XVIII: Persidangan

Persidangan

Dunia Badrun runtuh. Langit seakan runtuh menimpa dunia Badrun dan membuatnya hancur berkeping-keping. Ia seolah dihempaskan ke atas tanah keras dari ketinggian ribuan kaki. Anak muda pemimpi itu tertunduk lemah meratapi nasib. Nasib diratap, keadilan semakin menguap. Terbang menuju ketak hinggaan yang tinggal di spektrum ketak mungkinan yang palsu dan penuh ilusi.

Sahabatnya menghilang. Keberadaannya positif nol di atas permukaan dunia. Keadilan yang diperjuangkannya bagaikan bumerang mematikan yang berbalik menyerangnya dengan hantaman beratus-ratus tenaga kuda. Pertahanannya remuk. Kehidupannya redam.

Bagaikan fiksi yang terus-menerus menjejal ke dalam akal, cerita ini tak kunjung memberikan titik terang. Cerita ini begitu dramatis. Tersusun dari berbagai urutan cerita yang tidak begitu jelas muasal dan sebab ceritanya. Dan cerita itu menimpa Badrun. Membuatnya tertahan di spektrum yang tak diinginkan oleh manusia manapun. Terjebak dalam ketidak tahuan yang begitu menyiksa. Membuat luka yang begitu dalam goresannya. Memar.

Ruang jeruji penjara itu dingin. Tubuhnya kaku akibat rasa dingin yang menjalar-jalar ke seluruh bagian tubuh. Pori-porinya serasa tumpat oleh kristal-kristal es yang membekukan udara sekitar. Sesuatu yang dinginnya terasa seperti mencapai minus sepuluh derajat Celcius.

Kali ini ia tidak yakin dengan keselamatannya. Ia pasrah. Berserah tentang akhir cerita ini. Kebusukan dunia membuatnya tak lagi punya hasrat untuk berpikir. Ia sudah mengulum kata terserah.

Badrun memandangi lantai itu dengan tatapan sendu. Ia seperti menunggu putusan yang tak ingin didengar tapi terjatuh padanya. Putusan yang akan menggerus seluruh keadilan. Dunia ini tidak kejam. Dunia ini absurd, itulah kebenarannya. Pikir Badrun. Bicara keadilan? Itu omong kosong. Badrun sudah tidak percaya dengan hal itu.

Menunggu vonis. Badrun seperti terbawa ke alam lain. Memikirkan struktur semesta yang tak lagi terukur. Berbagai kilas-kilas kejadian membuatnya bertafakur. Begitu lama, sehingga ia tidak tahu kapan ia terjatuh ke alam mimpi. Dan terbangun ketika sebuah tangan kasar menggoncangnya. Menyadarkannya kembali.

"Bangun, Berandal! Waktu penghakiman telah tiba! Saatnya kau pertanggung jawabkan pengkhianatanmu!" Suara penjaga ini. Sudah beberapa hari terakhir ia menjaga di depan ruangan jeruji 'Berandalan Liar'.

Julukan itu sungguh memalukan! Badrun dapat merasakan air mukanya mendidih mendapati panggilan itu.

Penjaga itu menggiring Badrun ke ruangan luas yang sudah dipenuhi orang-orang. Badrun tak tahu kejutan seperti apa yang akan menyambutnya di ruangan itu. Ia tak suka menebak. Yang pasti ia dapat merasakan akhir dari kisah ini takkan berjalan baik.

Ia merasakan pandangan mata itu. Tajam menusuk. Menelanjanginya hingga ia merasa teramat berdosa. Ia tak dapat merasakan aura persahabatan di ruangan ini. Semuanya terasa memusuhi. Ia tak seharusnya berada di sini.

Matanya kemudian terbelalak kala menyaksikan keluarganya sudah duduk di kursi tamu. Ia merasa semakin malu. Perasaannya bercampur dengan rasa marah yang luar biasa kepada dunia. Dunia dan isinya beraninya mempermalukannya di depan seluruh keluarganya.

Rasa malu itu membakar. Hingga ia sadar satu hal. Ia seharusnya tidak perlu malu. Ia adalah pejuang keadilan. Orang-orang inilah yang seharusnya malu. Orang-orang yang membuatnya jadi seolah pesakitan gila yang memberontak pada pemerintahan. Pemerintahan lah yang berkhianat. Terlaknat.

Badrun didudukkan di kursi pesakitan. Hatinya bergetar menahan berbagai perasaan yang melumat hati. Membuatnya terasa seperti dibuang ke lubang penderitaan tidak berbatas. Penderitaan yang mengkrisis perasaan dengan begitu janggal. Membuatnya mengerut di atas kursi panas pesakitan itu. Membuat kenangan yang berpilin di otaknya bercampur-baur membentuk suatu hal yang tidak mampu terjelaskan dengan baik. Ia tertunduk menantikan hakim yang akan putuskan nasibnya hari ini.

Sekilas ia kembali melihat ke arah pak tua kepala kampung. Kakeknya yang dulu pernah berkata, "Tak ada gunanya kau sekolah tinggi setinggi langit apabila tak dapat memilah hidup. Hidup itu jalan panjang. Pelajarannya lebih tinggi dibandingkan bangku sekolah." Lelaki tua itu memang kolot. Konservatif kelas akut. Tetapi, ia bijaksana. Itulah yang membuat Badrun begitu mengaguminya. Sungguh.

Badrun memperhatikan wajah tua itu menunduk. Wajah tua yang selalu tegas itu kini mengerut bagai jeruk purut busuk yang telah layu. Ia seperti menunggu waktu kematiannya, pikir Badrun.

Beralih ke sampingnya Badrun melihat ke arah ayahnya. Lelaki gagah ini adalah orang nomor satu yang paling dikaguminya. Berbagai kenangan kembali muncul ke permukaan otak Badrun. Membuatnya mengaduh karena kegaduhan suara-suara menuntut keadilan.

'Aku sudah adil sejak dari pikiran, Tuan.' Balas Badrun tertahan. Ia menyaksikan wajah pria 50-an dengan kumis tebal itu. Wajah itu menatap lurus. Ekspresi wajahnya tak terbaca. Mungkin marah. Malu. Mungkin juga wajah itu bertanya-tanya. Atau bahkan mungkin perasaan itu sudah mati rasa karena perasaan yang terlalu dalam tertusuk. Tanya itu merasuk.

Wanita itu. Wanita mulia yang mengantarkan Badrun ke atas dunia. Ia ingat terakhir kali mereka berbagi sapa. Empat bulan silam. Pesan itu masih terngiang-ngiang dengan jelas, "Kau jangan banyak tingkah, Badrun. Kau cepat tamatkan kuliah kau. Biar kau bisa membantu ayahmu. Jangan banyak-banyak turun di jalan! Nanti kau tertangkap, panjang urusan." Ingatan akan kata-kata itu perlahan membuat Badrun menunduk dalam. Tanpa terasa air matanya jatuh bercucuran. Membentuk genangan air di dekat kakinya. Danau kecil yang melambangkan luka hati.

Terakhir, Badrun melihat kepada Safii, pamannya. Lelaki tiga puluhan itu merupakan orang yang mengajarkan Badrun untuk berani memutuskan sesuatu. Risiko bisa ditanggung nanti. Itulah yang selalu dikatakan Safii padanya.

Sekilas, Safii menganggukkan kepala kepada Badrun. Kemudian memandang Badrun dengan tatapan meyakinkan yang begitu teduh. Semangat yang sempat menguap dengan kecepatan tinggi itu pun kembali terserap. Badrun kembali tenang. Totik fokusnya kembali tumbuh. Otaknya kembali tajam untuk menerima segala putusan tak berkeadilan. Ia siap. Badrun telah kembali.

Seluruh hadirin berdiri kala tiga orang pengadil itu memasuki ruangan. Seorang jaksa yang bertugas menuntut Badrun pun telah duduk lima menit yang lalu di kursinya. Pria tua yang sejak tadi duduk di sebelah kakeknya kini duduk di sebelah kursi Badrun.

Orang itu sejak tadi tidak menyapanya, tapi kini ia malah mengucapkan, "Tuan Nasution, bukan? Saya Muzakki Hasan. Saya ditugaskan untuk membela Tuan di persidangan ini. Apabila Tuan dipersilakan untuk menyampaikan pembelaan, maka..." ia memberikan arahan panjang mengenai susunan kata-kata yang harus kuucapkan nanti. Deretan kata-kata yang pasti terlupa olehku itu hanya kubalas dengan anggukan lemah karena ketidak pedulian akan susunannya. Aku takkan ikuti kata-kata menjilat itu.

Ia kemudian melanjutkan, "Intinya Tuan pasti akan divonis bersalah oleh hakim. Tapi, kita bisa mengurangi hukuman Tuan bahkan membuat Tuan bebas. Syaratnya sederhana. Tuan hanya perlu bekerja-sama. Sekarang coba Tuan lihat keluarga Tuan di sana. Mereka mengharapkan Tuan bebas. Saya bilang bahwa itu sulit. Tuan harus mengorbankan salah seorang pemberontak lain untuk dijadikan kambing hitam. Apa Tuan bersedia?" Keluarga. Teman. Rekan. Pandai sekali orang ini berbicara, batin Badrun. Ia berhasil menggiring nuraninya agar tidak dapat berpikir secara sempurna. Tipuannya sukses membutakan pikiran Badrun hingga tahap yang benar-benar kabur akan logika.

Badrun menjawab, "Saya akan pikirkan."

"Sebaiknya cepat, Tuan. Kita tidak punya waktu banyak." Orang itu kemudian merapikan setelan jasnya dan duduk dengan tenang di sebelah Badrun.

Hakim muda itu membuka persidangan dengan ketukan palu bertenaga. Dengan suara yang penuh dengan kepercayaan diri tingkat tinggi ia berkata, "Selamat datang, Tuan-Nyonya sekalian. Para tamu yang sudah menyempatkan diri untuk hadir di persidangan ini. Sebagai pembukaan saya ingin menjelaskan kasus ini secara singkat. Tuan Badrun Hakim Nasution, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negara Provinsi S. Putra dari Bapak Nasution. Anda dituntut oleh jaksa atas tuduhan terlibat dalam kerusuhan petaka delapan hari yang lalu. Kerusuhan petaka itu sendiri merupakan wujud dari rencana pembelotan atas kedaulatan negara. Sebuah usaha terstruktur untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Dengan ini Tuan Ali Siregar, selaku jaksa penuntut unum menuntut Anda dengan hukuman minimal sepuluh tahun penjara dan maksimal hukuman gantung. Selanjutnya, kepada Tuan dan pihak pembela dipersilakan untuk menyampaikan pembelaannya." Hakim muda itu duduk kembali.

Lelaki paruh baya yang mengaku sebagai pembela Badrun itu berdiri. Ia kemudian berkata dengan nada yang cukup meyakinkan, "Yang Mulia Hakim, Tuan-Nyonya tamu sekalian. Saya berdiri di sini sebagai pembela dari tuan Nasution. Ada miskonsepsi yang begitu terlihat di sini. Tuan Nasution tidak pernah melakukan tindak perencanaan kudeta. Baik secara berdarah maupun secara baik-baik. Kejadian itu murni hanyalah ekspresi masa muda yang menginginkan eksistensi lebih dari dunia. Dalam berbagai jajak pendapat, saya berani menjamin kalau apa yang dituduhkan oleh Tuan Jaksa adalah suatu kekeliruan yang amat dalam. Tapi, Tuan Nasution punya sebuah nama yang dapat dijadikan biang permasalahan. Nama inilah yang sebenarnya merencanakan kudeta. Mengumpulkan ribuan massa dalam prosesnya. Untuk detailnya, Tuan Nasution dapat memberikan nama itu sekarang juga." Pria itu memberikan isyarat pada Badrun untuk berdiri. Badrun ragu. Hatinya menolak tawaran egoistik. Tapi ia ingin Semua ini cepat selesai. Putusannya sudah bulat. Ia akan mengatakan apa yang perlu dikatakan. Salah atau benar.

Badrun berdiri menggenggam pengeras suara dengan gemetar. Lantas berkata, "Hadirin semua. Saya Badrun seorang pengejar mimpi. Setahun lalu, mimpi saya hampir buyar karena terinjak dengan kepentingan sebuah kelompok yang memiliki kekuasaan hampir tak berbatas. Aku lepas. Bebas. Tapi kejadian itu berbekas. Tempiasnya membasahi diri. Membuat diri jadi melebur satu untuk dapat menembus batas tersebut. Menghancurkan ketidak hinggaan yang mengungkung umat manusia. Kepasifan sudah membayangiku dalam setahun terakhir hingga ulah itu kembali memberi tulah."

"Saya ingatkan hadirin sekalian tentang penculikan beberapa jurnalis yang dibungkam dan ditekan independensinya dalam menjalankan tugas mereka. Komplotan mahakuasa ini tidak terima dengan kebenaran yang coba disampaikan oleh kelompok ..."

"Tuan Nasution, Anda diminta unruk menyampaiakn pembelaan. Mohon jangan melebar, Anda membingungkan banyak orang di ruangan ini." Hakim itu memotong ucapanku.

"Lebih baik bingung dari pada tidak tahu, Yang Mulia. Boleh saya lanjutkan?" Hakim itu mengangguk.

"Singkat cerita, saya dan rekan kampus mengadakan penyampaian pendapat di depan istana gubernur. Sang gubernur menyambut dengan keramahan yang terasa janggal. Kami keluar dengan hasil nihil. Usaha kami sia-sia. Gagal. Esoknya, kabar menghilangnya rekan yang 'kebetulan' pemimpin organisasi mencuat dan melebar. Lebarnya kabar itu menimbulkan berbagai spekulasi yang tidak terbayangkan. Di titik inilah kami memutuskan untuk menuntut keadilan. Kali ini kami takkan terbujuk kepura-puraan lagi. Kami akan merangsek, menerjang, dan menyerang demi keadilan. Saat kejadian inilah saya ditangkap oleh aparat. Dan berakhir di sini." Aku berhenti sejenak. Menghela napas. Mengembuskannya.

"Jadi, dengan ini saya menolak segala tuntutan yang diajukan oleh jaksa. Jika penjara memang yang terbaik, saya akan terima itu. Terima kasih." Badrun sudah memutuskan bahwa ia akan mengikuti jejak Yusuf. Sesosok manusia pilihan yang rela dipenjara demi terhindar dari malapetaka yang lebih besar.

"Kamu bodoh, Anak Muda. Kamu menyia-nyiakan kesempatan emasmu untuk bebas." Wajah pembela itu mengeras.

Badrun mengerang. Ia tidak suka ucapan orang tua itu. Ia lantas membalasnya dengan, "Jika Anda memang layak menjadi pembela saya, buktikan! Atau Anda lebih baik keluar dari ruangan sidang ini."

"Saya tidak bekerja untuk Anda. Anda tidak bisa memecat saya." Pengacara itu berkata dengan nada yang terdengar marah. Ia kesal. Merasa kalah?

"Saya tidak butuh Anda dan saya bisa mengatakannya sekarang. Lebih baik Anda saja yang pergi dan menjauh dari hidup saya. Maaf saya tidak butuh bantuan Anda yang palsu dan busuk." Pembela itu kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu. Keluar dari gedung pengadilan itu.

Hari itu berjalan panjang. Pembacaan hasil pemeriksaan penyidik dibacakan secara lengkap. "Berkas palsu" pikir Badrun. Ini semua tidak ada guna.

Waktu berjalan terus. Hakim kemudian berdiri dan berkata, "Hadirin sekalian, ternyata kami tidak dapat memutuskan putusannya sekarang. Tuan Nasution akan diputuskan nasibnya di ibu kota. Di depan Hakim Agung negara. Sidang saya tutup."

Apa lagi ini, Badrun yakin tadi hakim itu sudah yakin dengan hukumannya. Tetapi, usai bisikan dari hakim yang lain, mereka berubah pikiran. Sepertinya mereka mendapat perintah baru. Badrun mengerut dalam pikirannya.

Ia diperbolehkan bertemu keluarganya malam itu. Ia menatap lekat-lekat kepada empat orang yang dihormati dan dicintainya. Matanya memerhatikan ekspresi ayahnya yang mengeras bak pualam yang diukir. Kali ini ibunya sesenggukan. Bergetar. Wanita lima puluhan itu seperti mengerut. Ia terlihat lebih tua dari yang seharusnya.

Apalagi lelaki sepuh yang duduk lemas di sampingnya. Kepala kampung penuh wibawa itu seperti semakin mendekati ajal saja. Wajahnya pucat seperti darah sudah enggan mengalir. Hanya lelaki gagah tenang itu lah yang masih memasang wajah segar-bugar. Punggungnya tegak dan bahunya juga diletakkan dengan baik. Tanda-tanda kehidupan yang tersisa.

Badrun mendekat. Penjaga yang biasa menjaga ruang jerujinya mengawasi sejauh lima meter.

"Mak, hentikan tangismu. Anakmu sedang berjuang, Mak. Anakmu butuh doamu. Jawab lah aku, Mak. Hentikan tangismu." Badrun berlutut mencium lutut ibunya. Wanita itu semakin terisak. Isakannya begitu menyayat. Sampai-sampai otaknya benar-benar mendidih oleh luka yang begitu perih. Ia tertusuk oleh sembilu yang begitu runcing ujungnya. Tipis luka itu, tapi beracun.

"Nak, Badrun. Mamak sudah bilang sama kau. Cepat selesaikan kuliahmu biar kau bisa cari kerja yang bagus. Hentikan kegiatanmu yang semakin hari semakin aneh itu. Kini, setelah begini. Kita mau apa lagi. Kita takkan kuat membiayai kau. Bapakmu sudah diberhentikan oleh kepala distrik kemarin malam. Kakekmu mungkin tak akan diberhentikan. Tapi, kepala distrik sudah mengatakan kalau kakekmu takkan digaji lagi. Dana kampung juga dipotong setengahnya. Kita sudah hancur. Kami berterima kasih atas dedikasimu." Kata-kata wanita mulia itu begitu lembut diucapkan, tetapi begitu tajam secara makna. Menggigil badan Badrun mendengar kata-kata setengah kutukan itu.

"Mak, anakmu mohon ampunanmu. Janganlah kau berikan kata-kata bernada kutukan begitu padaku. Aku tak sanggup, ampun." Kata-kata Badrun hanya berbalas tangisan panjang. Ia pun menyeka air mata yang memilukan. Nasib keluarga ini sudah begitu hancur. Berkeping-keping akibat terjatuh dari ketinggian yang begitu tinggi.

Satu-satunya manusia yang berpikir tenang di situ kemudian angkat bicara, "Jadi kita ikut ke ibu kota? Barangkali di sana kita dapat memberi dukungan moral pada Badrun." Orang itu menawarkan untuk ikut. Paman Safii bukan sekadar peduli padanya. Ia adalah pendukung Badrun yang paling mengerti pemuda itu luar dan dalam. Badrun merasa beruntung memilikinya.

"Aku ikut." Semarah apapun ia, naluri keibuannya membuat wanita itu akan terus berada di sisi putranya. Sesedih apapun ia, hatinya akan tetap ada untuk putranya.

Kata-kata itu menampar pipi Badrun dengan begitu keras. Ia benar-benar tidak dapat berkata apapun lagi. Perasaannya seperti sudah mati rasa. Ia tersedak dengan duga-dugaan yang begitu menyiksa. Dalam hatinya ia berkata, "Yusuf memang bijaksana, tetapi aku akan jadi Nuh yang tak pernah menyerah."

Komentar

Postingan Populer