23

Pengakuan

Stasiun pusat transportasi negara. Dibangun sepuluh tahun lalu oleh arsitek kenamaan asal negeri sendiri yang juga merupakan lulusan terbaik arsitektur di kampusnya. Mahakaryanya yang menyimpan sejuta kata-kata dan momen-momen tak terlupakan.

Stasiun dengan seribu kenangan. Tempat bersejarah bagiku dan bagi hampir seluruh penduduk negeri ini. Di tempat inilah berbagai jenis ekspresi sudah keluar dari para aktor kehidupan. Haru, tangis, tawa, bahagia, hingga kesedihan yang berpilin-pilin. Semuanya sudah pernah tumpah di tempat ini. Di tempat ini jugalah aku melepas seseorang yang teramat berharga bagiku.

Seseorang yang Bersama kepergiannya, kebahagiaan itu ikut pergi mengiringinya. Pudar. Menyisakan rasa benci yang menjalar-jalar. Hingga Aisyah datang mengobati hati. Memberikan ekspresi rasa lama itu kembali. Rasa cinta

Aisyah kini telah tertinggal di belakang. Ia kutinggal bersama Badrun dan keluarganya. Bersama keliarannya. Bersama pertanyaannya.

Berlari aku agar tebebas untuk sesaat dari tatap wajahnya. Mustahli kuterlupa. Mungkin kehadiran Uli akan membuatku kembali berani bertatap mata dengan Aisyah. Mungkin saja. Aku harap. Energi Uli kuharapkan dapat memberikan aku keberanian baru. Uli dengan masa laluku yang dibawanya pulang. Kembali.

Dari jauh perempuan yang sudah lama pergi dari hidupku itu terlihat sedikit berbeda. Ia lebih tinggi dan kurus. Ia mengenakan setelan wanita kantor berwarna pink yang begitu memukau. Setelan yang berbeda dengan Aisyah yang senang mengenakan gaun panjang berwarna pastel. Uli terlihat sempurna. Sempurna sebagai Uli.

Aku menghampirinya. Ketika agak dekat ia kemudian berjalan ke arahku. Setelah jarak kami dua tiga langka, ia kemudian sedikit berlari dan melompat ke pelukku. Pelukan pertama dalam enam tahun. Hangat, tapi tak dibutuhkan. Menyenangkan tapi tak diinginkan.

Enam tahun. Loncatan waktu yang cukup lama untuk membuat kenangan kabur. Jarak waktu yang cukup panjang untuk menyempurnakan kedewasaan. Dulu, kami berpisah sebagai dua remaja yang dijanjikan hidup bersama hingga masa tua. Kini kami kembali bersua sebagai dua orang dewasa yang memiliki masalahnya sendiri.

Janji hidup bersama masa tua itu mungkin masih berlaku, tapi aturannya kini lebih longgar. Kami sudah berjanji agar tidak membatasi satu sama lain. Bila jodoh kami terima. Bila tidak juga kami terima. Perasaan mungkin masih ada tapi bukan lagi dominasi isi hati.

"Kamu makin tinggi ya, Lem. Tapi kamu kurus sekali sekarang. Malahan bajumu terlihat sangat kusam. Kamu diusir atau bagaimana, Lem?" Uli masihlah Uli. Seorang yang memperdulikan sesuatu yang takkan diusik orang lain. Dengan level yang menyebalkan.

"Kamu ini, Li. Bukannya bertanya kabarku. Malah lebih peduli dengan bentuk tubuh dan pakaianku." Aku membalasnya dengan ungkapan tidak terima.

Ia sedikit terkekeh. Kemudian berkata, "Lah, aku tahu kamu pasti sehat. Hanya lebih kumuh. Kalau kamu sakit, aku pasti dikabari. Selama aku enam tahun di negara orang, tak semenit pun kamu membahas kesehatanmu. Apalagi kita sudah lama tak bicara. Sudah berapa lama Lem? Empat tahun? Kamu sudah punya yang lain ya?"

Pertanyaan yang menjebak. Tapi, aku tidak ingin memberikan harapan padanya. Lebih baik kuakhiri saja harapannya. Aku menjawab, "Aku berhenti menghubungimu karena aku ingin kamu cari yang lain. Apa rencanaku berhasil?"

"Aku tanya malah kamu balas dengan pertanyaan juga. Aku masih terbelenggu dengan masa lalu, Lem. Dengan kita." Pengakuaannya menguatkan dugaanku. Ia masih mengharapkanku.

"Oooh, boleh kita bicara di kafe dekat sini saja? Kurang enak jika kita bicara di sini?" Aku bertanya sambil menggiringnya keluar dari ruang tunggu internasional.

Kami memasuki sebuah kafe yang memasang bendera sebuah negara lain dari benua biru. Sebuah negara yang di atas tanahnya berdiri sebuah menara ikon dunia. Negara pemilik kota romantis yang terkenal di kalangan muda-mudi. Sebuah negara penggagas revolusi. Negara yang peradabannya begitu maju.

Usai duduk, pembicaraan kami pun berlanjut. Setelah dekat begini, baru aku sadar bahwa Uli tidak hanya berubah sedikit. Tetapi sangat banyak. Garis wajahnya masih sama. Menyiratkan kekerasan hati yang begitu sulit ditaklukkan. Warna kulitnya lebih cerah karena tempat tinggalnya yang jauh dari wilayah tropis selama enam tahun terakhir. Jikalau dulu rambut panjangnya digerai, kini rambut itu terikat kuncir kuda. Dewasa dan berwibawa.

Wajahnya berhias riasan tipis dengan sentuhan warna senada dengan pakaiannya. Berbeda dengan Uli remaja yang tidak pernah suka menggunakan benda perias kesukaan para wanita itu. Badannya bukan lebih kurus. Ia lebih seksi. Hal itu semakin terlihat dengan setelan kantorannya yang membentuk tubuhnya. Dalam banyak hal, Uli sekarang lebih dewasa dan berbeda. Sepertinya kenanganku dengan Uli remaja takkan terusik. Ia adalah orang yang berbeda.

"Jadi, Lem? Pertanyaaku dijawab dong!" Ucapnya sejurus setelah kami duduk di sofa kulit itu. Ia memilih-milih menu di daftar. Lama. Tetapi, ia akhirnya memesan beberapa jenis makanan ringan.

"Yang soal apa?" Dengan sedikit nada bingung, aku mencoba untuk membelokkan pembicaraan.

"Kan, kamu lupa! Sudah punya pacar belum?" Ia kembali bertanya dengan nada khas yang kurindukan itu. Nadanya kurindukan. Tetapi pertanyaannya membingungkan. Memojokkan.

"Baik. Uli, ketika kita dulu berpisah di stasiun, kita berjanji untuk tidak membatasi satu sama lain. Kita pasrah dengan garis takdir kita masing-masing. Bila kita berjodoh, kita terima. Bila tidak, ya sudah ..." aku menjawab hati-hati. Seakan-akan aku takut satu kataku saja dapat membuatnya terluka. Tersobek hatinya.

"Ya ampun Brian, maafkan aku. Seharusnya aku terima kamu kemarin." Uli menjepitkan tangannya ke mulutnya. "Aku kira kamu takkan punya yang lain, Lem. Aku kira komitmen kita tidak butuh kepastian." Ia bergetar. Menggigil.

Kupeluk dia. Kutenangkan ia dengan berbagai kata-kata yang barangkali sukses untuk menaklukkan hati perempuan. "Li, maafkan aku bila membuatmu kecewa. Aku tidak berniat untuk melanggar komitmen kita Li. Aku hanya tidak ingin kamu terbebani dengan rencana masa depat yang berat. Jika kamu suka, kamu boleh teriaki aku sekarang Li. Aku takkan membalas kamu. Asalkan kamu maafkan aku."

Uli tersenyum, "Seperti lirik lagu saja kamu. Sering didongengin kakek juga dengan lagu kesukaannya itu?"

"Dongeng kita kan sama, Li?" Aku kembali memeluknya. Kemudian kami tertawa. Kami tertawa lepas. Seakan beban perjodohan itu telah lepas.

Pelukan kami terlepas kala seseorang menyapa, "Hai kak Sulaiman. Hai kak Uli ..."

"Salma. Salma Aulia." Uli menyodorkan tangan. Menyapa dengan lembut.

"Aisyah. Aisyah Brata." Sang penyapa juga menyodorkan tangannya. Menyambut uluran tangan itu. Mereka berkenalan.

"Brata? Keluarganya maharaja? Putrinya? Tunggu, maharaja hanya punya satu anak, putra mahkota. Aisyah Brata, putri bungsu tuan perdana menteri, Zakaria Brata. Senang bertemu dengan kamu. Ada apa?" Uli berkata lepas. Mengucapkan nama keluarga itu tanpa beban.

Aisyah sekilas melihat ke arahku. Kemudian tersenyum ke arah Uli. Seraya berkata, "Anda kenal saya ternyata. Saya ada urusan yang belum selesai tadi. Saya ditinggal seseorang di sebuah gedung bersama sederetan orang asing. Dan orang yang meninggalkan saya ternyata pergi menemui mantannya." Aisyah cemburu. Rasa cemburunya lebih kuat dibandingkan rasa lain. Pertanyaanku soal keaslian rasa mungkin telah tertinggal beratus-ratus detik di belakang.

"Tentu saja saya kenal. Anda tahun lalu menang kontes putri kecantikan, bukan? Saya ada di sana. Sedang liputan. Di usia semuda ini, Anda sudah sangat banyak prestasi. Pemuda yang mendapatkan Anda pasti seorang yang sangat beruntung." Uli membalas senyuman Aisyah.

"Sejujurnya, saya lah yang beruntung mendapatkan dia. Dia sama sekali tidak beruntung mendapatkan saya. Mungkin saja dia menyesal. Dan itu wajar. Permisi, saya mau pergi dulu. Dah, kak Sulaiman. Dah kak Salma." Dia hendak berbalik. Tapi, aku kemudian menahan tangannya.

"Aisyah!" Aku tak berkata apapun. Aku hanya memeluknya. Rasa kesalku padanya akibat kenyataan bahwa pertemuan kami merupakan rencana matang sang Raksasa dari Timur hilang. Rasa cintaku mungkin terlalu besar padanya. Membuat semuanya jadi sulit adanya.

"Wow! Lem, jadi ... kamu gila ya ... lepas dari aku, kamu malah dapat titisan surga begini. Kalau begini mah, saya mundur, Lem. Takut bersaing." Kata-kata Uli seperti gelitikan geli yang membuatku hampir terjungkal.

Aisyah kemudian duduk. Kami berbincang di kafe itu hingga tanpa terasa waktu sudah tengah malam. Uli bercerita bahwa ia ditugaskan oleh media tempatnya bekerja untuk meliput situasi di negeri yang katanya sedang panas ini. Menurut kabar yang beredar di sana, dua keluarga penggerak utama negeri ini, Mangkuwirjo dan Brata sedang bersaing ketat di tengah sedang sekaratnya sang maharaja.

Uli ditugaskan karena ia adalah warganegara asli negeri ini. Dan ia seorang Mangkuwirjo. Lagi pula menurut Uli, untuk kabar yang tidak disebarkan di negeri asalnya, kabar itu terllau kompleks untuk tidak disebarkan oleh seseorang dari lingkaran dalam. Aku diam. Tetapi otakku menyimpulkan bahwa seseorang memang sudah memancing Uli untuk pulang. Hal yang akan membuatnya mudah untuk membantai seluruh Mangkuwirjo.

Uli sempat bertanya lewat tatapan mataku apakah aku bisa memercayai seorang Brata ini. Aku hanya bilang bahwa aku percaya padanya. Ia pun kemudian bercerita lebih detail tentang konflik kepentingan kedua keluarga. Kuperhatikan ekspresi Aisyah dengan saksama. Ekspresinya menyiratkan perasaan bersalah.

Tengah malam telah menjelang. Aku menyuruh Uli untuk masuk ke mobil. Menunggu aku sebentar, sementara aku menyelsaikan pembicaraan personal dengan Aisyah.

"Karena kakak tidak pernah menceritakan tentang Uli, aku harap kakak juga bisa terima kalau aku tidak bercerita tentang muasal pertemuan kita. Jadinya impas kan." Ucapnya dengan nada yang sedikit nakal. Ia menggodaku.

"Ya, aku rasa tidak sebanding lah." Balasku dengan tegas.

"Kasus kakak lebih parah. Menyembunyikan mantannya." Bibirnya mengerucut. Membuatku ingin mencumbu merona itu secepat kilat.

"Ya sudahlah. Impas ya." Sekali lagi aku kalah. Sekali lagi aku takluk. Luluh.

"Impas." Ia mengecupku di pipi.

"Kak, tadi, ketika kakak pergi aku suruh Badrun untuk langsung membawa keluarganya ke istana Mangkuwirjo, rumah kakak. Aku berikan ia alamatnya." Ucapnya setelah kecupan itu lepas.

"Terima kasih." Aku membalas mengecupnya di kening. Pipinya memerah.

"Iya, sayang. Bagaimana dengan ajudan kakak itu? Umar?" Rona merah itu telah menghilang ketika ia mengucapkan kalimat itu.

"Umar ada di mobil. Kusuruh tunggu." Aku menjawabnya singkat. Padat.

"Selama itu? Kakak memang tak pernah punya hati." Ekspresinya kembali membuat aku hampir terhempas. Oh Yang Maha Kuasa ... mengapa Kau ciptakan dewi seindah ini.

"Aku sudah tidak punya hati. Kamu sudah mencurinya." Ucapku menahan senyum. Pipinya kembali merona.

Ia terdiam. Bibirnya mengerut. "Kamu merajuk? Umar kubebaskan mau kemana saja. Kamu memang terlihat sangat menggemaskan kalau sedang merajuk seperti ini. Aisyah, lihat mataku. Aku hanya mencintai satu wanita saat ini. Dua ...."

"Dua?" Aku menutup mulutnya perlahan dengan jari telunjukku.

"Kamu dan ibuku." Ucapanku itu perlahan membuat ia merona. "Ngomong-ngomong soal pertanyaan kita masing-masing, itu masih tetap hutang ya? Aku sudah punya jawaban padamu mengenai mengapa aku sangat membenci dunia. Dan aku harap alasanmu jangan lebih buruk dariku."

Setelahnya, kami diam agak lama. Hening. Wajah Aisyah kemudian berubah sendu. Sesuatu tiba-tiba mengganjal hatinya. Ah ...

"Kak, setelah mendengar cerita kak Uli tadi, Uli atau Salma? Aku jadi merasa kalau cinta dan kisah kita hanya akan menyakiti. Menyakiti kita. Menyakiti orang lain. Bahkan semesta. Bagaimana kalau kita jaga jarak saja dulu ya? Jujur, aku kini sadar satu hal. Paman kakak sedari awal sudah menggunakan aku untuk menjadi bumerang bagi keluargaku sendiri." Ia berhenti kemudian memelukku. Air matanya jatuh.

"Kak, aku mungkin membenci ayah dan kakakku. Tapi, aku takkan pernah berkhianat kepada keluarga sendiri. Begitu juga dengan kakak, aku yakin." Aku berpikir agak lama. Aisyah benar. Masalah ini akan pelik bila keluarga kami benar-benar berseteru. Kisah kami akan berakhir seperti kisah-kisah lama yang berakhir pilu. Aku harus mencegahnya. Kami harus mencegahnya.

"Untuk saat ini mungkin itu yang terbaik. Aisyah, berjanjilah padaku. Kita akan menemukan cara untuk menyelesaikan masalah. Ini. Kita takkan berpisah semudah itu. Takkan Aisyah. Takkan." Kutatap matanya dalam. Mata indah berwarna langit itu. Bukti darah asing yang kental.

Malam itu, kami berpelukan sangat lama. Kami juga berciuman begitu lama. Segala kenangan yang entah berapa banyak, singgah di kepalaku. Aisyah dengan seluruh pesonanya. Aisyah dengan seluruh cintaku padanya. Kami berpisah di pelataran stasiun itu. Diterangi cahaya rembulan dan gemintang yang meredup.

Malam itu, kenangan enam tahun bersama Uli kembali terjadi. Bedanya, kali ini tembok pembatas kami bukanlah sekadar ruang dan waktu. Ia adalah ruang tak kasat kasar yang entah bagaimana menembusinya. 

Komentar

Postingan Populer