Perang

Manusia dan rasa ambisi akan selalu menjadi sesuatu yang mengisi Bumi hingga nanti. Hingga tiba masanya ambisi itu hangus membakar seisi dunia. Perang, persaingan, dan perebutan kuasa adalah salah satu jalan yang sering dipilih para penakluk dunia untuk memantapkan diri menjadi pemilik semesta. Penguasa dunia.

Peperangan bukanlah kata baru yang baru ditemukan kemarin lantas dijadikan lelucon hari ini. Peperangan adalah kata yang mungkin sama tuanya dengan peradaban manusia. Peperangan adalah kata yang merefleksikan betapa mudahnya manusia menjadi jagal apabila rasa bangganya akan dirinya telah terusik. Pembenci jagal tetapi menjadi jagal. Memuakkan. Itulah manusia.

Augustus, Napoleon Bonaparte, Adolf Hitler, dan sederetan nama lain yang diingat sejarah sebagai tokoh-tokoh termasyhur di peperangan akan selamanya diingat sebagai seorang yang agung di satu sisi. Sedangkan di sisi lain mereka tidak ada ubahnya sesosok pembantai massal yang layak digantung.

Berbicara tentang perang. Saya tidak hanya teringat dengan kisah-kisah yang nyata. Saya juga teringat bagaimana para penulis fiksi mencoba untuk menggambarkan perang. Cara mereka dalam memandang perang bermacam-macam. Bervariasi.

Beberapa mengglorifikasinya. Membuat perang sebagai jalan penyelesaian terbaik yang akan dengan mudah menyelesaikan masalah umat manusia. Sisanya, membuat perang seolah menjadi takdir langit paling terkutuk yang pernah turun ke dunia. Perang dan ketidak bergunaannya. Perang dengan frasa menang jadi arang kalah jadi abu. Perang itu sia-sia. Pembawa kematian. Penyulut kemunduran.

Salah satu karya fiksi yang paling saya suka yang membahas tentang perang adalah seri A Song of Ice and Firenya George R. R. Martin. Seri novel yang juga diadaptasi oleh HBO menjadi serial tv epik Game of Thrones ini benar-benar menggambarkan bagaimana perang itu adalah sebuah takdir yang menyengsarakan. Ia telihat megah dengan beragam pertarungan hebatnya. Ia terlihat gagah dengan beragam pertempuran epiknya.

Tapi, harganya mahal. Sebuah kematian sia-sia yang menyedihkan. Harganya mahal. Menyebabkan ribuan anak terlahir yatim piatu. Harganya mahal. Kehancuran bepuluh tahun yang memendam dendam. Pahit. Getir.

Dalam satu sesi wawancara, Martin memang menjelaskan bahwa ia sebenarnya seorang pasifier. Seorang pembenci perang yang menolak adanya perang. Ia berpendapat beberapa perang itu bodoh. Tidak dibutuhkan.

Jihad Bukan Tentang Perang

Bagaimana dengan jihad? Itu kan ajaran agama? Kenapa Anda malah melarang mengikuti sunnah.

Kalau ada yang menjawab tulisan saya sinis dengan ucapan seperti ini, saya sarankan Anda untuk lebih mengenal agama Anda lagi.

Jihad itu luas. Belajar itu jihad. Berinfaq itu jihad. Bahkan, membangun keluarga yang sakinah itu juga jihad. Dan jika merujuk pada pendapat Imam Ibnu Qayyim, jihad yang paling tinggi tingkatannya itu adalah jihad melawan hawa nafsu. Bukan berperang. Dan melawan hawa nafsu itu identik dengan peningkatan ilmu dan pencarian kebenaran.

Jadi, kalau ada cara yang indah dan memajukan peradaban untuk berjihad, mengapa harus dengan perang? Mengapa harus dengan kerusakan?

Komentar

Postingan Populer