XV: Kerusuhan Petaka
Kerusuhan Petaka
Dunia dan seisinya mulanya terlihat tidak menaruh perhatian akan segala sesuatu yang terjadi di bawah kolong langit. Suatu kejadian yang dapat mempengaruhi berbagai peristiwa kehidupan para manusia lain. Ketergantungan antar peristiwa yang masing-masing terjadi karena helaan napas manusia itu pun terkadang dianggap telalu majemuk untuk dapat dipecahkan satu per satu. Para manusia lebih suka mengurusi peristiwa yang bergantung dengan kehadirannya, alih-alih memahami suatu peristiwa masing-masing secara objektif dan kepala terbuka. Begitulah manusia, makhluk subjektif dalam dunia sosialnya.
Tidak ada yang luput dari kesubjektifan itu. Bahkan terpelajar yang telah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan oleh beribu mahaguru. Kesubjektifan adalah alasan mengapa manusia dapat bertahan dengan segala kekurangannya. Bela sampai mati, Bung! Begitu kira-kira balasan yang pantas dikatakan apabila telah membahas tentang kesubjektifan tak beralasan ini. Peperangan, diskriminasi, pembantaian, hingga pelecehan hak-hak seseorang terjadi karena dasar subjektivitas yang tidak mampu dibendung oleh hati nurani. Juga oleh otak yang berakal sehat.
Subjektivitas jiwa manusia sudah menyeret Badrun mengutuk pemerintah. Sebuah kekuatan yang berkuasa bagaikan setan yang tidak mampu ditoleransi keberadaannya di dunia. Meskipun Badrun dapat menikmati berbagai fasilitas seperti pendidikan tanpa membayar sepeser pun atau dapat menggunakan fasilitas umum, kebencian mendarah daging sudah membuncah di dalam hatinya entah sejak kapan adanya.
Opini Badrun bahwa pemerintah melakukan berbagai penindasan kepada rakyat lah yang membangun rasa benci itu. Meskipun rasa penindasan itu sendiri belum pernah terasa bagi Badrun. Hingga kejadian di depan istana maharaja setahun silam memberikan suatu titik terang baginya. Suatu pembuktian.
Banyak media yang mengulas bahwa kejadian di depan istana itu terjadi karena para 'perusuh' itu tidak mau mendengarkan instruksi pihak yang berwajib. Sebuah kebohongan menjijikkan yang benar-benar membuat Badrun merasakan kebencian yang semakin dalam di hati kecilnya. Daging merah penentu identitas anak Adam itu mungkin sudah legam dibalur kebencian jika harus mendengar kata pemerintah dan maharaja.
Adrenalin Badrun untuk mengganyang dan menghentikan kepura-puraan ini kembali menggelegar beberapa hari yang lalu. Kali ini, pemerintah melakukan blunder besar-besaran dengan menangkap beberapa jurnalis yang sedang bertugas menyorot titik terang kasus penyuapan yang dilakukan oleh beberapa pejabat yang merupakan kerabat maharaja.
Dengan bermodalkan sepuluh ribu massa, ia dan rekan-rekannya berencana untuk menuntut pemerintah agar bertanggung jawab secara penuh atas segala kejadian dan ketidak adilan yang diperbuat oleh mereka. Tetapi, tindakan bodoh seseorang yang seharusnya berpikir logis, menghancurkan rencana itu.
Sulaiman, lelaki yang dikagumi Badrun entah sejak kapan. Seorang sahabat sekaligus pemimpin Badrun yang selalu berpikir logis dan memiliki karisma yang tidak bisa disepelekan. Mereka benar-benar berharap banyak pada ketenangan pikirannya untuk dapat membawa perubahan dan memberikan titik terang dalam usaha mereka. Tetapi, bias-bias asmara sudah menggelapkan pikirannya. Bias-bias asmara yang bekerja layaknya arak itu tercipta dalam bentuk sesosok tuan putri. Seorang yang baru saja keluar dari gedung sekretariat ini usai menolak keterlibataannya dalam hilangnya Sulaiman.
Sulaiman hilang. Manusia keras kepala itu mengalami kecelakaan yang terlihat begitu kentara permainan di balik kecelakaan maut itu. Baja simetris melayangnya dihantam oleh kendaraan yang bermassa empat kali lipat. Hantamanya lenting sempurna. Melayang. Patah. Mayatnya raib. Menghilang entah kemana.
Setidaknya begitulah yang dikabarkan polisi satu jam yang lalu saat mereka menghubungi Badrun. Kala itu, Badrun sedang mengingat-ingat pola yang dapat mereka pergunakan untuk memperbaiki rencana mereka selanjutnya agar tidak hancur dibantai oleh kepura-puraan.
Sudahlah, Badrun pun sudah tidak memedulikan metode-metode omong kosong yang harus dibicarakan di masa depan. Sang pemimpin pun sudah raib ditelan oleh ketiadaan yang benar-benar hampa. Tersedot ke dalam kenihilan yang sangat disukai oleh tim pembuat acara suka-suka yang sering bersitegang dengan oganisasi mereka. Yang ada di pikiran Badrun kini hanyalah rencana untuk memaksa dalang perbuatan ini keluar dari sarangnya. Mengakui kejahatannya dalam menculik Sulaiman. Dan mendapatkan hukumannya.
Satu rencana liar terpikir di otak Badrun. Otaknya sudah muak dengan berpikir logis dan terukur. Pikirannya kini hanya menginginkan pembalasan berdarah. Itu saja.
"Jadi, aku mengusulkan untuk melakukan protes besar-besaran besok. Tidak ada penyampaian pendapat. Kita paksa mereka untuk mengakui kalau mereka lah yang menculik Sulaiman. Aziz, apakah kita punya cukup teknologi untuk melakukan kekerasan?" Tekanan di ucapan Badrun sama sekali tidak menyiratkan nada bercanda. Urat-urat lehernya terlihat tegang menahan amarah yang sangat menggelegar. Kepalanya sudah setengah mendidih bila ia mengingat kecurangan yang mereka terima dari pemerintahan maharaja dan gubernur kolonel.
"Aku tidak yakin. Tapi kita punya beberapa alat yang dapat digunakan untuk memperlambat cara kerja mereka."
"Siapkan saja! Aku akan sampaikan rencana ini kepada seluruh mahasiswa, begitu juga kalian. Langsung, tanpa menggunakan alat komunikasi. Aku tidak mau rencana ini bocor." Semua mengangguk setelah menerima perintah dari sang pemimpin sementara, Badrun yang juga merupakan koordinator lapangan, sekaligus orator ulung mereka.
Siang itu, rencana itu tersebar ke seluruh kampus. Teriakan-teriakan lantang menyambut ide liar sang orator ulung. Di dalam kepala mereka kini hanyalah ide untuk membalaskan sakit akibat ditelanjangi oleh kelakuan menyakitkan pemerintah. Kezaliman yang harus dihentikan. Dengan darah. Dengan luka. Kata-kata sudah mental. Tak punya kuasa. Mengkal.
.
.
.
Terik matahari menusuk-nusuk kulit. Panasnya memanggang kulit-kulit ari tempurung otak manusia. Ubun-ubun terasa seperti terbakar karena sayat-sayat tajam sang sinaran ultraviolet yang seperti pedang-pedang cahaya pembelah kulit-kulit bandit di kisah-kisah fiksi yang dahulu tersohor di masa-masa muda para kakek yang lantas diceritakan turun-temurun kepada cucunya. Cahaya matahari itu begitu kejam di siang hari itu. Seperti dikendalikan oleh kekuatan supranatural kejam yang tak kenal rasa lembut.
Di bawah keterikan matahari yang menyengat kulit itulah seorang anak manusia berteriak-teriak, "Bebaskan teman kami, jangan menjadi pengecut!" Badrun, seorang keras kepala yang sudah merencanakan hari ini dengan sisa-sisa tenaga pikirannya dalam menyusun siasat masuk akal. Rencana ini tersusun olehnya demi menuntut pembebasan temannya yang hilang bagai buih di tengah lautan. Hilang, raib, dan tak tersisa. Dugaan akan permainan kotor orang atas lah yang membuatnya mengajak kawan-kawan sepikiran untuk menghantam para orang atas pemilik kuasa yang tak berbekas rasa malu. Ia mengajak para rekan untuk menuntut pembebasan kawannya yang sudah seperti sedarah setulang dengannya.
Mampuslah para penjelajah malam yang telah tersusun rapi di luar istana itu mamluslah mereka karena sang tuan rumah yang mereka tuntut telah mempersiapkan petaka bagi mereka. Sang pahlawan semu yang sedang duduk mengetikkan sesuatu di alat komputer super karya Profesor Jafar itu sudah merencanakan ini semua hingga tingkat mikroba. Rencana matang yang akan membumi hanguskan rencana mengkal nan nekat yang dikomandoi oleh manusia berotak dangkal yang punya suara menggelegar. Otak vs otot. Otaknya berotot pula.
Sepleton pasukan bersenjata lengkap sudah dipersiapkan oleh sang gubernur kolonel untuk menghadapi parade emosi Badrun. Seakan sudah tahu detail rencana Badrun kali ini, sang gubernur sudah menempatkan tiap-tiap sudut halaman dengan masing-masing spesialis yang akan siap melaksanakan perintah apabila diberikan kode pencabut nyawa oleh sang komandan.
Darr ... senjata yang tadi telah disembunyikan Badrun di pinggangnya langsung ditarik pelatuknya olehnya. Badrun akhirnya menyerah dengan keadaan kejiwaannya yang terguncang akibat hilangnya seorang sahabat yang amat dicintainya. Suara tembakan ke udara itu tak membuat pasukan itu bergerak barang sesenti pun. Pasukan itu tetap bergeming bak batu yang dideretkan dan direkatkan satu sama lain. Disiplinnya tetap terjaga meskipun tembakan pengalih itu dilesakkan Badrun.
Hingga akhirnya tembakan dari seseorang yang tak terdeteksi membuyarkan barisan itu karena seseorang di antara mereka terkena tembakan tepat di pahanya. Pasukan itu pun mulai bergerak menyisir, mencari biang keladi dari tembakan yang bukan sekadar pengalih itu. Kerusuhan pun tak terelakkan lagi. Gelontoran peluru-peluru tajam itu kemudian menghunjam beberapa anak manusia yang tahu hanya berdiri meramaikan sorak sorai kepada setiap ucapan sang gemerlap yang sebenarnya, Badrun. Tubuh mereka lunglai terkena tembakan timah panas.
Beberapa di antara mereka lari tunggang langgang. Masa bodoh dengan rencana pembebasan yang terdengar indah sebelumnya dari mulut manis Badrun. Badrun sendiri kembali menarik pelatuknya yang kali ini bukan hanya dipergunakan untuk memperingati. Beberapa kali tembakan Badrun yang telah terlatih oleh seorang ahli berhasil mengenai paha atau betis para tentara yang disiapkan sebagai pion itu.
Tembakan Badrun terhenti kala seseorang menghujamkan sebilah benda tajam ke punggungya. Rasa perih itu membuat Badrun terjatuh dan akhirnya berhasil dilumpuhkan. Kesadarannya perlahan menghilang.
Kerusuhan itu berlanjut. Tanpa sadar bahwa sang pemimpin perusuh telah jatuh di medan laga. Seharusnya perang telah berakhir. Tetapi, tak semudah itu. Kerusuhan itu berlanjut hingga akhirnya kesadaran para penjelajah malam kembali. Otak mereka kembali bekerja. Mereka kembali waras. Pikiran tak terkikis. Di situlah rasa sakit kembali datang dan Badrun pada saat itu telah menjadi pesakitan. Terkungkung di ruang gelap. Dingin. Temaram.
Dunia dan seisinya mulanya terlihat tidak menaruh perhatian akan segala sesuatu yang terjadi di bawah kolong langit. Suatu kejadian yang dapat mempengaruhi berbagai peristiwa kehidupan para manusia lain. Ketergantungan antar peristiwa yang masing-masing terjadi karena helaan napas manusia itu pun terkadang dianggap telalu majemuk untuk dapat dipecahkan satu per satu. Para manusia lebih suka mengurusi peristiwa yang bergantung dengan kehadirannya, alih-alih memahami suatu peristiwa masing-masing secara objektif dan kepala terbuka. Begitulah manusia, makhluk subjektif dalam dunia sosialnya.
Tidak ada yang luput dari kesubjektifan itu. Bahkan terpelajar yang telah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan oleh beribu mahaguru. Kesubjektifan adalah alasan mengapa manusia dapat bertahan dengan segala kekurangannya. Bela sampai mati, Bung! Begitu kira-kira balasan yang pantas dikatakan apabila telah membahas tentang kesubjektifan tak beralasan ini. Peperangan, diskriminasi, pembantaian, hingga pelecehan hak-hak seseorang terjadi karena dasar subjektivitas yang tidak mampu dibendung oleh hati nurani. Juga oleh otak yang berakal sehat.
Subjektivitas jiwa manusia sudah menyeret Badrun mengutuk pemerintah. Sebuah kekuatan yang berkuasa bagaikan setan yang tidak mampu ditoleransi keberadaannya di dunia. Meskipun Badrun dapat menikmati berbagai fasilitas seperti pendidikan tanpa membayar sepeser pun atau dapat menggunakan fasilitas umum, kebencian mendarah daging sudah membuncah di dalam hatinya entah sejak kapan adanya.
Opini Badrun bahwa pemerintah melakukan berbagai penindasan kepada rakyat lah yang membangun rasa benci itu. Meskipun rasa penindasan itu sendiri belum pernah terasa bagi Badrun. Hingga kejadian di depan istana maharaja setahun silam memberikan suatu titik terang baginya. Suatu pembuktian.
Banyak media yang mengulas bahwa kejadian di depan istana itu terjadi karena para 'perusuh' itu tidak mau mendengarkan instruksi pihak yang berwajib. Sebuah kebohongan menjijikkan yang benar-benar membuat Badrun merasakan kebencian yang semakin dalam di hati kecilnya. Daging merah penentu identitas anak Adam itu mungkin sudah legam dibalur kebencian jika harus mendengar kata pemerintah dan maharaja.
Adrenalin Badrun untuk mengganyang dan menghentikan kepura-puraan ini kembali menggelegar beberapa hari yang lalu. Kali ini, pemerintah melakukan blunder besar-besaran dengan menangkap beberapa jurnalis yang sedang bertugas menyorot titik terang kasus penyuapan yang dilakukan oleh beberapa pejabat yang merupakan kerabat maharaja.
Dengan bermodalkan sepuluh ribu massa, ia dan rekan-rekannya berencana untuk menuntut pemerintah agar bertanggung jawab secara penuh atas segala kejadian dan ketidak adilan yang diperbuat oleh mereka. Tetapi, tindakan bodoh seseorang yang seharusnya berpikir logis, menghancurkan rencana itu.
Sulaiman, lelaki yang dikagumi Badrun entah sejak kapan. Seorang sahabat sekaligus pemimpin Badrun yang selalu berpikir logis dan memiliki karisma yang tidak bisa disepelekan. Mereka benar-benar berharap banyak pada ketenangan pikirannya untuk dapat membawa perubahan dan memberikan titik terang dalam usaha mereka. Tetapi, bias-bias asmara sudah menggelapkan pikirannya. Bias-bias asmara yang bekerja layaknya arak itu tercipta dalam bentuk sesosok tuan putri. Seorang yang baru saja keluar dari gedung sekretariat ini usai menolak keterlibataannya dalam hilangnya Sulaiman.
Sulaiman hilang. Manusia keras kepala itu mengalami kecelakaan yang terlihat begitu kentara permainan di balik kecelakaan maut itu. Baja simetris melayangnya dihantam oleh kendaraan yang bermassa empat kali lipat. Hantamanya lenting sempurna. Melayang. Patah. Mayatnya raib. Menghilang entah kemana.
Setidaknya begitulah yang dikabarkan polisi satu jam yang lalu saat mereka menghubungi Badrun. Kala itu, Badrun sedang mengingat-ingat pola yang dapat mereka pergunakan untuk memperbaiki rencana mereka selanjutnya agar tidak hancur dibantai oleh kepura-puraan.
Sudahlah, Badrun pun sudah tidak memedulikan metode-metode omong kosong yang harus dibicarakan di masa depan. Sang pemimpin pun sudah raib ditelan oleh ketiadaan yang benar-benar hampa. Tersedot ke dalam kenihilan yang sangat disukai oleh tim pembuat acara suka-suka yang sering bersitegang dengan oganisasi mereka. Yang ada di pikiran Badrun kini hanyalah rencana untuk memaksa dalang perbuatan ini keluar dari sarangnya. Mengakui kejahatannya dalam menculik Sulaiman. Dan mendapatkan hukumannya.
Satu rencana liar terpikir di otak Badrun. Otaknya sudah muak dengan berpikir logis dan terukur. Pikirannya kini hanya menginginkan pembalasan berdarah. Itu saja.
"Jadi, aku mengusulkan untuk melakukan protes besar-besaran besok. Tidak ada penyampaian pendapat. Kita paksa mereka untuk mengakui kalau mereka lah yang menculik Sulaiman. Aziz, apakah kita punya cukup teknologi untuk melakukan kekerasan?" Tekanan di ucapan Badrun sama sekali tidak menyiratkan nada bercanda. Urat-urat lehernya terlihat tegang menahan amarah yang sangat menggelegar. Kepalanya sudah setengah mendidih bila ia mengingat kecurangan yang mereka terima dari pemerintahan maharaja dan gubernur kolonel.
"Aku tidak yakin. Tapi kita punya beberapa alat yang dapat digunakan untuk memperlambat cara kerja mereka."
"Siapkan saja! Aku akan sampaikan rencana ini kepada seluruh mahasiswa, begitu juga kalian. Langsung, tanpa menggunakan alat komunikasi. Aku tidak mau rencana ini bocor." Semua mengangguk setelah menerima perintah dari sang pemimpin sementara, Badrun yang juga merupakan koordinator lapangan, sekaligus orator ulung mereka.
Siang itu, rencana itu tersebar ke seluruh kampus. Teriakan-teriakan lantang menyambut ide liar sang orator ulung. Di dalam kepala mereka kini hanyalah ide untuk membalaskan sakit akibat ditelanjangi oleh kelakuan menyakitkan pemerintah. Kezaliman yang harus dihentikan. Dengan darah. Dengan luka. Kata-kata sudah mental. Tak punya kuasa. Mengkal.
.
.
.
Terik matahari menusuk-nusuk kulit. Panasnya memanggang kulit-kulit ari tempurung otak manusia. Ubun-ubun terasa seperti terbakar karena sayat-sayat tajam sang sinaran ultraviolet yang seperti pedang-pedang cahaya pembelah kulit-kulit bandit di kisah-kisah fiksi yang dahulu tersohor di masa-masa muda para kakek yang lantas diceritakan turun-temurun kepada cucunya. Cahaya matahari itu begitu kejam di siang hari itu. Seperti dikendalikan oleh kekuatan supranatural kejam yang tak kenal rasa lembut.
Di bawah keterikan matahari yang menyengat kulit itulah seorang anak manusia berteriak-teriak, "Bebaskan teman kami, jangan menjadi pengecut!" Badrun, seorang keras kepala yang sudah merencanakan hari ini dengan sisa-sisa tenaga pikirannya dalam menyusun siasat masuk akal. Rencana ini tersusun olehnya demi menuntut pembebasan temannya yang hilang bagai buih di tengah lautan. Hilang, raib, dan tak tersisa. Dugaan akan permainan kotor orang atas lah yang membuatnya mengajak kawan-kawan sepikiran untuk menghantam para orang atas pemilik kuasa yang tak berbekas rasa malu. Ia mengajak para rekan untuk menuntut pembebasan kawannya yang sudah seperti sedarah setulang dengannya.
Mampuslah para penjelajah malam yang telah tersusun rapi di luar istana itu mamluslah mereka karena sang tuan rumah yang mereka tuntut telah mempersiapkan petaka bagi mereka. Sang pahlawan semu yang sedang duduk mengetikkan sesuatu di alat komputer super karya Profesor Jafar itu sudah merencanakan ini semua hingga tingkat mikroba. Rencana matang yang akan membumi hanguskan rencana mengkal nan nekat yang dikomandoi oleh manusia berotak dangkal yang punya suara menggelegar. Otak vs otot. Otaknya berotot pula.
Sepleton pasukan bersenjata lengkap sudah dipersiapkan oleh sang gubernur kolonel untuk menghadapi parade emosi Badrun. Seakan sudah tahu detail rencana Badrun kali ini, sang gubernur sudah menempatkan tiap-tiap sudut halaman dengan masing-masing spesialis yang akan siap melaksanakan perintah apabila diberikan kode pencabut nyawa oleh sang komandan.
Darr ... senjata yang tadi telah disembunyikan Badrun di pinggangnya langsung ditarik pelatuknya olehnya. Badrun akhirnya menyerah dengan keadaan kejiwaannya yang terguncang akibat hilangnya seorang sahabat yang amat dicintainya. Suara tembakan ke udara itu tak membuat pasukan itu bergerak barang sesenti pun. Pasukan itu tetap bergeming bak batu yang dideretkan dan direkatkan satu sama lain. Disiplinnya tetap terjaga meskipun tembakan pengalih itu dilesakkan Badrun.
Hingga akhirnya tembakan dari seseorang yang tak terdeteksi membuyarkan barisan itu karena seseorang di antara mereka terkena tembakan tepat di pahanya. Pasukan itu pun mulai bergerak menyisir, mencari biang keladi dari tembakan yang bukan sekadar pengalih itu. Kerusuhan pun tak terelakkan lagi. Gelontoran peluru-peluru tajam itu kemudian menghunjam beberapa anak manusia yang tahu hanya berdiri meramaikan sorak sorai kepada setiap ucapan sang gemerlap yang sebenarnya, Badrun. Tubuh mereka lunglai terkena tembakan timah panas.
Beberapa di antara mereka lari tunggang langgang. Masa bodoh dengan rencana pembebasan yang terdengar indah sebelumnya dari mulut manis Badrun. Badrun sendiri kembali menarik pelatuknya yang kali ini bukan hanya dipergunakan untuk memperingati. Beberapa kali tembakan Badrun yang telah terlatih oleh seorang ahli berhasil mengenai paha atau betis para tentara yang disiapkan sebagai pion itu.
Tembakan Badrun terhenti kala seseorang menghujamkan sebilah benda tajam ke punggungya. Rasa perih itu membuat Badrun terjatuh dan akhirnya berhasil dilumpuhkan. Kesadarannya perlahan menghilang.
Kerusuhan itu berlanjut. Tanpa sadar bahwa sang pemimpin perusuh telah jatuh di medan laga. Seharusnya perang telah berakhir. Tetapi, tak semudah itu. Kerusuhan itu berlanjut hingga akhirnya kesadaran para penjelajah malam kembali. Otak mereka kembali bekerja. Mereka kembali waras. Pikiran tak terkikis. Di situlah rasa sakit kembali datang dan Badrun pada saat itu telah menjadi pesakitan. Terkungkung di ruang gelap. Dingin. Temaram.
Komentar
Posting Komentar