24

Bukan Manusia Ajaib

Malam itu aku pulang ke rumah keluargaku. Istana Mangkuwirjo. Tempat di mana aku tumbuh dari masa kanak-kanak hingga aku pindah ke timur pada usia tujuh tahun. Aku kembali lagi ke sini pada usia 13 tahun. Memutuskan untuk menjauh selama enam tahun dari tempat ini menuju wilayah barat. Menghilang dari jangkauan keluarga. Mencoba untuk naif dan masa bodoh. Otak sadar bahwa jika keluargaku ingin aku kembali, hanya butuh beberapa kedipan mata bagi mereka untuk dapat menyeretku kembali ke tempat itu.

Perpisahan dengan Aisyah masih memenuhi otak. Pandangan mata sendu itu masih terlihat jelas di mataku. Bagaimana genggaman tangannya melemah. Melepasku menuju kepada kehampaan. Bagaimana gadis semuda itu bisa tegar dengan sebuah perpisahan akibat perseteruan dua golongan yang saling egois.

Dua anak muda yang sedang dimabuk asmara itu dihempaskan ke Bumi. Angan-angan yang telah membumbung tinggi ke angkasa menguap seutuhnya. Rasa hangat yang menjalar tiap kedua jiwa itu dekat kini membeku. Gadis itu. Wanita yang kucinta. Wanita yang mengembalikan aku ke atas tanah. Wanita yang sedikit mengaburkan rasa benciku pada semesta. Wanita yang mengembalikan rasa cinta ke dalam duniaku.

Kini, cinta kami harus terkaing-kaing karena ambisi. Berkeping-keping karena takhta tak abadi. Hancur. Musnah.

Kilat-kilat ambisi yang identik dengan dunia borjuisme telah lama kuhindari. Di usia semuda ini aku hanya ingin berada di atas untuk mendapatkan bantuan dalam perjuangan. Kuhanya mau memimpin orang-orang yang ingin bersama-sama menyumbangkan keadilan bagi semesta. Niatan untuk membangun dinasti turun temurun sudah tak menjadi khayalan. Kehidupan yang sederhana bersama orang-orang tercinta. Itulah yang kudambakan.

Dan mimpi itu hampir putus digeranyangi oleh mimpi-mimpi para pengabur semesta. Perusak dunia. Aku sudah kalah. Kehidupanku sudah tak bermakna.

Gedung megah mahakarya arsitek asal negeri elok di bawah laut sana sudah tampak di mata. Di sebelahku, aku lihat air wajah Uli yang begitu tenang. Mendekati senang. Sekilas, aku tak menemukan kejanggalan di eksoresi itu. Hanya sekadar rasa senang pulang ke rumah pikirku. Tetapi, otakku kemudian tersentil sesuatu. Uli merencanakan kepulangannya. Dan Uli memanipulasi Aisyah.

Aku memasuki pelataran gedung megah peninggalan leluhur itu dengan rasa yang tidak dapat kudeskripsikan dengan baik. Aku hanya membalas kaku sapaan para pekerja yang menyapaku dengan sapaan hormat. Ketika ibuku menyambutku di ruangan tengah dengan pelukan hangatpun aku hanya membalas sekadarnya. Suasana hatiku masih hancur berantakan. Aku merasa tidak punya kewajiban untuk berhangat-hangat. Keluarga ini sudah menghancurkan setengah hidupku. Lalu, mau apa lagi?

Malam itu aku tak banyak bicara lagi. Aku memasuki kamar tidurku dan terlelap hingga pagi. Lelapan malam itu tak sedikitpun menyiratkan bahwa pagi harinya adalah suatu permulaan dari sebuah peristiwa yang amat besar. Sebuah peristiwa pengubah hidup. Sebuah peristiwa sejarah.

.
.
.

Tuan Salim Mangkuwirjo, seorang bekas hakim yang mendirikan istana Mangkuwirjo lima puluh tahun yang silam. Di usianya yang ke empat puluh lima, ia membeli tambang intan yang berada di pedalaman pulau di sisi terluar negara. Tuan Mangkuwirjo, sebelumnya menikah dengan putri pengusaha batu bara terbesar di daratan kepulauan itu. Dari pernikahan mereka, lahirlah Ibrahim Mangkuwirjo, kakekku.

Ibrahim berusia 18 tahun saat istana Mangkuwirjo selesai dibangun. Sepuluh tahun kemudian, ayahnya meninggal. Ia pun menjadi Tuan Mangkuwirjo II. Ia kemudian bersama dengan Tuan Hasan Brata berjuang mempersatukan negara yang pecah sekitar 15 tahun yang lalu. Perang saudara yang berdarah-darah itu semakin marak usai kematian Tuan Brata di tangan lawannya.

Kematian Hasan membuat Ibrahim turut mundur. Putra Ibrahim, Osman Mangkuwirjo yang saat itu berpangkat jenderal mengambil alih kepemimpinan Mangkuwirjo. Ibrahim wafat satu tahun kemudian. Tepat di hari pelantikan. Perayaan kemenangan.

Perang selesai dengan kemenangan mutlak bagi pasukan Mangkuwirjo-Brata. Putra Hasan saat itu, Musa Brata diangkat untuk mengambil alih pemerintahan dan menjadi maharaja. Adiknya, Zakaria diangkat menjadi perdana menteri. Osman, putra Ibrahim Mangkuwirjo, ayahku memegang militer.

Kekuasaan Mangkuwirjo-Brata pada dasarnya setara. Tetapi, konflik kepentingan usai sekaratnya Musa, hal yang tidak disorot oleh media, membuat masalah semakin bertumpuk. Berbagai manuver politik dimainkan dan aku, Aisyah, Uli adalah beberapa faktor pengubah permainan. Sebuah kartu as.

Aku masuk secara tak sengaja. Aisyah terjebak karena cintanya. Uli memanfaatkan keadaan demi ambisinya. Cintanya. Aku sedikit merasakan bahwa cinta Uli padaku kini tak setulus ketika kami remaja. Ia hanya terobsesi. Tak ingin dikalahkan.

Pagi menjelang dengan sambutan matahari yang benderang. Bagaikan dihentakkan kembali ke dunia nyata, aku kembali terbangun. Kemudian terduduk di atas ranjang.

Jalan takdir kembali membuatku berputar di atas tanah wilayah yang kubenci. Kembali masuk ke pusaran spektrum khayal tak hingga. Kembali bergabung dalam lingkaran kekuasaan mahasetan. Masuk ke dalam ilusi kekuasaan berkedok kekentalan darah. Kembali ke dalam dunia yang kucoba ubah peredarannya. Proses kehidupan penegasan kekalahan.

Usai bersiap diri sepagi ini, aku memutuskan untuk berkunjung ke paviliun yang diberikan oleh ibuku kepada keluarga Badrun. Paviliun itu memang terlihat kecil dibandingkan rumah utama. Tapi, paviliiun itu sejuk dan dipenuhi dengan berbagai benda artistik yang surealis kebanyakan.

Tempat yang cocok untuk karakter orang yang membangunnya, Rudi Mangkuwirjo, paman dari ayahku. Seorang seniman aliran abstraktif yang seringkali membuatku kebingungan dengan kiblat seninya. Tujuannya berseni itu aneh. Tak terjelaskan dengan sekadar pengertian nurani.

Tempat yang cocok pula untuk melupakan beban hidup. Tempat yang cocok untuk melepas beban yang mengikat kuat. Untuk merefleksikan diri. Untuk menenangkan jiwa. Demi tetap warasnya diri.

Di ruangan depan, Badrun kulihat sedang membaca buku karya Sofia Mangkuwirjo, nenekku. Ia adalah bekas jurnalis yang beralih menjadi seorang peragawati sebelum mengakhiri hidupnya menjadi seorang penulis hebat.

Sofia Mangkuwirjo, seorang istri dari pahlawan hebat. Seorang yang memiliki imajinasi setinggi langit. Seorang yang inspirasinya takkan berakhir. Seorang idealis semesta yang berakhir menjadi permaisuri Mangkuwirjo. Berakhir menjadi pencetak para pelukis negeri.

Badrun langsung berdiri dan menghormat ala militer kala aku hadir. Gestur yang membuatku merasa geli sendiri. Dalam tata krama jenis apapun yang pernah kupelajari, gaya menghormat seperti itu tidak ada. Alih-alih mengalirkan rasa hormat, gaya menghormat Badrun itu menciptakan rasa canggung, membuat diri ini menanggung perasaan tak tertanggung. Membuat jiwa merasa terangsang untuk terkungkung.

"Hormat saya pada Tuan Muda Mangkuwirjo. Apakah pagi Anda baik?" Badrun menyapaku ala para pelayan yang sudah begitu lama tak meriahi telingaku dengan nada bicara itu.

Usai mengucapkan kata-kata menjengkelkan itu, Badrun kemudian tertawa tak berhenti. Lantas aku pun menghambur padanya. Menerjangnya karena kesal. Ia semakin tertawa.

"Run, kau ini ya. Selalu sanggup membuatku terlihat menyedihkan. Sialan." Terjanganku meleset. Tetapi, kata-kataku tepat sasaran.

"Lem, kau selalu bilang 'Sudah berapa lama kita pahamkan satu sama lain, Badrun.' Nyatanya, kaulah yang tak memberikan aku untuk memahami engkau. Kau menyembunyikan jati dirimu." Tawanya terhenti. Nada suaranya berubah serius.

"Run, aku lakukan semua itu karena aku malu dengan ini semua. Aku begitu membenci semua ini. Ini semua terasa palsu. Kehidupan seperti ini terasa seperti sebuah kehidupan yang tak seharusnya kujalani. Ini semua bagaikan tapak-tapak tanah basah yang menciptakan becek. Tak ingin kupijak Buminya. Tetapi, setelah semua yang kulalui untuk menghindar dari kehidupan ini, aku malah kembali ke sini. Menapaki sisa-sisa kehidupan lamaku. Kembali terjebak di ruang-ruang kosong. Run, apapun yang menurutmu membuatku menyembunyikan hati diriku pada kau dan siapaun. Itu semua bukan karena aku tak inginkan kalian tahu. Tapi karena itu semua tak perlu kalian tahu." Jawabanku panjang. Kalimatku panjang. Tetapi, Badrun tak menyela sedikitpun. Ia memerhatikan. Saksama.

"Aku sudah dapat menduga siapa kau, Lem. Karismamu takkan dimiliki oleh seseorang kecuali ia berdarah dewata. Siapapun takkan sanggup menolak kekuatan pengaruhmu yang teramat mencengkram. Kini, aku tenang Lem. Otakku ternyata tidak tumpul-tumpul amat. Aku berhasil menebak kau. Sejak awal." Badrun terhenti. Kemudian tertawa kembali.

"Ngomong-ngomong Lem. Kau ini ternyata memang seorang pemain wanita ya. Kau sudah punya istri masa depan yang merupakan putri orang terkaya di seluruh negeri. Kau masih saja memacari putri perdana menteri. Jadi, Aisyah bagaimana? Uli juga bagaimana? Kau pilih siapa?" Dasar Badrun sialan. Sang penjejal pertanyaan pengguncang kejiwaan.

"Aku mencintai Aisyah, kau tahu itu. Uli mungkin terikat secara batin denganku. Kami terikat secara emosional. Tetapi, aku yakin Aisyah lah yang akan mengisi masa depanku." Jawabanku takkan pernah membuat orang ini puas. Ia pasti mendebatku.

"Bahkan dengan kondisi kekuarga kalian?" Badrun bertanya. Ekspresinya terlihat seperti orang bertanya pada umumnya.

Deg... jantungku tiba-tiba berhenti berdetak. Kesadaranku memudar. Pertanyaan Badrun kembali mengingatkan aku tentang kekompleksan keadaan yang menyiksa. Rasa kompleks ini makin saat makin menyedihlan saja. Sialan Badrun. Dia ingaatkan aku atas sesuatu yang ingin kulupakan sejenak. Tunggu! Dari mana ia tahu soal Uli?

Seolah tahu isi pikiranku, ia kemudian menunjuk ke belakang. Aku berjalan ke arah dapur dan mendapati Uli sedang memasak bersama ibu Badrun. Mereka sedang mempersiapkan sarapan.

Ketika aku kembali ke ruang depan, kulihat Badrun hanya mengangkat bahunya tanda ia tak tahu. Ia hanya curi dengar dari pembicaraan Uli dan ibunya ketika memasak. Uli benar-benar nekat. Ia kembali tiba-tiba setelah enam tahun. Kemudian, ia mengubah kehidupanku hanya dalam waktu kurang dari 24 jam.

Persiapan sarapan selesai. Ayah dan kakek Badrun sudah berada di meja makan. Paman Badrun masih berada di serambi, sedang membaca berita lewat portal berita otomatis yang ditanam oleh Profesor Rizal delapan tahun lalu. Sebuah alat pengakses berita yang begitu canggih. Penggunanya hanya butuh duduk dan memikirkan kata kunci dalam kepalanya. Maka, berbagai berita akan hadir di kepalanya.

Alat itu canggih, mudah digunakan, tapi sedilit berbahaya. Tak heran bila ketika alat itu pertama kali diluncurkan, gelombang protes mengiringi kelahiran benda ajaib itu. Alasan seperti merusak sel otak menjadi topik utana dicekalnya alat itu. Pembelaan dari Profesor Rizal tentang keamanan alat itulah yang membuat gelombang protes itu erlahan tergerus. Hingga akhirnya hasil uji coba lembaga asal negeri tetangga membuat kabar itu menguap tak berbekas. Tandas.

Alat itu dianggap aman. Meskipun begitu, temuan dari dr. Affandi akhir-akhir ini mengungkapkan bahwa alat itu dapat memengaruhi kinerja otak dalam mencerna sebuah berita. Menurut dokter ahli syaraf itu, alat itu butuh pengkajian ulang. Tetap saja, alat itu tak tersentuh oleh siapapun. Ia tetap berjaya. Memonopoli alat pengakses berita di masyarakat.

Sarapan pagi itu sederhana, tapi menggiurkan. Uli memang seorang seniman sejati di bidang kuliner. Ia adalah seorang perfeksionis yang sulit diimbangi jikalau telah berurusan dengan makanan. Pagi ini saja, ia hanya nemasak nasi goreng dengan telur dadar. Tetapi tampilannya yang tersusun begitu rapi di piring dan perpaduan rasa yang begitu nikmat membuat sarapan sederhana seperti ini benar-benar luar biasa. Hampir sempurna.

Meskipun rasa makanan itu dapat membangkitkan rasa, aku tetap belum bisa memberi kesempatan bagi Uli. Semuanya masih terasa berpendar. Terpencar-pencar. Rasaku pada Uli belum dapat kutemukan jelas. Semuanya abstraktif. Semu.

Setelah selesai sarapan aku kembali duduk di ruang tamu. Uli mendekat. Ia duduk di sampingku kemudian berkata, "Lem kamu kenapa? Dari kemarin kamu terus-terusan diam jika bersamaku." Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Aku terlau malas untuk menanggapi Uli kali ini. Membalasnya membuat dadaku sesak.
"Lem, ada apa? Ngomong lah. Jangan diam-diam begini. Aku bingung, Lem." Matanya terlihat mulai berkaca-kaca. Nada bicaranya bergetar.

"Tak ada yang ingin kukatakan, Li. Sudah ya. Aku lelah." Aku dengan rasa malasku memalingkan muka darinya. Enyah.

"Lem, aku kembali untukmu. Untuk memperbaiki seluruh kesalahan yang kita buat. Seluruh kesalahan yang kubuat. Tapi, kamu malah bersikap dingin seperti ini." Uli mulai tersendat-sendat. Air matanya jatuh.

"Seharusnya kamu tak kembali." Nada suaraku rendah tapi Uli masih dapat mendengarnya. Ia tersentak demi mendengarku.

"Lem, kenapa kamu berkata seperti itu?" Uli menutup mulutnya dengan tangan. Kemudian memunduk. Air asin itu tetap mengalir.

"Seharusnya aku yang bilang seperti itu, Li. Kenapa kamu menceritakan kisah perseteruan tak penting itu kepada Aisyah?" Suara rendahku masih keluar. Uli semakin bergetar.

"Lem, buka matamu! Perseteruan dua keluarga ini benar-benar terjadi Lem. Dan kalian berdua! Kalian adalah katalis berbahaya bagi perseteruan ini. Ayahku menemukan celah dan berhasil menyeret Aisyah masuk ke kehidupanmu. Ayahku ingin membuat Aisyah menarikmu kembali ke keluargamu. Demi menyamakan status. Ia gagal tapi tujuannya berhasil. Kau akhirnya kembali ke sini mungkin bukan karena inginmu menyamakan status. Tapi karena dampak hubungan kalian yang kalian pikir begitu manis. Aku mencintaimu, Lem. Tetapi aku takkan menghancurkan kebahagiaanmu demi diriku. Apakah kamu tahu dia seorang Brata?" Uli menyeka air matanya. Ucapan yang diucapkannya dengan ekspresi sedih dan kecewa itu membuat aku merasa bersalah. Aku sudah menuduhnya. Menyudutkannya dengan tuduhan-tuduhan buta.

"Iya, Aisyah memberitahuku di hari pengungkapan rasa kami." Aku mengucapkannya. Nada suaraku masih rendah. Emosi suaraku semakin menghilang.

"Dan dia tahu kamu seorang Mangkuwirjo. Kalian memang sedang bermain dengan maut. Apa Aisyahmu itu begitu naif sampai ia tutup mata dengan ini semua?" Ia terkekeh pelan. Tertawa sinis. Aku merasa tersinggung. Rasa bersalahku yang tadi sudah sempat muncul hilang begitu saja.

"Ia tak tahu itu semua, Li. Yang ia tahu, ayahku dan ayahnya hidup damai sebagai dua orang tokoh terhebat di negeri ini. Ia tahu kondisi maharaja. Tetapi, spektrum kehidupannya bukan tentang perebutan kuasa. Ia hidup dalam rasa sesal dan benci sejak ibunya mati dan ayahmya menikah lagi. Kehidupannya membaik setelah kehadiranku. Dan kamu merusaknya!" Nada suaraku meninggi ujung. Lagi-lagi Uli terkejut. Kali ini, benar-benar terkejut. Aku dapat melihat ekspresi wajahnya langsung berubah drastis. Tak terjelaskan. Kompleks.

"Ini adalah kali pertama kamu meninggikan suaramu kepadamu, Lem. Dan hal ini mmebuatku tersadar. Kamu sangat mencintai Aisyah. Terima kasih sudah hidup bahagia tanpaku, Lem. Siang ini aku ingin ke timur. Aku ingin bertatap muka dan berbagi keluh kesah dengan orang tuaku. Antar aku ke stasiun ya. Mungkin kali ini perpisahan kita akan abadi. Selamat tinggal, Lem." Uli kemudian berjalan kembali ke rumah utama. Aku hanya terbengong. Terdiam. Tak dapat mengucapkan satu kalimatpun.

Badrun datang dan menepuk bahuku. Ia duduk di sampingku. Duduk. Dekat tapi seolah tak ada. Ada tapi seolah tak punya makna. Hanya numpang hidup. Hanya numpang bernapas.

Perlaluan waktu yang berlalu lalang di sepersekian detik itu tak dapat memberikan ilham baru kepada kami. Hingga akhirnya kebuntuan itu memberikan aku sebuah sinaran. Sebuah ide yang selama ini selalu kuhindari. Sekilas kulihat wajah Badrun. Ia tidak mengerti apa yang kupikirkan.

"Run, kau tahu apa yang barusan lewat di kepalaku?" Aku menegakkan punggung. Kemudian berkata dengan nada seperti mendapatkan wahyu langit.

"Maksudmu?" Dengan wajah kebingungan setengah mati, Badrun bertanya.

"Selama ini kita disusupi, Run. Dimata-matai." Aku tidak tahu dari mana pikiran itu berasal. Tetapi, otakku tiba-tiba saja menyusun algoritma yang kemudian membuatku menyimpulkan hal ini.

"Dari mana kau tahu?" Badrun kembali bertanya. Wajahnya terlihat semakin bingung.

"Masih sebuah hipotesis. Pikiran ini terlintas begitu saja ketika kita berdiam-diaman tadi. Begini, dua kali rencana konfrontasi kepada gubernur gagal. Yang pertama aku yang pimpin dan yang kedua kau yang pimpin setelah aku diculik. Keduanya dihempas seolah ada yang membocorkan rahasianya. Hal ini semakin jelas bila kita bandingkan dengan rencana di ibu kota. Rencana pertemuan di rumah pertemuan tak terendus oleh siapapun. Dan juga perjalananku ke timur. Dan juga rencana kau dibawa ke rumah Mangkuwirjo. Semuanya mulus terkendali. Tak terdistraksi." Aku menjelaskan dengan nada suara yakin. Meski masih hipotesis, entah mengapa aku merasa percaya diri dengan hal ini.

"Maksudmu Lem. Kau mencurigai seseorang yang verada dekat dengan kita." Badrun akhirnya mengerti. Ia terlihat mengangguk-angguk.

"Seseorang yang tahu luar dalam rencana kita." Aku menekankan kalimatku. Mencoba untuk mempersempit daftar orangnya.

"Ada nama?" Badrun terlihat semakin tertarik. Punggungnya sudah ia tegakkan.

"Aku tak yakin. Tapi sepertinya ada." Nama itu terlintas. Entah mengapa. Seperti bisikan dari langit.

"Rencanamu sekarang?" Badrun semakin intens. Sekarang wajahnya sudah berubah serius.

"Entahlah. Aku terbuntu pada dua orang. Ayahku dan Raksasa dari Timur." Kataku lemah. Aku bimbang dengan kenyataan ini. Kenyataan yang kurang menyenangkan.

Kulihat Badrun melihatku prihatin. Kemudian, "Raksasa dari Timur berada jauh, Lem. Mungkin ini saatnya kau berbicara dengan ayahmu."

Aku tidak suka dengan ide itu. Aku membantah, "Aku membencinya, Run."

"Karena apa?" Badrun mengucapkannya. Nada seriusnya kini semakin terasa. Aku jadi sulit menghindar.

"Sudahlah. Kau sendiri tak tahu bagaimana rasa benciku." Aku mencoba untuk mengalihkan topik. Mencoba untuk menghindari sebuah ide yang pasti kubenci.

"Tapi aku tahu kau, Lem. Kau harus mencobanya dan kini kau membutuhkannya." Suara Badrun merendah. Ia menatap mataku. Mencoba membujukku lewat tatap. Aku menghela napas.

Otakku yang beku dengan benci kemudian memikirkan semuanya. Semuanya seperti memberatkan kepalaku. Keraguan dan bisikan keyakinan silih berganti singgah. Memberikan rasa nyaman. Memberikan rasa tak nyaman. Pertaliannya sulit dijelaskan. Hingga akhirnya ....

"Kau yakin, Run?" Keraguan itu pudar. Tetapi, tetap ada. Kebimbangan itu tak terelakkan.

"Tidak. Tapi aku yakin kau yakin." Kata-kata yakin Badrun bekerja seperti jimat. Keyakinan itu akhirnya membuat keraguanku bubar.

Enam tahun sudah aku mencoba untuk mengabaikan ide itu. Enam tahun yang panjang dan gelap. Enam tahun aku mencoba untuk menghindar dari pikiran untuk berdialog. Hingga pagi ini.

Hatiku memang menyoroti kekeras kepalaanku. Ia mendukung aku untuk menemui ayahku. Barangkali aku dapat menemukan sesuatu darinya. Bisiknya. Dan barangkali aku dapat memberikan maaf untuknya setelah berbicara. Dan Badrun. Dan Badrun.

Terlintas pula kata-kata sang Raksasa dari Timur. "Ayahmu itu mencintaimu dan akan melakukan segalanya untukmu. Jangan salah persepsi, Lem. Jangan salah sangka."

Aki berjalan menuju rumah utama. Di tengah oerjalanan, ibuku menghampiri aku dan bertanya, "Uli, nak. Dia kenapa? Masuk rumah langsung menangis sesenggukan. Kalian berantam?"

Aku kemudian memeluk ibuku dan menjawab pertanyaannya, "Urusan anak muda, Bu. Ayah ada?"

Ibuku tersenyum mendapati aku bertanya tentang seseorang yang sudah lama tak kupedulikan. "Ada. Di ruang kerjanya. Pesan ibu hanya satu, nak. Kamu jangan sampai jadi pembunuh ayahmu."

Aku berjalan menuju ke ruangan itu. Menuju ke sesuatu yang teramat sulit untuk kutembus. Melewati berbagai spektrum yang teramat asing. Membentur berbagai batas-batas tak kasat kasar yang menjengkelkan. Aku berjalan menuju ke tak terhinggaan. Perlahan. Perlahan.

Komentar

Postingan Populer