Memoar VI: Badrun

Luka, sesuatu yang meskipun telah terobati oleh ramu-ramuan yang terbuat dari tumbuhan maha langka, tetap saja berbekas. Meninggalkan sisa-sisa yang menyakitkan apabila kembali tergores oleh suatu ketajaman bendawi. Bilur, begitu beberapa pujangga menyebut luka di kalimat sastrawi dalam puisi-puisinya yang menggetarkan jiwa. Dan begitulah yang tertulis di tulisan-tulisan Badrun.

Badrun, sang penulis yang tulisannya teronggok di ruang gelap, tulisan tak mampu terdefinisi oleh otak-otak manusia yang tak terendus kecintaan terhadap keindahan kata-kata. Badrun, sang penggubah yang lebih banyak terkenang sebagai sahabat dekat sang cemerlang. Seorang Sulaiman, pemendam kemunculan tokoh lain. Tokoh garda terdepan yang dianggap bahadur penyelamat semesta dari kegelapan hakiki. Sedangkan Badrun, sang pahlawan di balik bayang. Bayang-bayang semu yang sering terlupakan oleh riuh. Badrun terpendam. Terendam. Terendap.

Bayang-bayang itu telah habis dituntaskan Badrun dengan ilusinya yang tak kalah menggetarkan jiwa. Tulisannya berdasarkan luka hati; kemulukan perasaan; dan keterpaksaan nurani dalam menjalani kefanaan kehidupan. Badrun menulis tak berharap pengenalan. Kesucian tulisannya begitu terjaga dari nafsu keduniawian. Ia haramkan nafsu dari tulisannya. Badrun, sang penulis yang tak mau bias.

Alkisah, kisah ini dikisahkan dengan tinta-tinta kehidupan dan ditulis oleh sang pencatat semesta. Dimainkan dengan musik-musik keabadian dan diperankan oleh aktor-aktor kehidupan. Alkisah ini dipimpin oleh sang penggenggam masa lalu yang dengan penuh cinta memainkan dan membawa para anak manusia ke dalam jalan kebenaran. Di kisah inilah Badrun memainkan perannya yang tak dapat dianggap peran utama.

Berat terasa dari mana menebak awal kisah ini. Biarlah tulisan ini mengalir seperti apa yang dimaksudkan oleh sang pengarang. Apabila suatu masa terdapat ketidak berartian dalam tulisan ini biarlah itu karena dimaksudkan begitu. Kesengajaan, keniscayaan begitulah hal yang dipercaya oleh Badrun dalam kehidupannya.

Kehidupan Badrun dimulai di sebuah kampung yang terpencil di sebuah negara yang rusak moral pemimpinnya. Sang kepala kampung adalah kakek Badrun, seorang kolot yang tidak boleh dibantah kata-katanya. Safi'i, paman Badrun pernah menceritakan kisah yang membuat Badrun mengernyitkan dahi. Kisah tentang orang kolot ini.

Dahulu, Safi'i bermaksud akan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Tetapi, sang kepala kampung yang terhormat melarang. Dengan suara tegasnya, ia saat itu berkata, "Tak ada guna kau sekolah jauh-jauh. Ujung-ujungnya kau hanya akan jadi pengganti bapakmu. Di sini. Di kampung leluhur kita." Pemikiran yang aneh. Padahal, kalau pendidikannya tinggi, seharusnya Safi'i dapat menjadi pengganti dengan pengetahuan dan pengalaman yang melimpah. Hal ini akan menguntungkan masa depan kampung itu jua. Begitulah kisah ini dituturkan oleh Safi'i kepada Badrun di suatu malam beberapa saat sebelum kepergian Badrun untuk menuntut ilmu di kota. Meninggalkan kampung dengan segala memori asam-manis-pedas yang direguk Badrun selama 18 tahun hidupnya. Meninggalkan sang kepala kampung yang kolot. Menjauh dari ruang pedih. Menghilang.

Badrun menuntut ilmu ke kota bermodalkan uang yang bisa dibilang sangat pas-pasan. Di bawah yang seharusnya malahan. Meskipun di kampung, keluarganya adalah salah satu yang paling makmur, itu hanyalah karena ekonomi kampung yang benar-benar sulit dan tidak setara dengan kota yang berada jauh di atas standar dan tidak dapat berbanding. Itulah tantangan hidup. Sanggup atau mengatup. Mekar tepat waktu atau layu sebelum berkembang.

Badrun menjalani beberapa hari pertama nya dengan sulit. Rindu kampung halaman ia dalam beberapa bulan pertama. Seakan-akan ia hendak menyesal dengan segala keputusan yang sudah ditetapkannya di kampung halaman. Bingung dia dengan dunia bebas di kota. Keramaian kota yang menyiksa. Kekerasan gaya pembicaraan yang menyiksakan dan menyakitkan batin. Mata hatinya menjerit demi menjalankan kebimbangan hati. Gairah kehidupannya perlahan mengabur hingga hampir binasa.

Kefanaan satu persatu datang menghampiri. Satu titik di kehidupan ia hampir menyerah mengejar sang angan-angan. Hingga pada satu hari bersualah ia dengan sang malaikat penyelamat, Sulaiman, begitulah orang itu memperkenalkan dirinya pada Badrun. Badrun perlahan jatuh pada kewibawaan sang raja yang membiusinya hingga tak berdaya.

Dari awal bertemu, Badrun sudah menduga kalau Sulaiman bukanlah mahasiswa biasa seperti dirinya. Pemilik badan tinggi kekar itu. Dengan kulit langsat yang terawat. Cara berjalannya tegak dan meyakinkan. Hanya satu hal yang kurang darinya, mata coklatnya kosong. Tak berisi.

Badrun selalu yakin Sulaiman berasal dari keluarga yang berpengaruh. Meskipun gaya Sulaiman yang sangat biasa. Ia terbiasa memakai kemeja yang bisa dibilang buruk. Kemeja Badrun sendiri kebanyakan lebih bagus dari yang dipakai Sulaiman. Seluar dan sepatu yang dipakai olehnya juga butut dan hampir tak layak pakai. Tetapi, gestur dan gaya berbicaranya tidak mengisyaratkan kerendahan kasta. Ia berbicara seperti keturunan raja-raja. Wibawa tak berhingga.

Sulaiman yang selalu berada dalam garda depan dalam pembelaan terhadap ketidak adilan dunia. Ia pejuang sejati. Pembakar semangat yang tak henti bekerja. Tetapi, Sulaiman itu kosong. Hatinya melompong bagai tak punya tuju. Ia kehilangan gairah. Badrun ingat kala-kala itu.

Badrun tidak memperhitungkan rasa kebingungan hati mendalam ketika rasa cinta Sulaiman terkuak dan menempati porsi besar di dalam hatinya. Bagaimana pun, Sulaiman adalah manusia, keturunan dewa ataupun tidak. Dengan mengharapkan rida dari yang maha kuasa, Badrun mengharapkan kebahagiaan di kehidupan Sulaiman. Badrun menyaksikan bagaimana kekosongan itu kemudian berisi. Mata itu memancarkan cahaya.

Sulaiman memang terlihat tak seperti raja agung ketika cintanya terukir dalam dalam gumpalan dalam dadanya kepada dewi itu. Walaupun begitu, bahkan tanpa keagungan hakiki, Sulaiman tetap sanggup getarkan hati-hati usai geranyangan suaranya berhasil menggoncangkan pasak-pasak pertahanan para pengembus napas. Pembagian tugas yang ditumpahkannya pada para abdi tak mampu ditepis penghunjamannya. Begitu mendalam. Begitu mencengkram.

Kepahitan Sulaiman dan kegetiran luka akibat duri segar di hati yang tertimpa cinta yang berat pualam perjuangannya. Kepahitan itu tak terisap utuh oleh mulutnya hingga seretannya berbekas hingga menginduksi hantaran abdinya.

Aisyah, sang dewi cinta. Keindahan dunia yang fana yang sanggup menawan keagungan dewata Sulaiman. Pemilik mata biru yang sanggup menyihir Sulaiman. Rambut coklatnya bekerja bagaikan pemanis yang sanggup mengubah kepahitan Sulaiman menjadi kehidupan manis. Kulit putih bersihnya seakan mampu membersihkan isi kepala Sulaiman yang dipenuhi dengan kebencian kepada dunia. Sang dewi itu, pemilik badan yang meliuk begitu indah. Sang dewi itu pemilik suara merdu yang memancing gairah.

Badrun sungguh menyatakan diri sebagai saksi kefanaan cinta. Bukan sebagai penonton yang terpukau tetapi pelaku yang terpaku dengan laku-laku kaku cerita yang harus direkayasa agar berjaya.

Badrun merekam kisah itu dengan begitu dekat. Dari jarak yang hampir tak berbatas. Ia menonton tak bermedium. Ia terkena pancaran itu. Menyaksikan proses metamorfosis seorang anak manusia. Menyaksikan proses goretan luka. Menyaksikan proses pembusukannya yang begitu menyedihkan. Badrun ada di sana. Ia dan kisahnya. Tidak sebagai sang pemeran utama. Tapi tetap memberi peran. Mengubah jalan cerita. Ia ada dan nyata.

Tulisan ini tercipta akibat dari pendar-pendar kisah yang terselip di mata Badrun siang tadi. Sebuah pemandangan manis disorot oleh matahari senja. Intim. Pekat. Kelat. Dekat. Badrun terjerat demi menyaksikan pemandangan itu. Taman belakang perpustakaan telah menjadi saksi. Permulaan sebuah kisah. Permulaan manis ini. Pikir Badrun. Akankah berakhir dengan goretan luka-luka yang tak mempunyai celah.

Badrun berdoa. Ia berharap. Kisah ini terlalu indah untuk berakhir luka. Badrun berdoa. Demi kekosongan yang terisi itu. Demi itu. Demi Itu. 

Komentar

Postingan Populer