Bagiku, syair-syairnya adalah cara terbaik untuk merefleksikan diri. Memberi peringatan pada diri bahwa hidup itu begitu singkat, terlalu singkat untuk memilih sesuatu yang salah.
Aku juga punya kenalan seorang gitaris solo yang ketika aku mendengarkan petikan gitarnya, air mataku tumpah ruah karena lagu-lagunya yang begitu menyayat perasaan hati. Dalam suatu kesempatan, aku menayakan mengapa lagu-lagunya begitu menyayat jiwa.
Aku langsung memahami prinsip bermusiknya setelah ia menjawabku dengan jawabannya yang begitu filosofis. Jawaban yang hampir membuat aku mati kebingungan mencari maknanya. Beberapa hari kuhabiskan untuk mencari makna kata-katanya.
"Dosa adalah inspirasi laguku." ucapnya kala itu. Pantas saja jiwa ini benar-benar merasakan sesuatu yang memborbardir rasa. Inspirasinya begitu intim dan memotong batas-batas nalar manusia. Inspirasi yang tidak bisa ditepis relativitasnya dengan umat manusia. Aku goyah.
Banyak mulut-mulut manusia mengucapkan kata-kata yang menyudutkan aku dengan menjuluki aku pembenci seni. Hal ini tak lepas dari kejadian pembubaran acara pentas seni yang diadakan oleh organisasi Andi dua tahun lalu, sesuatu yang menjadi momen-momen awal pembuka perseteruan kami.
Pada saat kejadian, aku tidak hadir membubarkan pentas seni itu. Alasannya adalah karena aku adalah pencinta seni. Aku sudah mencintai karya seni sejak usiaku masih kanak-kanak. Tepatnya, sejak karya-karya indah itu diperkenalkan padaku. Karya seni dapat dibilang merupakan caraku menikmati hidup. Membubarkan acara seni hanya akan membuat hatiku remuk. Tetapi bagaimanapun, hal ini harus dilakukan. Pada akhirnya pembubaran tetap dilakukan, tapi aku absen. Menghilang dari keributan.
Meskipun seorang pencinta seni, ada beberapa hal hal lain yang membuatku gerah dengan karya seni, yaitu karya asal jadi. Bukannya estetik, karya seni jenis ini justru rusak. Rusak karena salah dipahami oleh otak-otak komplotan busuk seperti Andi. Sesuatu yang membuat karya seni itu rusak adalah pandangan manusianya terhadap karya tersebut.
Pentas seni ini adalah suatu media yang membuatku keburu menganggap ia pandir. Meskipun pada nyatanya otaknya begitu jenius dan merupakan calon seorang pengarah acara besar. Ia mampu mengarahkan acara sebesar apapun. Dan mau atau tidak mengakuinya, itu adalah bakat besar. Aku mengakuinya. Meski dalam diam.
Ia tidak salah mengadakan pentas seni. Salahnya, ia mengadakannya pada saat terjadinya musibah nasional di suatu pelosok negeri. Musibah itu akibat ulah pemerintahan yang korup dalam distribusi dana bantuan dari pusat. Di hari itu, jika tidak ada acara itu, ruangan auditorium seharusnya digunakan sebagai tempat untuk menyampaikan opini para pemuda kepada para pemangku kekuasaan. Sialnya, acara borjuasi kelas kakaplah yang bertakhta malam itu. Tidak ada aksi kemanusiaan. Tidak ada debat publik. Semuanya terjadi demi kesenangan para kelas atas.
Awalnya, kami sudah membujuk Andi dan komplotan busuknya untuk mau mengundur acara mereka. Kami bahkan telah menawarkan bantuan untuk mempersiapkan dan mengamankan para pembeli tiket yang protes. Tetapi, otak mereka memang sudah buntu dengan kecintaan buta yang dungu. Buta mata buta hati.
Layaknya nahkoda yang tidak tahu arah mata angin, mereka tersesat dalam cara berpikir kolonial yang kaku. Padahal, orang seni seharusnya berpikir terbuka kepada segala kemungkinan. Tetapi, seninya tidak salah. Orang-orangnya lah yang salah. Dasar bedebah.
Itulah mengapa aku akhirnya memutuskan untuk mengaitkan pemikiran Andi dengan borjuisme kelas kakap yang mentah akan nurani yang sehat. Pikiran-pikiran seperti inilah yang nantinya akan menggeranyangi pikiran hingga menggerus seluruh rasa empati pada manusia lain. Biarlah orang lain tergerogoti oleh keadaan yang tak menentu, asalkan hasrat hati terpenuhi. 'Masa bodoh! Toh mereka juga bukan bagian hidupku.' Mungkin seperti itu lah pikiran manusia semacam Andi. Picik.
Gubrak... pintu ruangan sekretariat organisasi internal mahasiswa itu terbanting. Seorang lelaki terpental. Aku lah yang membanting begundal itu. Remuk. Andi, beraninya ia datang ke sini untuk memprotes keputusan Aisyah yang menolaknya dan bergabung dengan Pers Kampus. Kalau orang-orang di atas tanah dunia ini mengira reaksiku berlebihan, maka orang-orang itu kupersilakan dengan sepenuh jiwa dan ragaku agar berkenalan dengan Andi. Niscaya, kau akan tahu sebabnya.
Aku sudah pernah menggoreskan tinta sebelumnya dalam mendeskripsikan betapa hinanya seorang Andi. Ia adalah elitis yang benar-benar dapat menghancurkan masa depan banyak orang bila dibiarkan berkeliaran dengan kata-kata manisnya, khususnya terhadap wanita. Kata-kata bujuk rayu itu begitu menjijikkan sampai-sampai membuat aku selalu pengin muntah. Kata-kata kepalsuan. Penuh tipu daya. Tak punya rasa.
.
.
.
Sebelumnya...
Aku dan teman-teman pengurus organisasi sedang mengadakan rapat mingguan ketika Aisyah datang. Ia masuk dan duduk memerhatikan kami melakukan adu argumen alot yang bertujuan untuk memajukan organisasi ini. Berdebar-debar jantung para manusia yang berada di ruangan itu merasakan kehadiran seorang dewi yang duduk memandangi mereka bagaikan sesosok dewi pengawas.
Fokus yang telah dibangun utuh sebelumnya kendor karena dipandangi olehnya. Beberapa bahkan lupa topik apa yang sedang dibahas dalam rapat kali ini. Pikiran buyar oleh keadaan. Hati berdebar oleh pandangan.
Rapat berakhir dengan putusan yang terasa kurang memuaskan. Meskipun kurang puas, hasil rapat itu dapat menampung seluruh aspirasi para anggota yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Ketidak puasan yang terdapat dalam hati adalah wujud respons hati yang merasa tak terpenuhi seluruh keinginannya yang menggunung. Ia awalnya mengerut, tapi akhirnya dapat terima putusan. Demi semuanya. Demi kepentingan bersama.
Aisyah tersenyum padaku usai aku menutup rapat kali ini dengan membacakan surat keputusan hasil rapat yang telah kutandatangani. Setelahnya, ia berkata, "Kak, aku sudah memutuskan untuk bergabung dengan Pers Kampus. Sebentar lagi kami akan mengadakan forum nasional untuk para jurnalis-jurnalis kampus lainnya. Aku akan bertindak sebagai sekretaris utama."
Aku menghela napas. Itu berarti ia akan sering bertemu dengan Rudi. Aku memang kurang suka dengan beberapa tulisan mereka yang terkadang tidak sesuai fakta lapangan, malah mendekati sampah. Tetapi, Rudi adalah orang yang masih memiliki sedikit idealisme yang andaikan dimaksimalkan akan sangat berharga. Faktanya, aku tidak suka menjadi lawannya di lapangan. Faktanya lagi, aku menyimpan rasa kagum pada Rudi. Sedikit.
"Ya, bagus! Kamu akhirnya berhasil masuk ke salah satu organisasi yang sangat berpengaruh di kampus. Pers Kampus itu terkenal sangat dekat dengan dewan pimpinan kampus. Meskipun tudingan mereka akan beberapa hal yang terkesan abstraktif tidak terlalu kusukai. Tetapi, dari pada organisasi borjuisme kelas kakap, Pers Kampus masih sangat layak untuk dimasuki."
"Kakak tidak terlihat senang, apa aku sebaiknya mengundurkan diri saja?" Wajahnya merengut dan kusut seketika. Kebahagiaan yang tadi ada, sirna tak berbekas.
"Tentu saja aku bahagia, asalkan kau ingat satu hal, jangan jadi dewi berhala orang banyak." kugenggam tangannya untuk memberikannya kepastian. Energi positif seolah tersalur lewat genggaman tangan itu. Ia kembali tersenyum. Kebahagiaan itu kembali.
.
.
.
Waktu berjalan normal dan diselingi dengan pembicaraan ringan antar anak manusia yang dirundung rasa cinta. Kami sudah terbang melayang sampai ke awang-awang, mengingat sejarah umat manusia yang berputar secara konstan di dalam pikiran. Seolah-olah diri sudah hidup ribuan tahun sebelum penciptaan Adam dan Hawa. Jengkal-jengkal kata-kata kami sudah mendalami berbagai topik pembahasan yang hanya dapat dipahami sepasang otak anak manusia yang sedang dimabuk asmara.
Begitulah, jikalau kami telah bertemu dan bertatap wajah. Waktu akan terasa tak terikat lagi. Dia terbang, khianati hukum relativitas yang ditemukan oleh seorang jenius di awal abad ke-19. Pembahasan tentang semesta dan isinya mengikat kami dengan ketat. Perdebatan tentang berbagai tokoh revolusi mengisi sisi pembicaraan kami. Bagi kebanyakan orang, topik pembicaraan kami mungkin terasa membosankan. Tapi bagi kami, pembicaraan 'membosankan' itu adalah masa-masa yang sangat bebas bagi kami dalam merayakan kebersamaan kami.
Pembicaraan itu kemudian terdistraksi dengan ketukan di pintu. Andre pergi membuka pintu dan berdirilah seorang yang tidak ingin kutemui akhir-akhir ini. Perusuh tingkat atas yang sangat kutak suka kehadirannya. Andi, manusia elitis berengsek yang membuat hati ini panas berubah mendung berubah badai. Otakku langsung mendidih kala melihat raut wajahnya yang seolah-olah telah disakiti seisi dunia. Menjijikkan.
"Aisyah, boleh bicara sebentar? Boleh lah ya?" Tanpa banyak basa-basi Andi memulai ulahnya dengan kata-kata menjijikkan yang membuatku ingin membungkamnya selamanya.
"Sepertinya aku tak bisa kak. Lagi ada yang dikerjakan, boleh lain waktu saja?" Aisyah mencoba untuk menolak begundal itu. Tapi, tampaknya Andi tidak menoleransi penolakan. Ia kemudian mulai agresif dan mencoba untui menarik pergelangan tangan Aisyah.
"Baiklah, tapi kamu harus jawab tanyaku. Mengapa kamu menolak tawaranku masuk ke organisasi paling elite sekampus? Kamu malah bergabung dengan kelompok pengkritik yang tidak punya karya itu. Tolol! Kamu memang pantas dikatakan tolol! Ketika banyak yang ingin bergabung dengan kami, kamu malah menolak!" Andi teriak. Teriakan yang membuat emosiku memuncak.
Aku kemudian menepis tangan Andi dan mendorongnya ke pintu sekretariat. Aku lantas menggeram padanya, "Sekali lagi mulut kotormu ucapkan kata-kata bodoh di hadapanku, apalagi kepada Aisyah, nasibmu akan berakhir dalam hitungan detik. Kau camkan itu!"
"Aku tak punya urusan dengan pemimpin kacrut ya! Asal kau tahu, yang kubutuhkan di sini itu Aisyah, bukan dirimu." Bogem mentah kemudian menyambut ucapannya yang tidak penting bagi peradaban itu. Pemimpin kacrut, pilihan kata yang buruk. Kata-kata seperti itu tidak layak untuk diperdengarkan kepada khalayak. Terlalu kasar dan buruk untuk dijadikan jalinan caci maki.
.
.
.
Pernah aku berbicara dengan seorang sahabat, seorang penyair yang sering menuliskan syair-syair tentang makna kehidupan. Beberapa kali aku memintanya untuk membuatkan aku syair untuk mengingatkan aku akan kehidupan singkat di atas muka dunia. Bagiku, syair-syairnya adalah cara terbaik untuk merefleksikan diri. Memberi peringatan pada diri bahwa hidup itu begitu singkat, terlalu singkat untuk memilih sesuatu yang salah.
Aku juga punya kenalan seorang gitaris solo yang ketika aku mendengarkan petikan gitarnya, air mataku tumpah ruah karena lagu-lagunya yang begitu menyayat perasaan hati. Dalam suatu kesempatan, aku menayakan mengapa lagu-lagunya begitu menyayat jiwa.
Aku langsung memahami prinsip bermusiknya setelah ia menjawabku dengan jawabannya yang begitu filosofis. Jawaban yang hampir membuat aku mati kebingungan mencari maknanya. Beberapa hari kuhabiskan untuk mencari makna kata-katanya.
"Dosa adalah inspirasi laguku." ucapnya kala itu. Pantas saja jiwa ini benar-benar merasakan sesuatu yang memborbardir rasa. Inspirasinya begitu intim dan memotong batas-batas nalar manusia. Inspirasi yang tidak bisa ditepis relativitasnya dengan umat manusia. Aku goyah.
Banyak mulut-mulut manusia mengucapkan kata-kata yang menyudutkan aku dengan menjuluki aku pembenci seni. Hal ini tak lepas dari kejadian pembubaran acara pentas seni yang diadakan oleh organisasi Andi dua tahun lalu, sesuatu yang menjadi momen-momen awal pembuka perseteruan kami.
Pada saat kejadian, aku tidak hadir membubarkan pentas seni itu. Alasannya adalah karena aku adalah pencinta seni. Aku sudah mencintai karya seni sejak usiaku masih kanak-kanak. Tepatnya, sejak karya-karya indah itu diperkenalkan padaku. Karya seni dapat dibilang merupakan caraku menikmati hidup. Membubarkan acara seni hanya akan membuat hatiku remuk. Tetapi bagaimanapun, hal ini harus dilakukan. Pada akhirnya pembubaran tetap dilakukan, tapi aku absen. Menghilang dari keributan.
Meskipun seorang pencinta seni, ada beberapa hal hal lain yang membuatku gerah dengan karya seni, yaitu karya asal jadi. Bukannya estetik, karya seni jenis ini justru rusak. Rusak karena salah dipahami oleh otak-otak komplotan busuk seperti Andi. Sesuatu yang membuat karya seni itu rusak adalah pandangan manusianya terhadap karya tersebut.
Pentas seni ini adalah suatu media yang membuatku keburu menganggap ia pandir. Meskipun pada nyatanya otaknya begitu jenius dan merupakan calon seorang pengarah acara besar. Ia mampu mengarahkan acara sebesar apapun. Dan mau atau tidak mengakuinya, itu adalah bakat besar. Aku mengakuinya. Meski dalam diam.
Ia tidak salah mengadakan pentas seni. Salahnya, ia mengadakannya pada saat terjadinya musibah nasional di suatu pelosok negeri. Musibah itu akibat ulah pemerintahan yang korup dalam distribusi dana bantuan dari pusat. Di hari itu, jika tidak ada acara itu, ruangan auditorium seharusnya digunakan sebagai tempat untuk menyampaikan opini para pemuda kepada para pemangku kekuasaan. Sialnya, acara borjuasi kelas kakaplah yang bertakhta malam itu. Tidak ada aksi kemanusiaan. Tidak ada debat publik. Semuanya terjadi demi kesenangan para kelas atas.
Awalnya, kami sudah membujuk Andi dan komplotan busuknya untuk mau mengundur acara mereka. Kami bahkan telah menawarkan bantuan untuk mempersiapkan dan mengamankan para pembeli tiket yang protes. Tetapi, otak mereka memang sudah buntu dengan kecintaan buta yang dungu. Buta mata buta hati.
Layaknya nahkoda yang tidak tahu arah mata angin, mereka tersesat dalam cara berpikir kolonial yang kaku. Padahal, orang seni seharusnya berpikir terbuka kepada segala kemungkinan. Tetapi, seninya tidak salah. Orang-orangnya lah yang salah. Dasar bedebah.
Itulah mengapa aku akhirnya memutuskan untuk mengaitkan pemikiran Andi dengan borjuisme kelas kakap yang mentah akan nurani yang sehat. Pikiran-pikiran seperti inilah yang nantinya akan menggeranyangi pikiran hingga menggerus seluruh rasa empati pada manusia lain. Biarlah orang lain tergerogoti oleh keadaan yang tak menentu, asalkan hasrat hati terpenuhi. 'Masa bodoh! Toh mereka juga bukan bagian hidupku.' Mungkin seperti itu lah pikiran manusia semacam Andi. Picik.
Komentar
Posting Komentar