25

Maaf

Ketika aku kecil, seringkali aku menghabiskan waktu dengan ayah di taman dekat pendopo. Pada saat itu, ayah adalah orang paling kukagumi di dunia ini. Aku menghabiskan waktu yang lama mengagumi seorang jenderal yang teramat tangguh di medan laga tetapi begitu lembut dengan keluarganya. Ia mempunyai satu prinsip yang sangat kusuka. 'Pada ujungnya, keluarga adalah tempat terakhir yang akan melindungimu sampai mati.'

Sebuah insiden enam tahun silam memang membuatku membencinya setengah mati. Aku tak pernah bisa memudarkan rasa itu di hatiku. Rasa kecewa yang teramat dalam hingga membuatku mengaburkan rasa kabur.

Berbagai hal sudah kulakukan untuk mengembalikan rasa itu. Hingga dua hal membuat aku dapat membukakan pintu kedewasaan untul dapat memasuki alam bawah sadar ayahku. Dua kejadian yang membuka mataku untuk mencoba memaaafkan.

Dua kejadian dua orang yang berperan besar. Pembicaraan bersama Raksasa dari Timur dan pertanyaan Aisyah. Kejadian yang memanggil ngatan-ingatan masa lalu itu memberikan aku suatu simpulan. Aku belum tahu alasan ayahku melakukannya. Aku terlalu egois menuntut dan membenarkan egoku. Mungkin saat itu aku terlalu muda untuk mau berbicara dari hati ke hati.

Saat itu, aku hanya mampu membenci. Aku hanya mampu membakar. Hingga akhirnya, Pertemuan dengan Aisyah dan perjalanan tragis cinta kami mengajarkan aku satu hal. Seharusnya aku harus memberikan kesempatan bagi semua orang. Termasuk ayahku. Dan kali ini, aku sedang menuju ke arah pemberian kesempatan itu. Setelah enam tahun. Setelah semuanya.

Pintu yang terbuat dari kayu mahal itu terasa begitu tegak dala membatasi jarakku dan ayah. Pintu itu terasa terlalu menakutkan untuk dilewati. Seolah-olah apabila langkah telah melewati pintu itu, seluruh napas akan terjegat dan berhenti berembus. Rasa takut itu bercampur dengan rasa takut lain di hati. Suatu rasa tak dapat membendung kemarahan yang tersimpan selama bertahun-tahun.

Penjaga yang menjaga di depan pintu hanya diam, membeku seperti tak ingin tahu menahu dengan urusan sekitar. Isi kepala mereka tak tertebak. Tatapan mata mereka seolah kosong melompong. Mereka melihat menuju ke tak terhinggaan. Menuju ke sesuatu yang tak terukur dengan kata-kata. Mereka tetap membeku ketika akhirnya tanganku mendorong pintu besar itu.

Ruangan yang dulu sering kukunjungi ketika aku kecil itu tak berubah dari yang kuingat. Beragam perabotan yang mengisinya masih banyak yang tak berganti. Meja kerja yang telah ada sejak zaman kakek buyut itu masih tetap berjaga. Ia membentuk keagungan sendiri bagi ruangan pusat kekuasaan Mangkuwirjo ini. Ruangan itu berwarna putih. Megah ia dengan kesederhanaannya. Megah ia dengan lukisan Tuan Slaim Mangkuwirjo di belakang meja kerja. Sebuah lukisan karya pelukis kampung empat puluh tahun. Karya anak kampung. Tapi terasa agung.

Pria setengah baya itu terlihat agung. Seorang jenderal berusia pertengahan lima puluhan yang masih terlihat gagah di usia yang mendekati senja. Lima belas tahun silam, ia memimpin pasukan khusus militer untuk memadamkan perang panjang yang begitu memakan banyak nyawa.

Seorang panglima gagah berani yang telah memegang jabatan panglima utama negara selama lima belas tahun. Orang ini adalah yang dulu pernah kukagumi. Seorang luar biasa yang kupikir merupakan inspirasi terbesarku. Seorang sumber utama dukungan yang mampu pukau aku dengan kata-kata mujarabnya. Sesuatu yang seharusnya tak pernah berubah. Tetapi suatu kejadian tak terjelaskan membuat rasa itu berubah. Berubah ia karena rasa egois masa remaja yang tak mampu memilah.

Lelaki paruh baya ini melihat ke arahku ketika kuberjalan menghampirinya. Ia melihat dengan tatap mata datar yang menjadi ciri khasnya. Ketika aku telah berjarak dua meter darinya, ia kemudian menyapa dengan suara berat yang semakin berat akhir-akhir ini. "Tuan Muda Sulaiman Mangkuwirjo? Selamat datang, Tuan. Saya Jenderal Osman Mangkuwirjo. Apakah Tuan Muda sehat? Lama tidak bersua dengan Tuan. Barangkali Tuan sudah lupa dengan orang tua ini. Sungguh, kegagahan Tuan mengingatkan saya dengan masa muda. Silakan duduk." Aku duduk. Bagaimanapun pengaruh kata-katanya masih sangat mujarab dalam mengendalikan sekitar.

"Ayah! Aku datang untuk berdamai dengan masa lalu. Rasa canggung ini mungkin akan selalu tercipta di antara kita. Aku tak ingin itu berubah. Tepi, bukankah kita selalu mencoba untuk ingatkan hati satu sama lain? Rasa canggung akan cair oleh kehangatan cinta dan panasnya bara asmara." Aku menatap wajahnya dengan lamat. Ia membalas tatapan wajahku. Ekpresinya masih tak berubah.

"Orang tua ini tak oernah diperlukan untuk memberikan pendapatnya bagi Tuan Muda, bukan? Tuan Muda lah yang menghilangkan kehangatan itu. Bukan orang tua ini. Rasa hangat itu takkan pernah bisa hila g. Tapi rasa hangat itu takkan pernah sama lagi. Ia sudah mendingin dalam enam tahun. Energinya sudah banyak terlepas. Rasanya sudah basi. Jadi kini mau apa lagi?" Ucapannya seperti ceramah kekecewaan yang panjang. Kelam.

"Orang tua itu mungkin merasa pendapatnya tak berlaku. Tapi ketahuilah, sesungguhnya yang menyedihkan itu bukanlah ketidak berlakukan pendapat. Tetapi rasa cinta yang semakin tergerus oleh rasa bersalah akibat pertanyaan-pertanyaan tak berjawab. Sesuatu yang terngiang-ngiang terus menerus dalam pukulan purnama yang tak pernah sebenderang ketika pertanyaan itu belum singgah di alam bawah sadar. Kini, anak muda ini akan menjawab pertanyaan itu dan orang tua itu juga harus menjawab pertanyaan anak muda ini." Aku tak pernah sepercaya diri ini dalam hidupku. Aku tidak tahu, dari mana semangat ini datang. Aku dapat merasakan sebuah sensasi rasa tenang yang memeluk hati.

Sang jenderal kemudian melihat mataku dalam-dalam. Aku membalas melihat matanya dan di sinilah aku safar betapa kosong tatapan mata itu. Tatapan mata yang kuingat begitu tegas itu kini hampa. Gairahnya menguap entah ke mana.

Tatapan itu tak berhasrat. Menyiratkan duka yang begitu terasa. Ia berduka entah karena aapa. Persaingan ini mungkin telah menggerus otaknya hingga kerontang. Dan ia kehilangan orang yang sering membantunya berbagi pikiran. Aku.

Ia kemudian menghela napas. Lantas berkata, "Lem, ayahmu ini tak pernah tahu isi kepalamu. Dulu kau pergi begitu saja dengan alasan ingin mencoba kehidupan mandiri. Kau menghilang bagaikan tak ingin terjejak. Ingin rasanya, ayahmu ini membawamu pulang dan menuntut o
Pertanggung jawabanmu kepada semesta. Tetapi, rasa yakin padamu bahwa kau dapat jinakkan dunia memberikan sebuah keringanan bagi hati untuk dapat melepaskanmu. Rasa bingung itu kubiarkan mengungkung dalam otak. Membebaniku hingga berbagai keputusan buruk terucap di ujung lidahku. Perseteruan panjang ini pecah karena emosiku yang tak terkendali, Lem. Kini, di tengah kerusuhan ini kau kembali hadir di sini. Bukan sebagai putraku. Tetapi, kau hadir sebagai pengeruh suasana dengan cintamu dengan seorang putri Brata. Aku punya satu pertanyaan padamu. Mengapa?"

Pandangan mataku belum lepas darinya. Pertanyaan itu kemudian kujawab dengan, "Mengapa, sebuah pertanyaan yang sederhana tetapi menyimpan banyak makna dan membutuhkan pemaknaan tingkat mendalam untuk dapat menjawabnya. Jawabanku untuk pertanyaan sederhana ini juga begitu sederhana. Rasa kecewa. Itu saja." Aku berhenti. Mencoba untuk membaca pikiran itu.

Pikiran itu masih kosong. Aku kemudian melanjutkan, "Apakah ayah ingat ketika Tuan Kepala Sekolahku ditangkap kemudian diadili karena kasus korupsinya yang berceceran itu?" Ia sedikit ragu, kemudian mengangguk. "Pihak media tidak pernah melakukan investigasi. Kami lah yang melakukannya. Dan tebak, nama teratas yang kedapatan di situ adalah namamu ayah. Namamu. Aku membencimu sejak saat itu." Aku sedikit terkekeh lemah. Menertawakan takdir.

"Ego masa remajaku mencegahku untuk menanyakan kebenarannya padamu. Dan aku menolak segala bentuk kemewahan sejak saat itu. Setelah berpuluh purnama, benciku kemudian tergerus saat aku bertemu dengan putri Brata itu. Ia mengubahku. Meskipun kuakui, pertemuan dengannya tidak lantas mendewasakanku. Segala kejadian selanjutnya lah yang membuka hatiku. Pertemuan dengan paman terutama. Ia membuatku penasaran dengan jawabanmu. Akhirnya, di sinilah aku berada. Duduk di hadaoanmu. Mencoba untuk menghilangkan segala kerenggangan yang tercipta karena rasa abstrak yabg terlukis di luar kesadaran otak. Mencoba untuk melupakan kejadian yang terjadi karena rasa egois masa remaja yang menggelapkan. Jadi, apa jawaban ayah?" Ucapan panjangku terasa seperti pidato yang membuat melayang. Entah berisi. Entah tidak. Tapi, ucapan panjang itu membuat tenang. Membisikkan perasaan gemilang.

Ia menyeringai. Kemudian tertawa getir. Kemudian tertawa sinis. Dan berkata, "Kau mengingkan sebuah pembelaan. Aku tidak punya itu. Tetapi, aku ingin beri tahu kau satu hal. Yang kuberikan pada sekolahmu itu pada dasarnya bukankah suap. Itu hadiah karena mereka telah memperlakukan kau dengan baik. Aku mencintai mereka, Lem. Guru-gurumu itu sangat mencintai kau. Bagaimana aku dapat mengabaikan kehadiran mereka." Tawanya berhenti. Nada suaranya serius.

"Tapi, momen pemberian hadiahku ternyata salah. Kau saat itu sedang bertarung untuk pemilihan ketua organisasi internal sekolah. Ketika aku memberikannya pada kepala sekolah, aku hanya berkata singkat 'Bapak tahu ini apa dan bagaimana selanjutnya.' Aku tak pernah tahu bahwa kepala sekolahmu ternyata bajingan tengik yang cuma memanfaatkan kekuasaannya untuk mengeruk kantung siswanya. Asal kau tahu, Lem. Aku bukan bajingan terkutuk yang membeli kekuasaan dengan uang. Aku mungkin seharusnya bersyukur, kejadian itu membuat kau yakin dengan pilihan yang kau buat. Tapi, aku juga sedikit merasa tertampar. Kau putuskan hubungan denganku karena gesturku yang berlebihan dalam bersyukur." Setelah ucapannya berhenti, a berdiri. Mengambil dua botol susu segar dari lemari pendingin.

Aku terkejut dengan cerita panjang itu. Ternyata selama ini aku memutuskan untuk menghilang dari kehidupan keluargaku hanya karena rasa gengsi sesaat yang seharusnya tak perlu keluar. Enam tahun adalah waktu yang begitu lama. Jarak waktunya punya banyak celah untuk dapat menciptakan sesuatu yang berguna dalam memperbaiki dunia. Dan aku menggunakannya untuk menjauh dari keluargaku. Untuk membenci.

Enam tahun ini mungkin terasa bodoh. Tetapi, berbagai makna sudah kureguk dalam enam tahun ini. Sekarang, bila enam tahunku kuakui kusesali aku telah berkata bohong. Aku tak sesali enam tahun ini. Tidak sama sekali. Aku malah bersyukur dipertemukan dengan Aisyah.

Enam tahun yang begitu kompleks spektrumnya. Begitu tersebar. Membentuk kekompleksan garis waktu yang begitu terpendam misterinya.

"Jadi, ayah ingin katakan kalau ayah 'hanya' memberikan hadiah tanpa mengharapkan apapun? Aku tidak tahu harus berkata apa. Mungkin kata maaf takkan bisa kembalikan waktu enam tahun kita. Tapi, hubungan kita takkan putus hanya karena absennya kata maaf bukan?" Aku mengatakan itu dengan perasaan yang penuh dengan rasa bersalah. Pengungkapan ini benar-benar membuatku menganga. Aku terkejut dengan bagaimana cerita ini bisa menjadi kusut seperti ini.

"Apakah kata maaf itu mesti diucapkan? Bila iya, aku tak sanggup mengucapkannya. Tapi, bila cara pengungkapan maafnya lebih luas caranya, aku takkan ragu untuk membantumu. Sekarang, kau kujur padaku tentang tujuanmu menemui aku. Kau pasti menginginkan sesuatu dariku. Inginkan suatu pendapat?" Sang jenderal mencoba menebak. Dan tebakannya tepat.

"Begini ayah, aku tidak tahu dan mengapa pada akhirnya aku kembali ke tempat ini. Kini bahkan aku membukakan hati untuk berbicara denganmu. Sedikit titik terang sudah kudapati dengan tahu bahwa pamanlah yang membukakan jalan bagiku untuk berkenalan dengan Aisyah. Tetapi, di antara semua hal membingungkan ini, aku punya satu hal yang mengganjal. Aku mencurigai adanya mata-mata yang membocrkan berbagai hal yang kami lakukan. Aku mencurigai adanya mata-mata." Aku menjelaskan kecurigaanku itu padanya. Ia tetap tenang. Menyimak kata-kataku.

Iya berdehem. Kemudian berkata, "Mengapa kau tiba-tiba merasa kau disusupi pikiran ini?"

"Pikiran itu datang pagi ini. Keheningan dengan Badrun di paviliun tadi seakan memberikan aku ilham. Keheningan itu membuatku berpikir dan memutar berbagai kejadian yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Dan otakku menemukan beberapa simpulan: Semua rencana di kota tempatku kuliah, bocor. Sedangkan rencana yang disusun di sini, tidak satupun yang bocor. Memang ada perubahan tiba-tiba. Tetapi, tidak bocor." Penjelasanku sepertinya memancing rasa penasarannya secara sempurna. Kini ia sudah meluruskan punggungnya.

"Ada foto orang-orang terdekatmu?" Kata-kata itu keluar sembari ia mengotak-atik komputer mutakhirnya. Mengetikkan beberapa baris kata.

"Ada, Ayah." Aku kemudian memberikan foto itu kepadan. Ia meletakkan alat itu di benda pemindai otomatis yang dipasang di komputer mutakhirnya. Sejurus kemudian, tampaklah sederetan data yang disertai dengan tampilkan sebuah wajah lelaki berkaca mata yang mirip dengan ... Aziz.

"Dr. Aziz Muhyiddin, ilmuwan termuda di Laboratorium Teknologi Pusat. Seorang ilmuwan muda yang misterius. Tidak banyak bicara tapi jenius. Empat tahun lalu, dikirimkan ke kota di barat untuk bekerja dengan Gubernur Kolonel Ali Brata. Itu mata-matamu. Terasa familiar?" Ia membacakan ringkasan data itu padaku. Aku terdiam. Terkejut dengan bagaimana hal ini bisa terjadi. Aziz?

"Aziz. Seorang yang kupercayakan sebagai kepala riset kami. Sialan Aziz. Pantas saja ia tahu seluruh persenjataan pihak gubernur kolonel. Kalau begitu, mungkin informasi sudut-sudut yang diceritakannya padaku itu sebenarnya palsu. Aku harus memastikannya." Aku langsung mengambil alat komunikasi nirkabelku kemudian menekan beberapa nomor kode akses dan menghubungi Akbar. Tak dijawab.

"Rekan-rekanmu di kampus ditangkap, Lem. Seluruh wajah mereka teridentifikasi. Baik yang bergabung di penyampaian pendapat yang kau pimpin maupun kerusuhan petaka yang dipimpin temanmu itu. Mereka semua ditangkap. Di jebloskan ke penjara. Kabar ini disembunyikan rapat. Tak ada pers yang meliput. Aku tahu karena akses tak berbatasku." Kabar terbaru ini memberikan bumbu pedas bagiku. Perasaan marahku kini semakin kuat. Keinginan kuat untuk menghajar musuh kemudian menggelapkan hatiku. Membuatku ingin bereaksi keras. Ingin melepas amarah dengan satu dua bogem ke muka sang gubernur kolonel.

Aku kemudian terdiam sejenak. Kemudian rasa yakin itu datang. Rasa menerima takdir itu tiba. Aku kemudian berkata, "Ayah, aku siap. Aku mau kita mengadakan konferensi pers pengumuman bahwa aku siap menjadi pewaris Mangkuwirjo. Peduli setan dengan musuh-musuh keluarga itu. Aku siap memimpin pasukan ke medan terbuka apabila diperlukan.

Ayah hanya tersenyum. Kali ini, ia benar-benar tersenyum seperti yang kuingat ia enam tahun lalu. Tatapan mata kosong akibat enam tahun yang aneh itu langsung berisi. Mata itu kini berisi harapan. Bercahaya.

Setelah enam tahun yang tak sanggup kususun satu-persatu ceritanya. Kini, hubungan keruh tanpa kedewasaan itu telah berlalu. Rasa derita itu telah terbang melayang entah menuju ke mana. Berganti rasa tenang. Berganti rasa cinta. Meskipun bila tragedi kemarin kembali terlintas, hati masih tetap merasa panas.

Usai enam tahun itu, di sinilah aku kini berdiri. Siap menyongsong garis takdir. Aku Sulaiman Mangkuwirjo.

.
.
.

Konferensi pers itu ramai. Berbagai media menyorot momen sakral yang sudah lama dinanti-nantikan keluargaku. Aku kembali menjadi Sulaiman Mangkuwirjo. Suka atau tidak, aku telah menerima takdirku. Aku akan memimpin Mangkuwirjo menjadi pembasmi ketidak adilan. Kini. Nanti. Selamanya.

Uli menghampiriku usai pidato panjangku. Ia mengenakan gaun berwarna hijau yang begitu indah membentuk badannya. Uli adalah wanita yang sangat cantik. Setiap lelaki pasti akan jatuh ke pelukan Uli. Sayang saja ia kembali usai aku telah bertemu dengan seorang dewi penawan hati. Hatiku telah tercengkram kuat oleh tangan lembut dewi itu. Uli terlambat.

"Lem, seperti kukatakan tadi pagi, hari ini aku akan pulang ke timur. Aku ingin bertemu dengan ayahku. Karena kamu sedang sibuk, mungkin supir saja yang mengantar aku ke stasiun. Pesanku hanya satu Lem, yakin dengan yang kamu pilih, selalu. Sampai jumpa." Kata-katanya getir. Nada suaranya datar. Kesedihannya terpancar.

Setelah berkata dengan nada datar itu, ia berbalik untuk meninggalkanku. Tetapi, aku kemudian menahan tangannya. Lantas memeluknya. Ia kemudian menangis di pelukanku.

"Maaf, Li. Maaf atas semua ketidak adilan yang kutimpakan padamu. Maaf atas pertemuan dengan Aisyah. Maaf atas segalanya. Dan sekarang, permohonan maafku akan kulengkapi dengan mengantarmu ke stasiun. Mari!" Aku kemudian menuju ke garasi. Sebelumnya, aku kirimkan pesan suara ke Badrun untuk turut menyertai aku. Selama konferensi tadi, ia ditugaskan untuk mengomandoi para pelayan.

Baja melayang kesukaan ibu itu kupilih untuk mengantar Uli. Umar seperti biasa sudah ada di kendaraan itu. Cara kerja manusia satu ini memang seringkali membingungkanku. Badrun pun datang beberapa menit kemudian. Masih dengan seragam kepala pelayannya. Usai mengeluhkan betapa rumitnya hidup seperti ini, ia pun masuk ke dalam.

Umar mengendalikan kendaraan itu dengan begitu naik. Sepuluh menit sudah kami beranjak dari istana Mangkuwirjo. Sudah empat menit kendaraan di belakang itu menguntit kami. Aku kirimkan pesan lewat alat komunikasi pikiran kepada Umar. Ia pun menaikkan kecepatan. Kendaraan sialan itu turut menaikkan kecepatannya. Hingga di persimpangan selanjutnya, kendaraan lainnya kembali datang. Bertambah.

Kendaraan kami melaju cepat dengan kecepatan 200 km/s. Benda ajaib di belakang kami mungkin lebih cepat. Ia mengejar dengan begitu semangat. Membuat kami semakin terpojok.

Pengantaran kali ini perlahan berganti menjadi acara kejar-kejaran dramatis. Dinamis.

Adrenalinku mengencang. Adegan kami berubah menjadi adegan di film-film laga. Aliran ini kemudian perlahan-lahan memacu jantung untuk berdetak lebih cepat. Tak berhenti. Kami seperti terbang. Melayang.

Komentar

Postingan Populer