Umpan Duniawi

Umpan Duniawi

Kekasih sejati itu hilang tak berbekas. Bekas cambukan kabar itu semakin lebar karena ditiup oleh tuduhan-tuduhan yang tak kalah mencemeti. Aku hilang arah. Sulaiman hilang ada.

Dunia dan isinya berputar-putar pudar di kepalaku. Kabar-kabar yang kuterima seharian ini bertumpuk-tumpuk. Bertumbuk-tumbuk. Membentur gua hatiku. Bergema. Berdenging. Berhenti. Stagnan dalam otak. Membunyikan irama. Membentuk suara-suara infiniti. Membentuk siklus energi suara yang tak beraturan. Otakku mati rasa. Kelu.

Tuduhan itu terasa seperti luka yang disiram larutan asam terpekat. Hati ini berasap. Rasa sakit yang kurasakan merupakan akibat irisan luka yang terlalu dalam ditekan. Diperparah dengan siraman larutan asam pekat yang begitu perih. Rasanya seperti kulit ari basah yang diiris kemudian direndam kembali. Rasanya seperti hidung yang ditumpahkan air yang bergalon-galon tanpa henti selama seharian. Pengap. Pedih. Getir.

Hati yang tertuduh itu perih karena tudingan. Hati yang tertuding itu tersiksa karena menahan rasa sakit yang bermega-mega. Layaknya anak kambing yang terpisah dari induknya, jiwaku langsung hilang arah seketika mulut-mulut tajam itu menuduhkan kekejian yang tak punya balas. Raga yang lunak dan rapuh akan kesakitan itu penyet. Menyisakan lempengan setengah pecah yang getas.

Sang tuan pengiring hari menyapaku siang hari itu. Tepat di tengah tumpukan manusia yang menyampaikan salam anti-damai sembari menyelipkan pandangan menuduh. Tudingan-tudingan tanpa kata-kata kasar ditujukan kepada seseorang yang belum memahami makna sejati dari tudingan itu. Duka yang dihadapi anak dara yang kesepian itu terlalu kusut untuk dijelaskan awal-mula dan musababnya.

Rasaku, terkadang anak dara itu sudah hampir menggantung lehernya agar terjepit. Agar putus dunia. Agar terpisah beban dari gantungannya.

Anak dara itu, daku, beranjat berpindah ke hulu demi menghindari tatapan sinis yang membuat otak gila. Hilir-mudik manusia yang memenuhi dunia fana mengganggu pandangan dan pendengarannya. Berkas-berkas bekas terlindas masa lalu menyisakan kesunyian hati yang terlalu getas. Apalagi untuk diukir dalam kertas-kertas lusuh.

Menghindar daku dari tatapan tajam. Menghilang daku di balik bayang. Menghindar dari kejaran mata-mata tak tahu adab. Mata-mata tak acuh rasa. Gelaplah sudah hati anak dara itu karena fitnah. Karena kekejian tukang giring opni. Mereka menyudutkan ia hingga terpojok di ujung ruangan tak simetris.

Pikiranku terpencar-pencar dan tak fokus pada satu titik temu. Seolah pikiran itu bercecer di perjalanan menuju ke tak berhinggaan. Daku mencoba untuk memahami makna dari umpan duniawi. Mencoba untuk memahami sesuatu yang dutunjuk-tunjuk oleh para pencinta takdir. Sesuatu yang coba dikendalikan oleh sang penggerak takdir.

Kuterduduk dalam ketak riuhan yang menyiksa dalam dunia tak abadi. Jiwa resah terkungkung oleh batas-batas tak tertembus oleh terjangan tangan. Kaki kaku. Mulut gagu. Telinga beku. Aku ingin lepas dan luapkan amarah panas yang telah terkumpul dalam lapisan hati. Tapi, bulir air asin lah yang terpancar dari pelupuk mata. Tangis. Basah.

Waktu berlalu bagai peluru yang dilepaskan dari senjata beramunisi timah itu. Bagai anak panah yang terlepas dari busur, waktu melesat. Berlari melewati medan kuantum yang coba menghalang-halangi. Waktu berjalan seiring dengan aliran air asin yang mengalir dari oculisku. Entah berapa liter sudah sia-sia karena tekanan udara berlebihan yang memenuhi perasaan. Jantungku berdegup-degup tak beraturan bagai terkena kejaran setan paling berpuaka di atas tanah dunia.

Tuah petaka yang mengerdilkan perasaan itu berbinar. Membentuk suatu perasaan tak kasat kasar yang begitu mengganggu rasa nyaman. Tuah penuh tulah itu semakin berbinar. Membuat hati yang sempat kaku mencair. Membuat otak kembali dapat berpikir cermat. Otak terang. Jiwa tenang. Hati pun tahu jalan mana yang dipilih untuk mencapai Roma. Daku telah memutuskan. Waktu pembalasan telah tiba.

Langkah kakiku bergegas untuk menghadap pada para biang keladi duka jiwa. Pintu kokoh itu untuk kali kedua dalam hidupku yang singkat kudobrak. Kali pertama kulakukan hal itu adalah demi permohonan akan sesuatu yang amat menyempitkan pembuluh darahku. Kali ini, di kali kedua, penyebabnya adalah sesuatu yang begitu memebakar hati hingga hangus. Menyisakan abu. Menyisakan debu yang bertebaran dihembuskan angin. Berubah menjadi partikel kecil. Berkeping-keping.

Layaknya batu yang bertengger di tempat yang sama selama ribuan tahun tanpa tersentuh oleh tangan alam, orang itu duduk tenang di atas takhtanya. Dan layaknya pertapa yang melakukan tapa brata selama ratusan tahun demi mendapatkan ilmu hitam tingkat tinggi, ia terdiam di ruangan itu. Fokus.

'Mahligai' cendana yang terlihat begitu indah dengan ukiran-ukiran rumit berisi cerita-cerita lama itu mendadak berubah menjadi kursi kayu tak berharga. Yang teronggok usang di ujung-ujung ruang hampa. Orang yang berada di atasnya sedang memainkan komputer mutakhir yang keberadaannya terbatas di atas muka dunia. Kupandangi wajah yang seolah tidak menganggap keberadaanku dengan mata nyalang yang bisa saja dapat lelehkan baja. Embusan napasku kembang kempis menahan gemuruh ombak yang menerjang-nerjang aku. Menerjang keras agar dibiarkan keluar dari hatiku.

"Biadab!" Teriakku tanpa ada usaha untuk menahan frekuensi ataupun amplitudo gelombangnya. "Kamu memang sudah tidak punya perasaan! Penakut! Bajingan! Kamu beraninya bermain dengan cara-cara kotor. Tidak punya jiwa ksatria! Bedebah!" Kata-kataku tiba-tiba terhenti karena air asin itu kembali tumpah membasahi Bumi.

"Aisyah! Senang bertemu denganmu kembali. Kemarin kamu pergi tanpa pamit. Benar-benar tidak punya adab." Tatapan matanya memperlihatkan kebahagiaan. Orang ini memang benar-benar sinting. Pembunuh berdarah dingin. Psikopat.

"Tidak usah mengalihkan pembicaraan. Aku tidak suka. Langsung saja, kamu jelaskan padaku apa maksudnya ini?" Aku memperlihatkan hologram yang berisi kabar yang sedang dibicarakan oleh beratus juta manusia seharian ini. Wajahnya terlihat serius. Ia berlagak seolah memperhatikan. Ekspresi wajahnya menampilkan seakan antusiasmenya sudah memuncak sampai ubun-ubun. Ekspresi wahahnya membuat darah naik ke atas.

Jantungku memompa darah semakin cepat. Pembuluh darahku bekerja maksimal. Aku marah. Marah yang bercampur kesedihan yang menusuk-nusuk. Memperlebar luka lama. Lukaku memar. Tercecar.

"Pemuda ini punya semangat yang bagus. Ia tampaknya cocok denganmu. Sayangnya, ia terlihat memilih lawan yang salah. Pemuda sehebat ini seharusnya bermanfaat bagi pemerintahan. Ia membutuhkan 'sedikit pembinaan'." Kata 'pembinaan' itu terdengar sebagai kata paling mematikan dalam sejarah. Kata itu terdengar sebagai kata paling kejam yang pernah lewat di indra pendengaranku sejak alat itu berfungsi. Kata itu tidak sakral, tetapi cara pengucapannya membuat hati merinding. Hanya seorang pembunuh berdarah dinginlah yang dapat mengancam orang lain dengan kata-kata sedingin itu. Begitu halus, begitu mengancam.

"Enyahlah kau dengan basa-basimu. Kata-katamu membuat aku mual. Bebaskan ia atau aku akan memaksamu melakukannya! Kau camkan itu." Langkahku kemudian perlahan berbalik menuju pintu megah itu. Ketika pintu itu sudah kubuka dengan tanganku, ia menggumamkan sesuatu yang membuat tubuhku membatu seketika.

"Aku tidak berbakat dalam melakukan ancaman-ancaman yang mampu menggentarkan tekad seorang anak manusia. Tetapi, aku dapat memadamkan tekad api seorang anak Adam menggunakan tindakan yang akan kutunjukkan. Sesaat, kalian mungkin merasa tidak percaya aku dapat melakukannya. Tetapi percayalah! Aku sanggup berbuat sesuatu yang tak terbayangkan oleh imajinasi kalian. Jika kalian ingin mencoba, kupersilakan kau untuk mencoba." Entah karena nada bicaranya yang begitu intimidatif atau ekspresi wakhnya yang begitu sempurna mengancam, aku tersudut. Terjebak dengan ketakutan yang begtiu panjang. Terpendam. Aku terdiam.

.
.
.

Malam temaram itu kelam dengan absennya gemintang di atas langit. Kilau rembulan tidak sanggup memberikan penerangan yang lebih layak. Pijar lampu kamarku juga tak sanggup perbaiki keadaan. Temaram cahaya langit itu kemudian meredup di atas angkasa. Hilang seluruhnya.

Redupnya angkasa sebenarnya tidak seredup perasaan hatiku. Bagaikan lilin yang diembuskan hingga habis cahaya, hatiku gelap. Gulita. Bagaikan cahaya senter yang ditutupkan dengan wadah tak tembus pandang. Hati ini bukan hanya gelap. Dingin pula. Beku bagai dimasukkan dalam pendingin minus 10 derajat Celcius.

Kabar yang tersebar bagai kilat api tadi siang benar-benar menyelimuti aku dengan perasaan yang tidak mampu kujelaskan dengan rangkaian kata. Kombinasi sempurna rasa bingung, takut, malu, dan marah terasa begitu jelas di daging merah yang tersimpan di rongga dadaku. Kering kerontang. Itulah satu-satunya rasa yang mampu kujelaskan dengan kata-kata. Selain itu, penjelasannya pudar disapu ombak tepi pantai. Tak berjejak.

Umpatan-umpatan yang kuharapkan, tak dapat keluar dari mulutku. Tertahannya umpatan menyiksaku dengan begitu panjang dan perih. Menyiksa dengan siksaan dan berbatas.

Wajah kepalsuan penuh senyum dan tawa lepas itu mungkin sudah hilang seluruhnya. Isi hatiku telah tumpah ruah. Bisik-bisik manusia benar-benar memengaruhi psikologisku. Aku seperti diarak menuju angkasa sepi yang penuh dengan penderitaan tanpa akhir.

Aku benar-benar tertekan. Otakku sudah mati rasa. Aku hampir gila. Aku hilang akal. Kewarasanku menguap bagai disedot oleh tekanan beribu pascal. Otak yang hampir pecah itu semakin menyakitkan dengan kerlap-kerlip cahaya monokrom yang gelap dan tak berhasrat.

Keinginanku untuk hidup musnah seiring dengan semakin dominannya cahaya itu memenuhi pikiran. Umpan duniawi sudah membuat aku terberai bagai daging cincang yang disebarkan di jalanan kosong. Tak berharga. Tak layak sentuh.

Hari bahagia yang seharusnya kudapatkan berubah menjadi hari suram yang penuh dengan tanda tanya besar yang mengungkung akudengan sejuta pertanyaan tak berjawab. Hari yang kumulai dengan semangat dan penuh senyuman bahagia kuakhiri dengan wajah suram yang terasa seperti siksaan seumur hidup. Terasa begitu kelam dengan hilangnya berkas keadilan. Keadilan itu musnah bersama dengan musnahnya sang pembela utama. Kekasih sejati itu.

Malam itu semakin kelam. Kuterlarut dalam khayal-khayal semu. Terjebak. Tersedak.

Otakku semakin penuh sesak dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan gila. Semakin sesak dengan kemungkinan yang terlalu sinting untuk dibayangkan. Semakin sesak dengan bayang-bayang wajah Sulaiman dengan tatapan mata coklatnya yang menggoda.

Otakku semakin sinting. Aku semakin baling. Mencoba untuk kembali pulih. Tetapi tak punya dalih. Otak itu memutar cepat. Cepat putarannya menghasilkan getaran. Getaran itu menghasilkan energi. Energi untuk mencipta suatu keyakinan diri. Aku harus kembali. Aku harus kembali.

Komentar

Postingan Populer