XVI: Perburuan

Perburuan

Ruangan 'interogasi' itu temaram. Dua orang lelaki sedang duduk mengamati aku. Sejak tersadar satu jam yang lalu, yang teringat dalam kepalaku adalah benturan yang sanggup membuat mahakarya otomotif dunia itu oleng karena terkena tumbukan sempurna. Baja melayang itu kehilangan keseimbangannya. Baja itu terpelanting, tapi sudut tumbukannya tidak membuat aku terluka satu goresanpun. Hanya sedikit efek kejut elektron yang terhambat yang membuat kesadaranku ikut terbang saat tumbukan itu terjadi. Benar-benar perhitungan matematika yang sangat sempurna. Kesimpulanku, mereka memang tidak hendak membunuhku. Mereka hanya 'mengintimidasi'.

Ruangan 'interogasi' itu tidak terlalu luas. Kira-kira 6×6 meter oersegi. Terdapat satu meja dan empat buah kursi. Di atas meja itu, satu set komputer mutakhir sedang menyala menampilkan gambar-gambar pudar siluet seorang manusia dengan latar belakang lukisan.

Sebuah Lukisan yang merupakan mahakarya seorang seniman yang dibuat lebih dari satu abad yang lalu. Dari goretan tintanya, lukisan itu adalah replika. Karya dari seorang lulusan terbaik sebuah sekolah lukis terkemuka di benua biru. Asli maupun replika, lukisan itu sangatlah mahal. Karena melihat inilah tebakanku takkan meleset. Seseorang yang kekuasaannya berpilin-pilin berada di balik kejadian aneh ini.

"Jadi, apa kalian ada rencana lagi setelah rencana kalian tenggelam oleh emosimu yang sangat 'heroik' itu?" Interogator pertama tertawa mengejek tepat di depan mukaku. Kemudian meludah ke kakiku.
"Saya tidak tahu. Bukannya kalian langsung meringkusku tanpa aku sempat mengucapkan kata-kata perpisahan dengan teman-temanku?" Seringaiku takkan mampu disaingi oleh serigala jenis apapun. Otakku benar-benar sedang segar. Meskipun rasa sakit masih menjalar di tubuhku. Dentaman aspal yang menghantamku setidaknya tidak meringkus kecerdasanku. Syukurlah.

"Kalian memang gerombolan pengkhianat yang menjijikkan. Rencana kalian akan sia-sia semua. Dan kau! Hukuman gantung mungkin akan menghampirimu." Raut wajahnya mencoba untuk mengancam. Tetapi, rasa takut tidak kunjung datang padaku. Sia-sia.

"Siapa yang lebih berkhianat? Kami yang menuntut keadilan atau junjungan kalian yang menyembunyikan dosa yang tak terampuni." Aku tetap menjawab pertanyaan mereka dengan tenang.

"Itu terserah kalian, yang kutahu kalian merencanakan pemberontakan. Sekarang, kau bisa katakan inti dari rencana itu sembari mengharapkan kau diberikan pengampunan." Ia kembali berkata dengan nada menyeramkan yang dibuat-buat. Tidak natural. Membuat semua ini semakin mengglikan.

"Aku tidak tahu." Aku menggeleng.

'Interogasi' yang tidak seperti interogasi itu berjalan panjang. Berputar-putar. Mereka menanyakan hal yang sama berulang-ulang. Metode interogasi yang sangat mirip dengan apa yang kulihat di film-film laga. Terlalu mirip. Terlalu tertebak.

Kedua orang ini mungkin hanyalah bandit kelas teri yang disewa oleh para konspirator di balik kejadian ini. Bahkan bila seseorang punya akses tak terbatas untuk menyewa polisi, risiko menyewanya terlalu besar untuk melakukan tindak kriminal. Pengadilan akan mengendus hal seperti itu dan meringkus pelakunya. Kecuali ia maharaja, ia takkan melakukan kebodohan itu.

Aku tidak tahu seberapa lama kami sudah melakukan 'wawancara' enam mata. Tetapi, melihat mata mereka yang mulai sayu, sepertinya hari sudah lewat tengah malam. Sepertinya, sesi membosankan ini akan segera selesai. Setidaknya, hingga matahari terbit besok.

Malam semakin larut. Mata mereka yang tadinya dipaksakan untuk terbuka dan melanjutkan sesi interogasi omong kosong ini akhirmya menyerah. Mereka pun terlelap. Terkulai bagai dilindas beban kehidupan sebesar galaksi. Tersedot ke lubang hitam.

Komputer mutakhir itu tetap menyala. Entah keajaiban apa yang dapat diciptakan oleh komputer berharga sangat mahal itu. Apakah ia dapat menghidupkan sesuatu layaknya peri-peri di dongeng masa kanak-kanak? Apakah ia dapat menciptakan sesuatu yang tidak mampu dibayangkan oleh semesta dan isinya? Sesuatu yang hanya terbayang oleh sang pencipta? Aku penasaran karenanya.

Suara jangkrik terdengar di ruangan ini. Keheningan malam itu dibelah oleh suara binatang malam yang bersahut-sahutan. Seolah-olah sahut-sahut itu membentuk lagu-lagu yang indah. Lagu yang cocok untuk pengantar ke dunia khayal. Mataku mulai sayu. Tetapi, aku ragu untuk tertidur. Keraguan kehilangan akal membuat mataku yang sayu nan berat kupaksakan untuk terbuka. Sesekali aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Sesekali aku tutup sesaat untuk memikirkan suatu rencana yang bisa kugunakan. Buntu. Meskipun amatiran, rencana ini cukup rapi. Penculikan ini terorganisir.

Malam semakin larut. Berbagai kisah-kisah masa lalu yang kuingat kucoba telusuri lagi. Entah untuk mencari ketenangan atau sekadar untuk mencegah mataku tertutup. Kisah seorang wanita suci yang memilih mati dari pada menyembah kepada Tuhan yang dianggapnya salah perlahan menohok aku tepat di jantung. Aku berpikir, apakah aku sanggup menghadapi cobaan antara hidup dan mati seperti itu. Sanggupkah aku menolak kemungkaran dan mati bersama keyakinanku.

Aku sering meyakinkan diri sendiri, bahkan bersumpah dalam hati bahwa aku akan membela keadilan meski nyawa taruhannya. Orang bijak mungkin akan mencela aku dan berkata, "Kau berkata dusta, Anak muda. Kata-katamu setinggi langit tapi kau pun takut dan hatimu penuh keraguan."

Keraguan, itulah yang membuat aku tertangkap. Itulah yang membuat aku menggagalkan rencana kami demi melihat sesosok dewi yang langsung mendistraksi akal sehatku. Otakku langsung terpencar-pencar ketika aku melihatnya. Gadis itu membuat aku membisu seribu kata setiap kali aku berpapasan wajah dengannya. Sosok pemimpin yang dielu-elukan kampus mendadak menjadi manusia biasa di depan dewi agung itu. Tak berdaya.

Mataku sedang kupejamkan beberapa saat kala pintu berderit. Aku tidak tahu persisnya waktu saat itu. Tapi, aku yakin kalau waktu lebih dekat ke fajar. Pintu kemudian terbuka dan seseorang masuk. Dari jarak lima meter, di ruangan temaram itu hanya bayang-bayang hitam yang tampak. Seperti seorang profesional yang sudah terbiasa menggeranyangi para penjahat, orang itu meraba-raba dua orang yang sudah terlelap dan masuk ke alam mimpi. Di tangannya kemudian sudah ada kunci. Kunci borgol tangaku. Tunggu, apakah ini keajaiban? Entahlah.

Orang itu mendekat. Wajahya ternyata ditutup topeng yang menutup mulut sampai hidung. Orang itu kemudian membuka borgol tangank. Setelahnya, dengan isyarat mata ia kemudian menyuruh aku untuk keluar. Otakku masih belum mencerna semua ini dengan sempurna. Samar-samar elektron-elektron otakku masih mencoba untuk menerjemahkan apa yang terjadi di jelangan fajar ini.

Otakku kemudian mengirimkan sinyal padaku. Salah seorang penjaga itu memang keluar tadi. Aku tidak tahu seberapa lama orang bertubuh tak terlalu kekar dan tinggi itu keluar. Ketika ia kembali, tiga porsi makanan sudah terbawa di tangannya. Ia memberikanku sebuah. Hatiku mencelos. Takut nasi itu beracun. Dan nasi itu kubiarkan hingga dingin. Salah seorang begundal yang berbadan lebih kekar sempat mengejekku, "Ayo makan, Bodoh. Kau tak boleh mati. Kau lihat ini, jika makanan ini beracun, kita akan mati bersama." Kata-kata itu diucapkannya seraya menyantap makanan di hadapan matanya itu. Kuberi ia tatapan yang mengisyaratkan bahwa tanganku terborgol.

Ia menjawab kodeku itu dengan, "Kau bisa langsung menghajar makananmu dengan mulut. Kau itu tawanan, jangan manja!" Panas hatiku mendengar kata-kata orang ini. Untung saja tanganku terbatasi dengan ikatan kuat borgol yang ditempah oleh Sutioso Umar ini.

Aku tahu ukiran Sutioso. Dulu aku pernah ikut seminar peralatan militer karya Sutioso. Kedok lagi-lagi terbongkar. Militer ikut mendukung rencana ajaib ini. Aku merasa sedikit bangga. Keberadaanku di dunia ini tidak diabaikan oleh para manusia. Aku penting.

Beberapa hentakan jantung sebelum mata itu berat, para penjahat penjerat tangan itu menghabisi bagianku dengan jiwa serakah. Bebek kelaparan itu tak mampu berbuat sesuatu. Perutku meronta. Tak berdaya. Menderita. Tertinggallah aku dengan perut meronta-ronta dan otak menyala-nyala. Berpikir cara untuk keluar penjara.

Jikalau beribu kedipan mata sebelumnya otakku berpikir cara untuk kabur, maka dalam kedipan yang sekarang kakiku sedang berlari keluar dari ruangan interogasi 6x6 meter yang temaram dengan komputer mutakhir itu.

Aku keluar dan kudapati hutan belantara dengan pepohonan tinggi dan rimbun mengelilingi aku. Pepohonan itu timbun-menimbun. Seolah aku terjebak dalam sebuah labirin mematikan tanpa jalan keluar. Hingga orang itu datang. Otakku kembali berpikir tenang. Aku tahu tempat ini. Hutan ini adalah hutan yang dahulu kubaca di buku-buku sejarah. Penandatanganan surat perjanjian damai.

Lima belas tahun lalu, perang saudara pecah di hutan ini. Saat itu, pasukan yang dipimpin oleh kapten terbaik di masanya berhasil mengepung musuh. Ruangan temaram tadi adalah tempat ia menahan sekitar 150 orang yang disusun bertumpuk-tumpuk hingga pengap. Orang-orang itu ditinggalkan di tempat itu. Mati kelaparan. Mati kedinginan. Beku.

Mengapa sisi ingatan yang dahulu telah kubaca di buku sampul merah itu baru teringat sekarang? Seharusnya ingatan itu tidak kabur dari tempurung kepalaku. Ingatan itu harus selalu ada, karena itu menjelaskan sebuah pergolakan politik yang binal. Pertempuran yang menggerus sisi kemanusiaan seorang anak Adam. Habis. Kuras.

Memahami dan mengingat kejadian yang merenggut nyawa banyak manusia itu benar-benar terlalu pahit untuk dijadikan souvenir di dalam kepala. Tetapi, kejadian yang membelah negara menjadi dua bagian itu menyimpan kebijaksanaan. Sebuah hal bijaksana yang dapat mengubah pikiran orang-orang mengenai perang, kisah-kisah heroik, ilusi-ilusi kisah kepahlawanan yang tidak nyata. Yang nyata adalah kematian yang terjadi akibat 'heroisme' yang dilebih-lebihkan itu.

Heroku itu berdiri di depanku. Dengan suara berat, ia berkata, "Tuan Muda Sulaiman, sebaiknya Anda kembali ke ibu kota dan bertemu dengan keluarga Anda. Berada di luar tanpa adanya perlindungan akan semakin membuat hidup Anda terancam."

Aku memicingkan mata, tajam, kemudian berkata, "Tunggu! Apakah yang membayarmu untuk membebaskanku itu keluargaku?"

"Anda tidak perlu tahu dari saya, Tuan Muda. Anda akan tahu sendiri nanti." Ucapnya dengan nada berat yang misterius.

"Bagaimana kamu bisa menembus pertahanan ruangan itu? Bukannya ada komputer mutakhir yang masih menyala?" Ekspresi penasaranku sepertinya sangat-sangat aneh dan memalukan. Seolah aku mengabaikan rasa syukur.

Ia kemudian berkata dengan santai, "Tenang, Tuan Muda. Komputer itu sudah tidak bekerja sejak tengah malam. Saya sudah meretas sistem keamanannya. Sebenarnya, saya lah yang mengirimkan nasi kepada kedua interogator palsu itu. Hanya sekian yang bisa saya sampaikan. Suatu saat Anda akan tahu semuanya."

Semburat merah mulai terlihat di langit. Semburat kemalu-maluan itu menyingsing. Keindahan warna merah itu menghias bekas-bekas langit temaram yang berhias jutaan bintang-bintang pudar. Hutan rindang ini bahkan tidak bisa memberikan penampakan keindahan gemintang dengan sempurna. Transformasi dunia telah memenggal kesempatan melihat keindahan dan kesempurnaan semesta secata utuh.

Fajar telah tiba. Waktu ibadah. Bunyi aliran air yang deras dan ramah di cekungan itu menggodaku untuk mendekat. Hutan ini sebenarnya tidak terlalu liar. Beberapa kali, hutan ini disorot sebagai tempat latihan pasukan negara. Ruangan gelap tadi merupakan salah satu kamp. Penyesalanku akan sesuatu yang terlupakan itu kembali muncul. Terkutuk.

Usai meminta beberapa hal yang tidak perlu kusebutkan pada sang Pemilik Jagat, kami melanjutkan perjalanan kami menuju ke pinggiran hutan. Pemburu atau pembebas atau apalah jenis makhluk yang sedang berjalan bersamaku ini benar-benar adalah seorang profesional berjam terbang tinggi. Dari tadi, ia tidak henti-hentinya menimbuni bekas langkah kami dan membuat jebakan arah salah agar arah langkah kami tak terjengkali.

Orang ini benar-benar layak diberikan gelar hero abad ini. Ia mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan seorang antah-berantah yang telah dicap sebagai penggagas pemberontakan. Ia adalah sosok yang mirip dengan banyak tokoh-tokoh pahlawan sejati di masa lalu. Seorang patriot.

Perjalanan itu panjang. Penghujung perjalanan itu pun akhirnya mulai perlihatkan tanda-tanda. Dedaunan rimbun yang kami lewati dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian, kini telah semakin berjarak. Sinar matahari mulai bebas menyengat kulit. Hingga akhirnya, jalan setapak berlumpur itu tampil di hadapan kami. Dengan tiga unit kendaraan ringan di sisi jalanan.

Pandangan itu memberikan sensasi rasa tak terjelaskan. Kulepas dan bebas. Belenggu dan interogasi semu telah lewat. Kini rasa penasaran akan rasa-rasa bermakna ganda akan mendapatkan kejelasan. Menuntut pembalasan. Menyakitkan. Tak berkasihan.



Komentar

Postingan Populer