Memoar VII: Krisis

Krisis Sosial

Masa muda, gelombang goda-godaan yang datang silih berganti memenuhi kehidupan masa-masa penuh kebimbangan akan identitas diri. Ideologi demi ideologi dan pemikiran-pemikiran baik yang normal maupun radikal kiri-kanan terbisiki ke dalam telinga. Ajaran moralis dan kajian teoritis yang datang singgah ikut membantu diri untuk bersikap mawas akan keadaan hati yang terombang-ambing dengan banyaknya pertanyaan. Nurani sejati andaikan menjadi, sekali-sekali mungkin dapat menamengkan diri dari peluk dingin ideologi salah arah.

Seorang profesor bijaksana dahulu kala pernah mengatakan padaku bahwa segala pengalaman masa muda yang kureguk akan membentuk aku di masa tuaku. Jika aku mereguk keindahan budi dan moralitas serta ideologi yang baik, masa tuaku akan dipenuhi cinta kasih dan dihiasi dengan benih-benih kebajikan yang kental di dalam hati. Sebaliknya, gelombang keburukan serta ego nurani di masa muda akan memengaruhi masa tuaku hingga menjadi sesuatu yang berpilin-pilin angkaranya.

Banyak orang-orang besar memulai catatan gilang-gemilangya dengan kecemerlangan masa muda yang tidak perlu ditanyakan lagi eksistensinya. Mereka membangun kemampuan dan mentalitas mereka untuk menyongsong masa depan yang hendak dihamparkan di hadapan mereka. Seindah-seindahnya. Seolah tahu masa depannya sudah membentang dengan keindahan tiada tara, para pemuda-pemuda calon pembesar itu berjalan dengan tingkat kepercayaan diri tiada tara. Dada busung; senyum lebar. Optimis bak dewa. Merunduk bak padi. Belajar dengan sejuta guru abadi.

.
.
.

Wanitaisme mungkin adalah salah satu sekte suci yang diciptakan entah beratus ribu tahun silam oleh seorang pertapa ulung yang tergila-gila dengan seorang dewi yang pada akhirnya memgutuknya agar tunduk patuh pada setiap ucapan lembut dan manja wanita. Wanita yang seolah menjadi tuhan sekte ini seakan menawan hati hingga terukir krisis sosial yang berujung pada keterbatasan kerja otak memproses sinyal-sinyal kompleks dalam menyetir diri. Berhadapan dengan mereka terkadang membuat kecerdasan seorang anak keturunan Homo Sapiens berkurang berpuluh-puluh titik. Bahkan yang paling jenius sekalipun terdiam. Mematung bak lempung berbentuk larung yang di pajang di ujung-ujung ruang kosong.

Seorang pakar yang dahulu pernah berbicara empat mata padaku mengatakan bahwa wanita itu adalah sumber pengharapan bagi seorang lelaki. Apabila wanitanya baik dalam memberikan pengharapan, sang lelaki akan merasa hidupnya seperti diguyur oleh keindahan semesta. Sebaliknya, kerusakan hatinya juga akan dipengaruhi oleh kerusakan hati wanitanya. Ia bergantung dengan hati yang kembang-kempis itu. Bergantung pada benda radioaktif yang siap meledak setiap detik waktu itu.

Beberapa hari sudah silam usai pembicaraan sore hari yang mengaduk-aduk pendalaman dua orang insan yang termabuk-mabuk oleh asmara. Tanpa polesan yang membuat kisahku terdramatisir oleh gerak-gerak asmara yang menggelikan, pembicaraan itu ternyata berlanjut dengan obrolan lewat sambungan nirkabel hingga fajar menjelang.

Obrolan kami begitu intim hingga tak pantas diceritakan persoalannya di cerita romansa yang diniatkan sebagai perekam kejadian di masa-masa indah jatuh cinta sepasang anak manusia. Hari ini, kami pun sudah merencanakan sebuah pertemuan pertunjukan perasaan. Kejelasan rasa yang mengkrisis jiwa itu akan menjadi tujuan utama pertemuan ini. Pembuktian akan pembalasan rasa.

.
.
.

Bangku-bangku di ruangan restoran itu kosong-melompong. Meskipun malam itu adalah malam kesukaan para pasangan muda untuk bermanja-manja dengan pasangan hatinya. Aisyah dan aku memasuki ruangan dengan penerangan minim itu. Aku tidak suka berada di sini, itu sudah pasti. Berada di tempat seperti ini tidak sesuai dengan kehidupanku yang monokrom. Berada di sini membuatku yang berencana untuk menghilangkan gelombang borjuisme dari atas tanah dunia merasa berdosa.

Sayangnya, begitulah nasib menghantam padaku. Sang pengisi kekosongan hatiku adalah seorang tuan putri yang tidak bisa berjauhan dengan kehidupan bergelimangan cahaya-cahaya neon. Dan aku turut masuk ke dunianya. Tak berdaya.

Seorang pelayan usia pertengahan dua puluhan datang membawakan buku menu makanan tidak sampai semenit usai kami mendudukkan diri di atas sofa kulit. Aku membiarkan Aisyah memilih apa yang ia kehendaki dalam hatinya. Aku tak melarangnya untuk menunjukkan kesukaannnya terhadap apapun. Sedangkan aku hanya memesan secangkir kopi pahit dan sepiring nasi goreng. Ia memilah-memilah beberapa saat. Bertanya pertanyaan tak berjawab beberapa kali. Kemudian memutuskan. Entahlah. Yang penting ia memilih.

"Jadi kak, sebenarnya kita tidak membutuhkan pengungkapan rasa satu sama lain. Tatapan matamu sudah cukup menceritakan apa yang kamu endapkan di sanubarimu untukku. Kamu juga cukup menggenggam tanganku dan merasakan getaran seperti apa yang aku simpan di debaran jantungku." Aisyah membuka pembicaraan kami dengan suaranya yang semakin membuatku jatuh cinta padanya.

"Ya sudah kalau begitu, jadilah wanitaku. Temani aku dalam setiap perjuanganku. Jadilah Hawa dalam hidupku. Jadilah engkau Mumtaz Mahal yang setia temani Shah Jahanmu. Hentikan kegiatanmu yang mengutamakan keindahan paras dan kemewahan bendawi. Aku tak ingin larang dikau, tapi gejolak cintaku tak izinkan kamu jadi berhala sesembahan." Kata-kataku terdengar egois. Tapi, pertimbangan perasaan si baliknya sudah begitu diperhitungkan dalam otak pikiranku.

Kuteringat pada sebuah kisah cinta dua manusia yang terbengkalai oleh tantangan dunia akibat ketidaksamaan angan. Kisah cinta itu selayaknya berakhir dengan kebahagiaan hingga akhir tarikan napas, tetapi kerusakan hati terus menerus menghajar perasaan mereka. Hingga akhirnya mereka menyerah oleh keadaan. Keduanya terluka. Keduanya tidak mampu untuk bangkit lagi karena tekanan keadaan. Aku tidak ingin ketidak samaan angan kami mengakhirkan nasib kami seperti sepasang anak manusia itu. Aku ingin kejujuran. Keterbukaan. Demi kami. Demi cinta.

"Jangan mulai lagi, Kak. Kamu sudah tahu kalau aku tidak melakukannya dengan mudah. Segala sesuatunya sudah ada porsi dan tempatnya kak. Aku tidak bisa berhenti seperti kamu tak sanggup untuk mundur. Aku akan dukung kamu sepenuh hati dan kamu mesti memberikan dukungan sebesar cintamu padaku"

Setiap pasangan selalu mengatakan kalimat perjanjian yang sulit ditepati itu. Banyak kisah-kisah yang kandas dengan memprihatinkan usai ucapan yang mudah di ujung lidah itu. Tidak, kisah ini tidak bisa berakhir persis. Kami lebih baik dari para angsa jatuh cinta itu. Kami adalah badai penghantam karang. Kami kuat dan takkan terberai oleh masalah yang akan bergantian datang.

"Tatap aku, Aisyah. Kamu itu adalah dewi yang harus aku lindungi luar dan isinya. Tapi aku tidak suka melihat kamu menjadi dewi yang ditatap oleh mata-mata penuh nafsu yang tidak bisa kukendalikan. Aku ingin kamu menjadi milikku seorang, Aisyah. Seperti aku akan menjadi milikmu seutuhnya." Kutatap matanya kembali. Mata yang indahnya bak safir itu. Keindahan itu mengunci jengkal-jengkal jiwaku; mengurung ruang-ruang hati hingga tak mampu merasakan perasaan lain. selain perasaan terhadapnya. Anomali rasa yang tak bisa kubantah.

"Tenanglah, Kak. Aku takkan membuatmu kecewa dengan apa yang kupilih. Percayalah." Aisyah mengatakannya sembari menjelajahi kelemahanku yang paling menyedihkan. Ia memelukku dan membuatku kehilangan gambaran akan kata-kata balasan. Meski awalnya ragu dengan keadaan hati yang masih tidak terima dengan perbedaan. Pelukan itu akhirnya kubalas. Aku kalah. Untuk yang kesekian ribu kali. Aku pengkritik wanitaisme yang paling hipokrit. Aku sadar.

Pelukan itu berlanjut kepada ciuman yang langsung menjelajah diri kami dengan ketenangan yang seolah semu. Meski nyata. Kujelajahi sudut-sudut bibir merona itu dengan niat untuk mengikat diri dengan sang bidadari berkulit susu. Kenyal. Rasa itu kenyal. Otak itu ternoda. Tercela.

Peluk-cium itu berlangsung lama dan hangat hingga kehangatannya menjelajah hingga ke seluruh tubuhku. Pelukan itu memberikan aku rasa tenang akan keadaan yang tidak tentu arah antara kami. Ciuman turut memberikan aku perasaan yakin untuk memilih. Mungkinkah aku harus membiarkan diri ini terbiasa dengan kedap-kedip rasa abstrak yang tak berbentuk. Sedikit rasa untuk mengalah mungkin akan dapat menenangkan hati. Tak menang, tapi tenang. Bukan penakluk, tapi menanduk.

Ketika pelukan sudah mulai mengendur, kubisiki ia, "Temani aku."


Komentar

Postingan Populer