Memoar VIII: Pilihan Aisyah
Pilihan Aisyah
Negeriku, negeri yang terhampar dengan keindahan tiada tara. Sayang, keindahan tak berbanding itu diisi oleh angkara yang juga tiada perbandingan. Dan di sanalah aku duduk manja, nyaman menonton angkara itu. Terpaku. Membatu.
Seringkali aku merasa terkutuk telah menjadi bagian dari angkara murka yang seakan tidak pernah berhenti bergulir. Angkara murka itu mengalir dari tingkat atas hingga tingkat rendah. Bertingkat-tingkat. Bertumpuk-tumpuk. Berbeda jenis angkaranya. Tetapi, apapun jenisnya, angkara murka tetaplah angkara murka.
Masa kecil hingga menjelang dewasaku diiringi dengan parade angkara murka yang tidak kunjung mereda. Politik-politik kotor istana sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan singkatku. Aku bukan hanya menyaksikan parade itu. Aku adalah bagian di dalamnya. Menjadi penentu jalan ceritanya. Meski tak punya kuasa untuk mengubah naskahnya. Aku aktor amatir yang terseret dalam pertunjukan.
Dari luar, mereka mungkin mengira kebahagiaan adalah bagian besar dari hidupku. Sayangnya, apa yang tampak di depan seluruh umat manusia berbeda dengan apa yang aku simpan di dalam hatiku. Nyatanya, luka-luka bekas pecutan pengalaman pahitlah yang mengisi hati. Pecut-pecut yang menggoresi dinding hati hingga hati berdarah-darah menahankan rasa sakitnya. Kepahitan-kepahitan itu membentuk siklus yang seolah tidak sanggup untuk berhenti. Terus saja singgah. Terus saja datang.
Kehidupanku hambar di dalam. Tetapi, bagi kebanyakan manusia berotak dangkal kehidupanku menggairahkan. Entah sudah berapa kali hampir kuakhiri kehidupan hambar ini. Hingga pertemuan dengan seorang anak Adam itu mengubah aku dengan tatapan matanya yang meneduhkan hati. Bak palung lautan, tatapannya mampu membiusi aku sejak tatapan pertama.
Kala itu, aku sedang berlarian karena ketakutan terlambat di hari pertamaku masuk di perguruan tinggi yang sengaja kupilih jauh dari ibu kota dan keluargaku. Kulihat ia sedang mengawasi para calon pengubah dunia itu dalam diam. Diamnya saja sudah menggetarkan, pikirku. Dan aku langsung jatuh dalam sekilas tatap.
Ternyata takdir langit menguntungkan aku. Selama lima hari ia menjadi pengawas kami. Selama itu, aku terus-menerus merasakan napas sesak karena sesuatu yang menekan di dadaku. Semakin hari, rasa itu semakin terasa. Bagaimana tidak, lelaki itu begitu gagah, baik dalam ucapannya maupun tingkah lakunya. Aku tak sadar ketika aku jatuh cinta. Alam bawah sadarku memegang kendali. Ketika aku tersadar. Hatiku telah dipenuhi gurat-gurat wajah sang gagah. Aku telah tersihir.
.
.
.
Pilihan demi pilihan sudah kubuat seumur hidupku. Salah satu pilihan yang takkan mungkin kusesali adalah pilihan untuk menepi di kota ini. Jauh dari hingar bingar ibu kota yang membuatku pengin muntah dengan permainan licik para penghuninya. Dan di sinilah aku berdiri, kembali dihadapkan kepada pilihan lain yang tidak kalah menyesakkan pikiran dan menggelapkan mataku.
Beberapa pilihan dapat dengan mudah aku putuskan putusan jalannya. Tetapi, kebanyakan putusan lain teramat sulit untuk didapatkan putusan pastinya. Gelombang putusan-putusan sulit inilah yang terkadang tidak sanggup aku proses dalam tempurung otakku yang terbatas kemampuannya dalam mengalirkan aliran data.
Pertimbangan-pertimbangan yang ada menumpuk-numpuk dalam kepalaku. Membuat aku bingung setengah mati dalam menentukan putusan. Sudah berbagai hal kubaca untuk turut memberikan aku tambahan pertimbangan. Berbagai jenis otak juga sudah kuajak diskusi dalam membahas permasalahanku dan hasilnya nihil.
Dalam sebuah seminar, pembicaranya yang merupakan seorang jurnalis ternama berkata, "Dalam memutuskan sesuatu haruslah menimbang baik-buruknya baik untuk diri sendiri dan pada orang banyak. Semakin penting keputusan itu, maka waktu yang dibutuhkan untuk merenungkannya haruslah semakin banyak."
Putusanku kali ini menyangkut kepentingan banyak pihak yang sudah memercayakan masalahnya ke pundakku. Hal ini semakin membuatku sulit memejamkan mata di kala malam. Aku lelah menahan. Aku hampur di ujung batas. Aku hampir menyerah dengan keadaan.
Sang putusan dalam beberapa titik memang merupakan kepentingan pribadi yang akibatnya tidak terlalu banyak menimpa langsung kepada masaytakat. Meskipun begitu, putusan ini tetaplah tidak mudah untuk keluar dariku karena musabab jauh sang putusan yang dapat memengaruhi kehidupanku dan kehidupan orang-orang uang berada di sekitarku.
Seperti sudah kusinggung sebelumnya, masalah itu memengaruhiku dan seorang anak Adam yang kedatangannya saja sudah membuat aku terombang-ambing dalam lubang perasaan sendiri. Seorang anak Adam itu. Pemilik otot-otot kekar yang selalu berhasil membuatku bergetar dengan keindahannya. Tatapan mata cokelatnya yang menghipnotis. Wajah tampannya dengan kulit kuning langsat yang bersih dari rambut-rambut berlebih. Rambutnya tidak panjang. Juga tidak pendek. Wajahnya tanpa kumis ataupun jenggot.
Pakaiannya terlihat lusuh. Entahlah, kebingungan rasa untuk menafsirkan setiap kejadian menolak untuk mempertanyakan semuanya. Penampilannya tidak pernah berubah dari sejak pandang pertamaku padanya. Pandangan yang langsung membuatku menginginkannya menjadi milikku.
Terkadang, trauma akan menghadapi kenyaataan pahit tak berujung sudah berikan ide untuk mundur teratur dan tidak merealisasikan mimpi untuk mengejar sang fajar. Tetapi, dukungan hati selalu kembalikan aku untuk tetap mengikuti keinginan. Jangan mundur. Teruslah mengejar.
Pertemuan kami yang begitu mengesankan di kala masa perkenalan kampus membawa kami ke dalam tahap intimasi yang lebih dalam. Ketika bisik-bisik memberikanku ilham tentang ia yang sedang melakukan beberapa tahap pendekatan, aku mengusahakan kesempurnaan kepadanya demi tercapainya kesan-kesan mendalam. Kesan itu mungkin sedikit memalsukan aku yang sebenarnya. Tetapi, rasa cintaku tidaklah palsu. Rasa ini benar-benar nyata dan memang apa adanya. Aku memang mencintainya. Kini, mungkin hingga nanti.
Kelap-kelip rasa cinta akan menyeret kami ke lubang yang sangat menyakitkan andaikan kegagalan datang singgah. Pilihan-pilihan hidup yang sebelumnya kuberi tanda dan makna perlahan akan mengendur. Perlahan-lahan hati akan menggelapkan perasaan kepada dunia luar. Dan bila itulah yang akan terjadi, aku akan berlari ke ujung lorong gelap. Menjauhkan diri dari kepahitan semesta. Sembunyi.
Cinta telah membuat diri apatis terhadap apapun selain agar diri tampil indah di pandangan matanya. Perasaan ini Membuatku hampir melupakan beberapa rencana kehidupan yang sudah kususun rapi berpuluh-puluh purnama sebelumnya. Rencana itu terkubur. Tertimbun dengan perasaan baru yang begitu dominan. Cinta.
Simpul-simpul rasa kucoba perlahan-lahan kendurkan agar sang perasaan terjaga dari kebencian nurani akan kepahitan hidup. Tawaran seorang lelaki penggembira malam dan seorang kuli tinta amatir turut mewarnai berbagai putusan-putusan krusial yang harus aku berikan titik terangnya dalam waktu singkat. Kebimbangan ini mendekati ketemaraman. Kelam karena kedua manusia itu merupakan lawan tangguh dari lelaki yang kucinta. Aku dibuat keningungan. Kebimbanganku tak berpegangan.
Tawaran-tawaran itu sejujurnya adalah tawaran yang sudah sejak lama kunantikan di kehidupan baruku di kota ini. Gelombang kebosanan memang sudah menggangguku dalam tiga purnama aku tinggal di kota yang begitu artistik di mataku ini; dengan beratus bangunan-bangunan mahakarya arsitek-arsitek sejarah dan berbagai galeri seni yang dibangun oleh beragam maestro seni negara. Aku memang mendapatkan banyak tawaran menjadi model di berbagai majalah lokal. Tetapi, itu tak bersensi. Aku tetap saja dikejar rasa bosan. Hingga dua orang ini berikan tawaran.
Sayangnya, tawaran ini membuatku terombang-ambing. Otakku terdistraksi ketika putusan itu hendak kuambil. Aku butuh energi lebih untuk memilih satu dari dua. Selalu saja wajah sang putra Adam kesayangan kembali memenuhi cermin dan mengingatkakanku untuk tidak memilih apapun. Aku bingung, dan mungkinkah kebingungan ini layak dirasa?
Pembicaraan penuh filosofi sarat makna kehidupan yang kami lakukan di suatu sore memberikan titik cerah kepadaku. Pembicaraan itu turut mengungkapkan perasaan kami satu sama lain hingga kebohongan-kebohongan rasa di antara kami terkikis. Rasa kami semakin terlilit kuat setelah kedekatan kami meningkat berkali-kali lipat lewat pembicaraan yang semakin pekat dengan keintiman lewat sambungan komunikasi nirkabel yang menjelma pikiran kami dengan gerombolan kata-kata panas.
Semakin lama, pikiran kami sudah tak mampu lagi menjelaskan jenis rasa kami. Rasa kami semakin terasa surealis bak lukisan yang hanya mampu diceritakan lewat tatapan penuh makna. Beberapa pertanyaan dalam dada semakin sesak untuk keluar menembus batas kekuatan syaraf. Pecahlah syaraf itu hingga berkeping. Perpecahan rasa dalam sel syaraf kami mengendur meninggalkan buih. Buih-buih itu mengambang di permukaan hati. Terang kemudian datang menjelma dalam manifestasi janji-janji hati ke hati. Hingga titik terang semakin jelas di suatu malam di ruangan temaram.
Remang-remang cahaya lampu neon menyorot tatap mata kami yang berpandangan satu sama lain. Pembicaraan panas kembali keluar dari mulut-mulut bernafsu yang hendak mencumbu keindahan di hadapan matanya. Kekerasan kepala anak manusia tidak dapat dihindarkan bahkan oleh kedua manusia berotak dingin. Ketakutan kehilangan momentum cinta membayang-bayangi rasa hingga peluk cium hangat mengiringi sebuah pengungkapan rasa yang sudah dapat dirasakan di hati satu sama lain. Cinta itu terucap meski tanpa ucapan kata. Cinta itu menguap, tidak dengan ucapan. Cukup dengan tatapan.
Pada detik itulah aku yakin langkah seperti apa yang akan kuambil ke depannya. Aku akhirnya mampu menyelesaikan kebimbangan hatiku dalam memutuskan sesuatu yang sudah menggangguku selama beberapa saat. Inspirasi untuk mendapatkan jawaban itu begitu sederhana. Sebuah pelik. Entah karena nafsu yang terlalu menggelegar dalam diri atau karen sifat alamiah manusia, pelukan itu ternyata ampuh memberikan keyakinan bagiku.
Kejadian ini mengingatkanku dengan apa yang disampaikan oleh guruku dulu. Pelukan itu dapat menenangkan pikiran dan membantu otak dalam memutuskan sesuatu yang besar. Mungkin saja kata-kata itu hanyalah karangannya. Biarlah, yang kuinginkan hanyalah sebuah pendapat yang menguntungkan aku karena kelap-kelip kebijaksanaan yang mampu membantu aku untuk berpikir jernih.
Terima kasih semesta dan inilah pilihanku, pilihan seorang Aisyah.
Negeriku, negeri yang terhampar dengan keindahan tiada tara. Sayang, keindahan tak berbanding itu diisi oleh angkara yang juga tiada perbandingan. Dan di sanalah aku duduk manja, nyaman menonton angkara itu. Terpaku. Membatu.
Seringkali aku merasa terkutuk telah menjadi bagian dari angkara murka yang seakan tidak pernah berhenti bergulir. Angkara murka itu mengalir dari tingkat atas hingga tingkat rendah. Bertingkat-tingkat. Bertumpuk-tumpuk. Berbeda jenis angkaranya. Tetapi, apapun jenisnya, angkara murka tetaplah angkara murka.
Masa kecil hingga menjelang dewasaku diiringi dengan parade angkara murka yang tidak kunjung mereda. Politik-politik kotor istana sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan singkatku. Aku bukan hanya menyaksikan parade itu. Aku adalah bagian di dalamnya. Menjadi penentu jalan ceritanya. Meski tak punya kuasa untuk mengubah naskahnya. Aku aktor amatir yang terseret dalam pertunjukan.
Dari luar, mereka mungkin mengira kebahagiaan adalah bagian besar dari hidupku. Sayangnya, apa yang tampak di depan seluruh umat manusia berbeda dengan apa yang aku simpan di dalam hatiku. Nyatanya, luka-luka bekas pecutan pengalaman pahitlah yang mengisi hati. Pecut-pecut yang menggoresi dinding hati hingga hati berdarah-darah menahankan rasa sakitnya. Kepahitan-kepahitan itu membentuk siklus yang seolah tidak sanggup untuk berhenti. Terus saja singgah. Terus saja datang.
Kehidupanku hambar di dalam. Tetapi, bagi kebanyakan manusia berotak dangkal kehidupanku menggairahkan. Entah sudah berapa kali hampir kuakhiri kehidupan hambar ini. Hingga pertemuan dengan seorang anak Adam itu mengubah aku dengan tatapan matanya yang meneduhkan hati. Bak palung lautan, tatapannya mampu membiusi aku sejak tatapan pertama.
Kala itu, aku sedang berlarian karena ketakutan terlambat di hari pertamaku masuk di perguruan tinggi yang sengaja kupilih jauh dari ibu kota dan keluargaku. Kulihat ia sedang mengawasi para calon pengubah dunia itu dalam diam. Diamnya saja sudah menggetarkan, pikirku. Dan aku langsung jatuh dalam sekilas tatap.
Ternyata takdir langit menguntungkan aku. Selama lima hari ia menjadi pengawas kami. Selama itu, aku terus-menerus merasakan napas sesak karena sesuatu yang menekan di dadaku. Semakin hari, rasa itu semakin terasa. Bagaimana tidak, lelaki itu begitu gagah, baik dalam ucapannya maupun tingkah lakunya. Aku tak sadar ketika aku jatuh cinta. Alam bawah sadarku memegang kendali. Ketika aku tersadar. Hatiku telah dipenuhi gurat-gurat wajah sang gagah. Aku telah tersihir.
.
.
.
Pilihan demi pilihan sudah kubuat seumur hidupku. Salah satu pilihan yang takkan mungkin kusesali adalah pilihan untuk menepi di kota ini. Jauh dari hingar bingar ibu kota yang membuatku pengin muntah dengan permainan licik para penghuninya. Dan di sinilah aku berdiri, kembali dihadapkan kepada pilihan lain yang tidak kalah menyesakkan pikiran dan menggelapkan mataku.
Beberapa pilihan dapat dengan mudah aku putuskan putusan jalannya. Tetapi, kebanyakan putusan lain teramat sulit untuk didapatkan putusan pastinya. Gelombang putusan-putusan sulit inilah yang terkadang tidak sanggup aku proses dalam tempurung otakku yang terbatas kemampuannya dalam mengalirkan aliran data.
Pertimbangan-pertimbangan yang ada menumpuk-numpuk dalam kepalaku. Membuat aku bingung setengah mati dalam menentukan putusan. Sudah berbagai hal kubaca untuk turut memberikan aku tambahan pertimbangan. Berbagai jenis otak juga sudah kuajak diskusi dalam membahas permasalahanku dan hasilnya nihil.
Dalam sebuah seminar, pembicaranya yang merupakan seorang jurnalis ternama berkata, "Dalam memutuskan sesuatu haruslah menimbang baik-buruknya baik untuk diri sendiri dan pada orang banyak. Semakin penting keputusan itu, maka waktu yang dibutuhkan untuk merenungkannya haruslah semakin banyak."
Putusanku kali ini menyangkut kepentingan banyak pihak yang sudah memercayakan masalahnya ke pundakku. Hal ini semakin membuatku sulit memejamkan mata di kala malam. Aku lelah menahan. Aku hampur di ujung batas. Aku hampir menyerah dengan keadaan.
Sang putusan dalam beberapa titik memang merupakan kepentingan pribadi yang akibatnya tidak terlalu banyak menimpa langsung kepada masaytakat. Meskipun begitu, putusan ini tetaplah tidak mudah untuk keluar dariku karena musabab jauh sang putusan yang dapat memengaruhi kehidupanku dan kehidupan orang-orang uang berada di sekitarku.
Seperti sudah kusinggung sebelumnya, masalah itu memengaruhiku dan seorang anak Adam yang kedatangannya saja sudah membuat aku terombang-ambing dalam lubang perasaan sendiri. Seorang anak Adam itu. Pemilik otot-otot kekar yang selalu berhasil membuatku bergetar dengan keindahannya. Tatapan mata cokelatnya yang menghipnotis. Wajah tampannya dengan kulit kuning langsat yang bersih dari rambut-rambut berlebih. Rambutnya tidak panjang. Juga tidak pendek. Wajahnya tanpa kumis ataupun jenggot.
Pakaiannya terlihat lusuh. Entahlah, kebingungan rasa untuk menafsirkan setiap kejadian menolak untuk mempertanyakan semuanya. Penampilannya tidak pernah berubah dari sejak pandang pertamaku padanya. Pandangan yang langsung membuatku menginginkannya menjadi milikku.
Terkadang, trauma akan menghadapi kenyaataan pahit tak berujung sudah berikan ide untuk mundur teratur dan tidak merealisasikan mimpi untuk mengejar sang fajar. Tetapi, dukungan hati selalu kembalikan aku untuk tetap mengikuti keinginan. Jangan mundur. Teruslah mengejar.
Pertemuan kami yang begitu mengesankan di kala masa perkenalan kampus membawa kami ke dalam tahap intimasi yang lebih dalam. Ketika bisik-bisik memberikanku ilham tentang ia yang sedang melakukan beberapa tahap pendekatan, aku mengusahakan kesempurnaan kepadanya demi tercapainya kesan-kesan mendalam. Kesan itu mungkin sedikit memalsukan aku yang sebenarnya. Tetapi, rasa cintaku tidaklah palsu. Rasa ini benar-benar nyata dan memang apa adanya. Aku memang mencintainya. Kini, mungkin hingga nanti.
Kelap-kelip rasa cinta akan menyeret kami ke lubang yang sangat menyakitkan andaikan kegagalan datang singgah. Pilihan-pilihan hidup yang sebelumnya kuberi tanda dan makna perlahan akan mengendur. Perlahan-lahan hati akan menggelapkan perasaan kepada dunia luar. Dan bila itulah yang akan terjadi, aku akan berlari ke ujung lorong gelap. Menjauhkan diri dari kepahitan semesta. Sembunyi.
Cinta telah membuat diri apatis terhadap apapun selain agar diri tampil indah di pandangan matanya. Perasaan ini Membuatku hampir melupakan beberapa rencana kehidupan yang sudah kususun rapi berpuluh-puluh purnama sebelumnya. Rencana itu terkubur. Tertimbun dengan perasaan baru yang begitu dominan. Cinta.
Simpul-simpul rasa kucoba perlahan-lahan kendurkan agar sang perasaan terjaga dari kebencian nurani akan kepahitan hidup. Tawaran seorang lelaki penggembira malam dan seorang kuli tinta amatir turut mewarnai berbagai putusan-putusan krusial yang harus aku berikan titik terangnya dalam waktu singkat. Kebimbangan ini mendekati ketemaraman. Kelam karena kedua manusia itu merupakan lawan tangguh dari lelaki yang kucinta. Aku dibuat keningungan. Kebimbanganku tak berpegangan.
Tawaran-tawaran itu sejujurnya adalah tawaran yang sudah sejak lama kunantikan di kehidupan baruku di kota ini. Gelombang kebosanan memang sudah menggangguku dalam tiga purnama aku tinggal di kota yang begitu artistik di mataku ini; dengan beratus bangunan-bangunan mahakarya arsitek-arsitek sejarah dan berbagai galeri seni yang dibangun oleh beragam maestro seni negara. Aku memang mendapatkan banyak tawaran menjadi model di berbagai majalah lokal. Tetapi, itu tak bersensi. Aku tetap saja dikejar rasa bosan. Hingga dua orang ini berikan tawaran.
Sayangnya, tawaran ini membuatku terombang-ambing. Otakku terdistraksi ketika putusan itu hendak kuambil. Aku butuh energi lebih untuk memilih satu dari dua. Selalu saja wajah sang putra Adam kesayangan kembali memenuhi cermin dan mengingatkakanku untuk tidak memilih apapun. Aku bingung, dan mungkinkah kebingungan ini layak dirasa?
Pembicaraan penuh filosofi sarat makna kehidupan yang kami lakukan di suatu sore memberikan titik cerah kepadaku. Pembicaraan itu turut mengungkapkan perasaan kami satu sama lain hingga kebohongan-kebohongan rasa di antara kami terkikis. Rasa kami semakin terlilit kuat setelah kedekatan kami meningkat berkali-kali lipat lewat pembicaraan yang semakin pekat dengan keintiman lewat sambungan komunikasi nirkabel yang menjelma pikiran kami dengan gerombolan kata-kata panas.
Semakin lama, pikiran kami sudah tak mampu lagi menjelaskan jenis rasa kami. Rasa kami semakin terasa surealis bak lukisan yang hanya mampu diceritakan lewat tatapan penuh makna. Beberapa pertanyaan dalam dada semakin sesak untuk keluar menembus batas kekuatan syaraf. Pecahlah syaraf itu hingga berkeping. Perpecahan rasa dalam sel syaraf kami mengendur meninggalkan buih. Buih-buih itu mengambang di permukaan hati. Terang kemudian datang menjelma dalam manifestasi janji-janji hati ke hati. Hingga titik terang semakin jelas di suatu malam di ruangan temaram.
Remang-remang cahaya lampu neon menyorot tatap mata kami yang berpandangan satu sama lain. Pembicaraan panas kembali keluar dari mulut-mulut bernafsu yang hendak mencumbu keindahan di hadapan matanya. Kekerasan kepala anak manusia tidak dapat dihindarkan bahkan oleh kedua manusia berotak dingin. Ketakutan kehilangan momentum cinta membayang-bayangi rasa hingga peluk cium hangat mengiringi sebuah pengungkapan rasa yang sudah dapat dirasakan di hati satu sama lain. Cinta itu terucap meski tanpa ucapan kata. Cinta itu menguap, tidak dengan ucapan. Cukup dengan tatapan.
Pada detik itulah aku yakin langkah seperti apa yang akan kuambil ke depannya. Aku akhirnya mampu menyelesaikan kebimbangan hatiku dalam memutuskan sesuatu yang sudah menggangguku selama beberapa saat. Inspirasi untuk mendapatkan jawaban itu begitu sederhana. Sebuah pelik. Entah karena nafsu yang terlalu menggelegar dalam diri atau karen sifat alamiah manusia, pelukan itu ternyata ampuh memberikan keyakinan bagiku.
Kejadian ini mengingatkanku dengan apa yang disampaikan oleh guruku dulu. Pelukan itu dapat menenangkan pikiran dan membantu otak dalam memutuskan sesuatu yang besar. Mungkin saja kata-kata itu hanyalah karangannya. Biarlah, yang kuinginkan hanyalah sebuah pendapat yang menguntungkan aku karena kelap-kelip kebijaksanaan yang mampu membantu aku untuk berpikir jernih.
Terima kasih semesta dan inilah pilihanku, pilihan seorang Aisyah.
Komentar
Posting Komentar