Memoar V: Intimasi Pembicaraan
Sore hari menjelang, tetapi panasnya sengatan matahari masih menusuk sampai ke ubun-ubun. Musim kemarau, begitulah tantangan di musim kering-kerontang seperti ini. Meskipun katanya, panasnya sengatan ini akan terasa seperti angin surga apabila dibandingkan dengan kerontangnya dan cambukan dari matahari gurun di musim panas. 50 derajat! Jikalau aku suatu saat mendapatkan berkat atau petaka berkunjung ke tempat itu, aku akan kenangkan segala anugerah yang kudapatkan di negeri tercinta ini.
Sore ini aku sudah mengulum janji kemarin bersama dewi kematian yang kucintai itu. Entah dengan apa kami akan melewatkan sore yang tak indah di pelupuk mataku. Terasa seperti terbakar, meskipun aku sedang berada di lindungan pepohonan rimbun di wilayah kampus yang agak kucintai ini.
Di sebuah bangku di belakang perpustakaan kutunggui ia. Sudah setengah jam lebih aku menunggunya dengan pikiran yang mulai bosan. Dan begitulah, kutunggui ia dengan hati yang terkesan kalut karena beban hasil sang penelitian. Aziz sialan, beraninya ia mengganggui aku dengan pemikiran yang begitu beracun. Tetapi, cinta ini, racun ini, nafsu akan keduniawian akan runtuhkan aku perlahan jika tak secepat kilat menyambar. Ampunkan cinta ini jika ini memang kesalahan. Bagiku, kegoyahan akan pendirian adalah hal yang menyakitkan dan itulah yang terjadi. Oh cinta!
Dari pandangan kejauhan, aku perhatikan seorang dara berjalan menuju ke arahku. Tidak salah lagi, orang itu adalah Aisyahku. Yang kutunggui dengan pikiran gelap akibat nafsu yang terganggu logika dan nurani. Apakah aku akan jadi manusia naif yang diperbudak cinta badani. Atau aku akan tetap menjadi Sulaiman yang penuh dengan perjuangan dan terdampar bersama angan dan kawan. Kulihat Aisyah yang datang dengan seluruh keanggunan di seluruh jagat nyata. Gaun merah mudanya benar-benar taklukan aku. Riasan sederhana itu juga benar-benar cocok di dalam selera sang netra.
"Sudah lama kamu tunggu aku, Kak? Maaf ya. Aku baru selesai mengerjakan tugas. Kakak tidak sibuk? Kakak kan orang penting di sini. Aku dengar, sekali Kakak bicara seluruh kampus bisa bergetar dan menganggukkan kepala karena kelantangan dan kebenaran yang Kakak ucapkan." Ia mengucapkan kata-kata itu dengan senyuman manis yang menghipnotis aku hingga aku tak lagi sadar akan dunia.
"Ya, begitulah. Tidak terlalu lama juga. Aku juga baru dari sekretariat. Ada urusan organisasi. Kau memuji berlebihan, Dinda. Aku tidak sehebat itu. Itu hanya pujian yang dilebih-lebihkan. Para manusia sekitaran sini terlalu dramatis. Efek karya seni yang terlalu ekspresif." Dinda? Itu adalah kata-kata terbodoh yang pernah terucap dari curug keajaiban ini. Untuk apa pula kata-lata murah itu keluar dariku? Akhh. Ini benar-benar membuatku tersudut dengan kata-kataku sendiri yang menjebak. Aku tak punya kesempatan mengelak.
"Dinda? Hahaha. Kakak memang hebat. Orang lain belum ada yang memanggilku seperti itu. Lagi pula, mereka terlalu segan denganku. Padahal kan aku hanya gadis biasa. Tetapi Kak, kita baru berbicara beberapa kali dalam beberapa saat belakangan sudah bernyali berlancang-lancang. Aku puji hal itu, Kanda hehe ...." Apa pula ini lagi? Ia mengejekku dengan kata-kata yang memalukan seperti itu. Diri ini seakan-akan kehilangan kehormatan seorang pejuang jadinya. Senyumannya apa lagi. Membuat hati ini terbuai-buai hingga berterbangan ke langit-langit tertinggi.
"Aisyah ..."
"Aisyah atau Dinda, pilih satu saja. Jangan ganti-ganti panggilan. Membingungkan dan aneh. Aku lebih suka Dinda, lebih sedap saja terdengar oleh sang pendengaran." Aisyah, kau ini. Menggodaiku saja sedari tadi. Apakah kau dapat menangkap sinyal degupan jantungku yang bekerja di atas batas maksimalnya. Maafkanlah aku wahai jantung, aku membuatmu bekerja terlalu keras. Melebihi ambang batasmu kurasa.
"Dinda, kalau itu dapat bahagiakan hatimu. Wahai Dinda, kau dengarlah kandamu ini bersabda. Aku sudah dengar kalau kau adalah pencinta sastra dan sejarah. Kau menulis dengan bahasa kepahitan. Jangan elakkan kata-kataku. Aku sudah membacanya. Dan ya, kepahitan tulisan itu tidak cocok untuk penulis mahacantik yang ceria seperti dikau ini." Aku dapat menangkap raut wajahnya yang berubah seketika. Wajah ceria itu seperti dinaungi kabut sesaat setelah kata itu terucap dari mulutku yang tak tahu batas ini.
"Tahu apa kamu soal kepahitan, Kak? Tahu apa kamu soal aku? Kamu tak pantas menilai aku dengan keji seperti itu. Menilai aku dan mengatakan aku tak pantas dengan kepahitan. Kamu tak tahu aku. Belum mungkin. Sekarang aku tanya. Apakah kamu memang ingin mengenal aku? Apakah rasa ini bukan kepura-puraan belaka. Apa yang sudah kamu tahu? Mundurkah kamu setelah ini? Jangan jawab. Karena jawabannya akan dangkal dan bodoh . Maaf, jika topeng senyumanku sudah kelabui kamu, Kak, Kanda." Aku singgungkan ia begitu dalam. Sanubarinya terluka akibat ulah sang harimau tak bertulang. Ampunkan aku dinda.
"Maaf, jika itu menyinggungmu. Aku tak kenal kau dan kau pun begitu. Aku harap kelancanganku ini bisa menjadi jalan pembuka bagi kita untuk lebih saling mengenal. Sungguh, aku benar-benar menginginkan kesempatan itu. Apakah kau juga begitu?" Aku tatap matanya dengan tatapan yang menafsirkan banyak hal. Silakan kau tafsirkan sendiri makna tatapan ini. Aku tak punya waktu untuk berikan pembelaan. Kalau kau anggap aku tak bermoral, terserah dikau sajalah.
"Kak, aku tahu apa yang sudah kamu dengar tentang aku. Aku tahu apa yang sudah disampaikan teman-temanmu soal lingkaran kekuasaan. Memang benar, kalau aku berada di lingkaran itu mas. Aku adalah kerabat maharaja. Aku masih mempunyai darah raja-raja di tubuhku. Itu benar. Tapi, kamu juga tidak bisa sembunyikan hal itu kak. Aku tahu siapa engkau dan keluargamu. Tidak perlu kamu tutupi itu kak. Keluarga kita tidak tentukan apapun tentang masa depan kita. Tidak. Sekalipun aku membantah seribu kali kalau aku tidak berada di lingkaran itu. Itu hanya elakan tak berguna. Aku adalah bagian dari itu. Sekarang, apakah aku akan mengikuti jejak-jejak ternista itu? Itu yang akan kupertanyakan. Jikalau kepahitan, itu bukan kepura-puraan kak. Itu adalah sebuah kenyataan. Hanya lewat tulisan aku dapat menjadi seorang yang pahit. Di dunia nyata, aku tak diperkenankan memperlihatkan kepahitan. Getir, aku berpura-pura dalam dunia nyata. Tetapi, menjadi nyata dalam dunia fiksi." Gadis ini. Membuatku semakin bimbang tanpa pegangan.
"Kau hidup di lingkungan istana. Hidup sejahtera dan diistimewakan oleh banyak punggawa. Apa yang kau pahitkan dari dunia fana ini?" Sungguh, aku belum mampu mereguk kedalaman pemikirannya. Kata-katanya membuat aku tak mampu memikirlan banyak hal. Adakah ia bidadari bijaksana yang selalu kunanti-nanti sepanjang hidupku?
"Kefanaan, itulah alasannya aku membenci dunia. Kefanaan yang membuat aku berpisah dengan ibunda sedari kanak-kanak. Kefanaan yang membuat ayahanda lupa ia masih mempunyai seorang putri. Itu yang aku benci dan telan dalam diam kak. Dalam setiap senyuman dan candaku di hadapan umum. Jikalau kamu pun membenci sesuatu yang kamu anggap ketidak adilan aku pun begitu. Sekarang aku tanya padamu, Kak. Mengapa kamu mengejar angan-angan hampa? Sesuatu yang tidak mungkin hadir dalam kefanaan dunia. Sesuatu yang hanya akan menyeretmu dalam lubang kedukaan yang terlalu terjal untuk kaudaki. Kamu hanya akan terjerembab, Kak. Aku harap kamu paham maksudku." Dia memintaku untuk berhenti dari semua kegiatan yang sudah kujalani enam tahun ini. Dengan kata-kata lembut dan halus. Dengan ucapan yang benar-benar menggambarkan kalau ia adalah putri keturunan maharaja. Bibir merah menggoda itu pun kembali menyunggingkan senyumannya untukku.
"Kau salah, Dinda. Maaf. Aku bukan pembenci ketidak adilan. Aku hanyalah pembenci kemunafikan yang terpahat dalam setiap belulang pejabat negeri ini yang menyembah kefanaan dunia. Lihat para pembesar agung itu. Keturunan raja-raja. Bermartabat besar. Mereka berpura-pura menyampaikan kata-kata prihatin yang memanaskan jiwa di depan para juru warta. Tetapi, pada dasarnya mereka hanyalah orang-orang yang terus-menerus menggilas rakyat. Membuat rakyat semakin tersiksa oleh mereka. Menyedihkan kurasa hal itu. Itu yang ingin kuhentikan dinda. Kemunafikan itu. Aku ingin mereka bukan hanya mengobral janji-janji manis. Tetapi, juga kesungguhan jiwa." Aku berkata pelan. Malu akan kata-kataku sendiri. Malu akan apapun yang telah kujalani dan akan jalani. Malu dengan takdir.
"Tetap saja, kau berjuang demi keadilan Kanda." Aisyah ini. Kata-katanya benar-benar menggetarkan aku. Tidak sedikitpun akhirnya aku menyesal pernah mencintainya. Andaikan cinta ini pun suatu saat tak tersambut kebahagiaan, aku pun takkan menyesal.
Perbincangan sore itu benar-benar membuka pikiranku tentangnya. Memberikanku perspektif baru. Perspektif yang bukan hanya membuatku mensyukuri kekeras kepalaanku. Tetapi membuatku menanam sebuah sesal. Mengapa aku harus menjalankan misi bodoh yang menyesatkan?
Misi bodoh, tetapi cinta ini tidak bodoh. Ia mendekati kejeniusan tak berbatas sesuatu yang tak dapat dijelaskan. Dan sore itu aku yakinkan hatiku untuk melakukan perjuangan tersulit. Demi cinta yang nyata. Demi cinta yang di depan mata.
Sore ini aku sudah mengulum janji kemarin bersama dewi kematian yang kucintai itu. Entah dengan apa kami akan melewatkan sore yang tak indah di pelupuk mataku. Terasa seperti terbakar, meskipun aku sedang berada di lindungan pepohonan rimbun di wilayah kampus yang agak kucintai ini.
Di sebuah bangku di belakang perpustakaan kutunggui ia. Sudah setengah jam lebih aku menunggunya dengan pikiran yang mulai bosan. Dan begitulah, kutunggui ia dengan hati yang terkesan kalut karena beban hasil sang penelitian. Aziz sialan, beraninya ia mengganggui aku dengan pemikiran yang begitu beracun. Tetapi, cinta ini, racun ini, nafsu akan keduniawian akan runtuhkan aku perlahan jika tak secepat kilat menyambar. Ampunkan cinta ini jika ini memang kesalahan. Bagiku, kegoyahan akan pendirian adalah hal yang menyakitkan dan itulah yang terjadi. Oh cinta!
Dari pandangan kejauhan, aku perhatikan seorang dara berjalan menuju ke arahku. Tidak salah lagi, orang itu adalah Aisyahku. Yang kutunggui dengan pikiran gelap akibat nafsu yang terganggu logika dan nurani. Apakah aku akan jadi manusia naif yang diperbudak cinta badani. Atau aku akan tetap menjadi Sulaiman yang penuh dengan perjuangan dan terdampar bersama angan dan kawan. Kulihat Aisyah yang datang dengan seluruh keanggunan di seluruh jagat nyata. Gaun merah mudanya benar-benar taklukan aku. Riasan sederhana itu juga benar-benar cocok di dalam selera sang netra.
"Sudah lama kamu tunggu aku, Kak? Maaf ya. Aku baru selesai mengerjakan tugas. Kakak tidak sibuk? Kakak kan orang penting di sini. Aku dengar, sekali Kakak bicara seluruh kampus bisa bergetar dan menganggukkan kepala karena kelantangan dan kebenaran yang Kakak ucapkan." Ia mengucapkan kata-kata itu dengan senyuman manis yang menghipnotis aku hingga aku tak lagi sadar akan dunia.
"Ya, begitulah. Tidak terlalu lama juga. Aku juga baru dari sekretariat. Ada urusan organisasi. Kau memuji berlebihan, Dinda. Aku tidak sehebat itu. Itu hanya pujian yang dilebih-lebihkan. Para manusia sekitaran sini terlalu dramatis. Efek karya seni yang terlalu ekspresif." Dinda? Itu adalah kata-kata terbodoh yang pernah terucap dari curug keajaiban ini. Untuk apa pula kata-lata murah itu keluar dariku? Akhh. Ini benar-benar membuatku tersudut dengan kata-kataku sendiri yang menjebak. Aku tak punya kesempatan mengelak.
"Dinda? Hahaha. Kakak memang hebat. Orang lain belum ada yang memanggilku seperti itu. Lagi pula, mereka terlalu segan denganku. Padahal kan aku hanya gadis biasa. Tetapi Kak, kita baru berbicara beberapa kali dalam beberapa saat belakangan sudah bernyali berlancang-lancang. Aku puji hal itu, Kanda hehe ...." Apa pula ini lagi? Ia mengejekku dengan kata-kata yang memalukan seperti itu. Diri ini seakan-akan kehilangan kehormatan seorang pejuang jadinya. Senyumannya apa lagi. Membuat hati ini terbuai-buai hingga berterbangan ke langit-langit tertinggi.
"Aisyah ..."
"Aisyah atau Dinda, pilih satu saja. Jangan ganti-ganti panggilan. Membingungkan dan aneh. Aku lebih suka Dinda, lebih sedap saja terdengar oleh sang pendengaran." Aisyah, kau ini. Menggodaiku saja sedari tadi. Apakah kau dapat menangkap sinyal degupan jantungku yang bekerja di atas batas maksimalnya. Maafkanlah aku wahai jantung, aku membuatmu bekerja terlalu keras. Melebihi ambang batasmu kurasa.
"Dinda, kalau itu dapat bahagiakan hatimu. Wahai Dinda, kau dengarlah kandamu ini bersabda. Aku sudah dengar kalau kau adalah pencinta sastra dan sejarah. Kau menulis dengan bahasa kepahitan. Jangan elakkan kata-kataku. Aku sudah membacanya. Dan ya, kepahitan tulisan itu tidak cocok untuk penulis mahacantik yang ceria seperti dikau ini." Aku dapat menangkap raut wajahnya yang berubah seketika. Wajah ceria itu seperti dinaungi kabut sesaat setelah kata itu terucap dari mulutku yang tak tahu batas ini.
"Tahu apa kamu soal kepahitan, Kak? Tahu apa kamu soal aku? Kamu tak pantas menilai aku dengan keji seperti itu. Menilai aku dan mengatakan aku tak pantas dengan kepahitan. Kamu tak tahu aku. Belum mungkin. Sekarang aku tanya. Apakah kamu memang ingin mengenal aku? Apakah rasa ini bukan kepura-puraan belaka. Apa yang sudah kamu tahu? Mundurkah kamu setelah ini? Jangan jawab. Karena jawabannya akan dangkal dan bodoh . Maaf, jika topeng senyumanku sudah kelabui kamu, Kak, Kanda." Aku singgungkan ia begitu dalam. Sanubarinya terluka akibat ulah sang harimau tak bertulang. Ampunkan aku dinda.
"Maaf, jika itu menyinggungmu. Aku tak kenal kau dan kau pun begitu. Aku harap kelancanganku ini bisa menjadi jalan pembuka bagi kita untuk lebih saling mengenal. Sungguh, aku benar-benar menginginkan kesempatan itu. Apakah kau juga begitu?" Aku tatap matanya dengan tatapan yang menafsirkan banyak hal. Silakan kau tafsirkan sendiri makna tatapan ini. Aku tak punya waktu untuk berikan pembelaan. Kalau kau anggap aku tak bermoral, terserah dikau sajalah.
"Kak, aku tahu apa yang sudah kamu dengar tentang aku. Aku tahu apa yang sudah disampaikan teman-temanmu soal lingkaran kekuasaan. Memang benar, kalau aku berada di lingkaran itu mas. Aku adalah kerabat maharaja. Aku masih mempunyai darah raja-raja di tubuhku. Itu benar. Tapi, kamu juga tidak bisa sembunyikan hal itu kak. Aku tahu siapa engkau dan keluargamu. Tidak perlu kamu tutupi itu kak. Keluarga kita tidak tentukan apapun tentang masa depan kita. Tidak. Sekalipun aku membantah seribu kali kalau aku tidak berada di lingkaran itu. Itu hanya elakan tak berguna. Aku adalah bagian dari itu. Sekarang, apakah aku akan mengikuti jejak-jejak ternista itu? Itu yang akan kupertanyakan. Jikalau kepahitan, itu bukan kepura-puraan kak. Itu adalah sebuah kenyataan. Hanya lewat tulisan aku dapat menjadi seorang yang pahit. Di dunia nyata, aku tak diperkenankan memperlihatkan kepahitan. Getir, aku berpura-pura dalam dunia nyata. Tetapi, menjadi nyata dalam dunia fiksi." Gadis ini. Membuatku semakin bimbang tanpa pegangan.
"Kau hidup di lingkungan istana. Hidup sejahtera dan diistimewakan oleh banyak punggawa. Apa yang kau pahitkan dari dunia fana ini?" Sungguh, aku belum mampu mereguk kedalaman pemikirannya. Kata-katanya membuat aku tak mampu memikirlan banyak hal. Adakah ia bidadari bijaksana yang selalu kunanti-nanti sepanjang hidupku?
"Kefanaan, itulah alasannya aku membenci dunia. Kefanaan yang membuat aku berpisah dengan ibunda sedari kanak-kanak. Kefanaan yang membuat ayahanda lupa ia masih mempunyai seorang putri. Itu yang aku benci dan telan dalam diam kak. Dalam setiap senyuman dan candaku di hadapan umum. Jikalau kamu pun membenci sesuatu yang kamu anggap ketidak adilan aku pun begitu. Sekarang aku tanya padamu, Kak. Mengapa kamu mengejar angan-angan hampa? Sesuatu yang tidak mungkin hadir dalam kefanaan dunia. Sesuatu yang hanya akan menyeretmu dalam lubang kedukaan yang terlalu terjal untuk kaudaki. Kamu hanya akan terjerembab, Kak. Aku harap kamu paham maksudku." Dia memintaku untuk berhenti dari semua kegiatan yang sudah kujalani enam tahun ini. Dengan kata-kata lembut dan halus. Dengan ucapan yang benar-benar menggambarkan kalau ia adalah putri keturunan maharaja. Bibir merah menggoda itu pun kembali menyunggingkan senyumannya untukku.
"Kau salah, Dinda. Maaf. Aku bukan pembenci ketidak adilan. Aku hanyalah pembenci kemunafikan yang terpahat dalam setiap belulang pejabat negeri ini yang menyembah kefanaan dunia. Lihat para pembesar agung itu. Keturunan raja-raja. Bermartabat besar. Mereka berpura-pura menyampaikan kata-kata prihatin yang memanaskan jiwa di depan para juru warta. Tetapi, pada dasarnya mereka hanyalah orang-orang yang terus-menerus menggilas rakyat. Membuat rakyat semakin tersiksa oleh mereka. Menyedihkan kurasa hal itu. Itu yang ingin kuhentikan dinda. Kemunafikan itu. Aku ingin mereka bukan hanya mengobral janji-janji manis. Tetapi, juga kesungguhan jiwa." Aku berkata pelan. Malu akan kata-kataku sendiri. Malu akan apapun yang telah kujalani dan akan jalani. Malu dengan takdir.
"Tetap saja, kau berjuang demi keadilan Kanda." Aisyah ini. Kata-katanya benar-benar menggetarkan aku. Tidak sedikitpun akhirnya aku menyesal pernah mencintainya. Andaikan cinta ini pun suatu saat tak tersambut kebahagiaan, aku pun takkan menyesal.
Perbincangan sore itu benar-benar membuka pikiranku tentangnya. Memberikanku perspektif baru. Perspektif yang bukan hanya membuatku mensyukuri kekeras kepalaanku. Tetapi membuatku menanam sebuah sesal. Mengapa aku harus menjalankan misi bodoh yang menyesatkan?
Misi bodoh, tetapi cinta ini tidak bodoh. Ia mendekati kejeniusan tak berbatas sesuatu yang tak dapat dijelaskan. Dan sore itu aku yakinkan hatiku untuk melakukan perjuangan tersulit. Demi cinta yang nyata. Demi cinta yang di depan mata.
Komentar
Posting Komentar