Takdir dan Perjalanan

Takdir dan Perjalanan

Wajah Badrun masih kebingungan. Sisa keterkejutannya bertemu denganku masih begitu kentara. Permainan takdir itu masih membingungkannya. Membuat dadanya kembang kempis karena sesak napas.

Sandiwara takdir bermain dengan begitu lembut. Para manusia berperan sebagai aktor-aktor teater kehidupan tak bergaji. Bermodal keikhlasan dan harapan agar janji-janji tak kasat kasar itu terpenuhi. Demi sesuatu yang diharapkan terjadi di dimensi keabadian yang dijanjikan.

Para aktor itu bermain dengan begitu serius. Pendalanan karakternya tak terelakkan. Ia berhasil alihkan mata dengan berbagai kejutan-kejutan tak terperediksi. Kadang, bahkan tak tercerna akal. Begitulah takdir, tidak terelakkan.

Kuperhatikan wajah Badrun dengan intens. Seakan bila semakin lama aku melihat ke arahnya, mataku akan dapat menembus isi dalamnya. Seolah-olah jaringan-jaringan elektron itu terlihat di mataku. Ah ... ada-ada saja aku dengan khayalan liarku. Aku bukan pemilik kekuatan supranatural yang mampu melihat hingga menembus pori-pori kulit manusia. Aku tidak punya ilmu gaib yang mampu mengeluarkan sinar-sinar ratusan ribu paskal yang mampu memenyetkan berlian. Aku adalah Sulaiman, ketua organisasi internal kampus. Tidak kurang tidak lebih.

Memandangi Badrun membuatku teringat dengan sebuah kisah lama mengenai seorang pesakitan yang diselamatkan oleh sesosok pahlawan. Aku bukan seorang narsistik yang gemar membanggakan diri sendiri. Tetapi, mimpi-mimpi menjadi sesuatu yang mengubah takdir anak manusia membuatku menjadi terobsesi menjadi seseorang yang berpengaruh terhadap jalan takdir seseorang.

Penilaian orang adalah sesuatu yang tak terlalu kusimpan di dalam pikiran. Yang kugenggam selalu adalah prinsip mencintai semesta. Selama bantuanku dapat memperbaiki jalan takdir seseorang, aku takkan mundur. Dengan atau tanpa mereka, opiniku takkan goyah. Aku tak dapat diubah. Tidak dengan cemooh. Tidak dengan celoteh. Enyah.

Kisah-kisah pahlawan. Kumpulan kisah-kisah yang membangkitkan angan-angan. Sebuah penyemangat kala suasana yang tak kunjung menentu. Sebuah dorongan kuat agar dapat berbuat kebajikan.

Para pahlawan dengan kisahnya itu mungkin saja merupakan cinta-cinta awal para anak. Kisah itu masuk ke dalam otak anak-anak sejak ia masih di gendongan ibundanya. Cerita-cerita itu membentuk gaya berpikir hero-sentris yang inspiratif.

Gaya berpikir hero-sentris membuat manusia membenci para perusuh. Kisah para musuh yang akan selalu dibenci dalam kehidupan. Anti-felon mungkin merupakan ungkapan yang paling tepat dalam menggambarkan gaya pemikiran baru ini.

Pernyataan sikap hero-sentris ini tertancap dan lekat dalam dalam rata-rata aliran pemikiran umat manusia. Tetapi, seorang felon pun terkadang dapat berbuat kebaikan. Meskipun ia membunuh, berbuat kriminal, dan menyakiti orang lain, ia tetaplah manusia. Punya salah punya benar. Karena itu lah akhirnya tercipta anti-hero. Bentuk yang lebih realistis dalam menggambarkan kompleksitas manusia.

Sebagian orang kemudian berganti pihak. Alasannya, seorang hero dianggap terlalu naif. Anti-hero lebih realistis. Ia lebih nyata. Dan ia manusiawi. Bukan sekadar gambaran khayalan terbaik yang disusun otak manusia.

"Lem, jadi kau sekarang sudah bisa ceritakan padaku bagaimana bisa berbagai kejadian gila ini terjadi. Siapa orang ini? Kita hendak ke mana? Dan di mana orang tuaku?" Badrun tampaknya sudah agak tenang. Raut wajahnya terlihat lebih teduh apabila begini. Aku kelihatannya agak rindu pada pengganggu nomor satu ini. Mungkin saja. Mungkin tidak. Mungkin.

Aku kemudian berkata, "Pertama, Run aku tidak tahu mengenai orang tuamu. Kedua, aku akan ceritakan semuanya. Semuanya. Tanpa terkecuali. Tak bercelah. Sekarang, kau duduk dengan tenang dan dengar ceritaku." Kulihat Badrun kemudian membalasku dengan melakukan apa yang kuminta. Ia pun duduk tenang. Memasang telinga.

Aku pun mulai bercerita. Matahari sedang terik-teriknya kala aku bercerita. Seolah-olah ia berbinar-binar demi mendengar ceritaku. Matahari itu berpendar-pendar menembakkan sinar ultraviolet pada para makhluk Bumi yang bergantung dengannya. Matahari mungkin senang mendengar ceritaku, tapi pendengar utamaku hari ini adalah Badrun. Dan ia bersikap seperti pendengar setia yang siap menerima wahyu langit.

Aku memulai ceritaku dari tabrakan yang 'direncanakan' itu. Berlanjut ke ruangan temaram dengan dua interogator amatir yang menjengkelkan dan terus menerus menuduh aku sebagai pengkhianat. Sampai di sini, Badrun mendengarkanku dengan wajah antusias yang ternyata kusuka. Kusuka bika Badrun seperti ini. Daya dengarnya yang sangat suportif itu adalah stimulan yang meningkatkan hasratku dalam berbagi kisah. Dan kali ini, Badrun kembali menjadi pendengar yang baik. Dan menjengkelkan. Mungkin.

Perjalanan kisah itu berlanjut dengan perjalanan menuju timur bersama Umar, lelaki penolongku itu. Seorang lelaki dengan badan berisi khas tentara. Fitur yang paling kuingat dari wajahnya adalah rambut tebal yang mengelilingi mulut dan pipinya. Tatapan matanya tajam. Gerakannya terlihat gesit dan selalu berhati-hati dalam bertindak.

Ia adalah seorang teman perjalanan yang membuat perjalanan terasa tidak melelahkan untuk dilalui. Berbagai topik pembahasan kami libas tuntas. Ia sama denganku. Seorang pendukung anti-borjuasi. Hal lain yang membuat kami semakin klop.

Gerakan Anti-borjuasi adalah gerakan yang sedang meningkat pendukungnya dalam lima-enam tahun terakhir. Pengaruhnya meningkat pesat. Anak muda banyak terlibat. Dalam lima tahun, dua puluh persen penduduk negeri berubah halu dari pemimpi borjuasi menjadi pendukung anti-borjuasi.

Borjuasi memang masih sangat kental di kehidupan. Keglamoran kehidupan seperti itu masih sangat mudah untuk ditemukan. Sifat yang membawa materialistik itu masih membutakan semesta. Warna-warna neon yang menyilaulan itu masih terlalu sulit untuk tak menarik perhatian. Hanya orang-orang berkomitmen tinggilah yang habis-habisan menganut anti-borjuasi. Dan kelompok ini, menyebut diri sebagai cahaya keadilan.

.
.
.

Perjalanan dengan Umar membuat aku menyadari banyak hal. Dari kisahnya saja, aku menemukan banyak perspektif baru. Umar yang awalnya merupakan seorang petarung jalanan kemudian menemukan titik terang kehidupannya ketika bertemu dengan malaikat penolongnya. Ia kemudian dilatih menjadi pemendam kejahatan selama beberapa waktu. Umar bercerita bahwa ia sudah memendam banyak kejahatan dalam sepuluh tahun ia berdinas.

Cara-caranya memang tidak selalu bersih. Ia tidak naif bak sosok pahlawan pemaaf yang heroik. Ia terkadang harus menjadi malaikat pencabut nyawa demi kemulusan tugas. Bahkan kadang ia harus meyakinkan diri sendiri agar melupakan apa itu perasaan. Ia dipaksa menjadi makhluk tanpa rasa.

Pemendaman itu menyakitkan baginya. Bahkan, ia terkadang dihantui oleh nyawa yang dipendamnya. Keyakinan akan kebenaran dan kebaikan akibat perbuatannya lah yang membuat ia berhenti menduga-duga dan memberi maaf pada dirinya.

Umar bukan hero-hero dalam kisah hero-sentral yang melegenda. Ia lah anti-hero yang kan dicintai oleh para pencinta kehidupan yang realistis. Dan di situlah aku menemukan berbagai inspirasi darinya.

Perjalanan menuju timur itu adalah salah satu perjalanan terbaik yang pernah kulalui. Meskipun perjalanan tak bertuju ini belum memberikan suatu kejelasan pun bagiku. Semuanya masih samar-samar dan remang-remang. Aku masih gamang akan esensi dari perjalanan yang mengingatkaku dengan salah satu kisah klasik milik dataran luas negeri tirai bambu sana.

Perjalanan menuju timur. Timur identik dengan cahaya matahari. Sebuah perjalanan mereguk asa. Aku suka perjalanan ini. Perjalanan ini akan memberikan aku sumber harapan baru. Sebuah parade yang telah kutunggu-tunggu setelah sekian lama. Pemaknaan ini takkan kusia-siakan. Ini adalah sebuah lambang kejayaan.

Perjalanan menuju timur itu kami lalui dengan kombinasi berbagai peralatan pemindah tempat yang ditemukan oleh berbagai profesor. Kami berangkat menuju ke pangkalan pemindah ruang untuk mengakses ibu kota. Kota yang awalnya disarankan oleh Umar untuk kutuju. Ia memberi saran bahwa tinggal bersama keluargaku yang berada di ibu kota akan memberikan aku perlindungan dari para musuh yang mengincar nyawaku.

Ibu kota ternyata bukan tujuan yang baik. Sebuah isyarat dari pesan singkat jaringan nirkabel memberikan ilham bagi Umar. Ia pun membawaku menuju timur. Diperintahkan tepatnya. Katanya, ibu kota tidak terlalu aman. Gejolak sedang bergemuruh di kota indah pinggir pantai dengan cengkraman gedung gedung pencamar langit itu.

Di timur, kata Umar, seseorang akan memberikan jaminan bagiku. Seorang raksasa. Dan begitulah ketika wilayah timur sudah menjelang di hadapan kami. Kota industri utama negara. Sudah delapan tahun sejak aku terakhir memijakkan kaki di kota ini. Akhirnya aku kembali menghirup udara pekat kota ini. Kota ini lagi. Otakku menyambut kota ini dengan berbagai perasaan.

Baja melayang itu melewati berbagai wilayah industri dengan kecepatan konstan. Aku mulai menebak-nebak sesuatu yang semakin kelihatan jelas titik terangnya. Otakku kini sudah paham akhir dari perjalanan menuju timur. Aku tahu siapa Raksasa dari Timur itu. Ternyata orang ini. Betapa aku terlupa padanya. Sudah berapa lama.

Baja melayang itu berhenti di depan sebuah rumah. Rumah ini. Aku ternyata tidak salah. Raksasa dari Timur itu ternyata memang dia. Orang tua ini. Untuk apa ia repot-repot melakukannya demi aku?

Meski telah berada di sini, otakku masih sedikit kabur dengan motivasinya. Titik terang cerita ini belum sempurna terungkap. Berbagai pendam-pendam pertanyaan masih menggangguku. Aku belum terlepas dari pikiran-pikiran tanpa batas. Belum.

Umar menggiringku masuk ke rumah dengan cat abu-abu itu. Naik ke lantai atas dan di sinilah aku kini. Di depan ruangan dengan pintu megah. Umar kemudian mengakses kode keamanan pintu itu. Pintu itu terbuka. Menawarkan jalan yang terbuka lebar padaku. Memancingku dengan godaan memasuki ruangan yang kuingat dahulu kala itu. Kaki mengikuti ingatan dan aku pun kini berada di hadapan orang yang sangat kukenal. Raksasa dari Timur, Ali Rustam. Pamanku.

"Hai, Lem. Lama tak bersua." Lelaki paruh baya itu melambaikan tangan padaku. "Kau mau berdiri atau duduk? Silakan."

Aku kemudian membalasnya dengan, "Paman, apa kabar? Tampaknya paman sedang dalam kondisi yang sangat baik." Kulihat ia kemudian tersenyum.

"Kau ternyata sudah sadar tentang apa yang terjadi. Baik, aku akan menceritakan kisah lengkapnya padamu." Ia berkata dengan nada khasnya yang mencengkeram. Aku mulai masuk ke perangkapnya.

"Sebaiknya, seceoatnya paman. Sepertinya aku tidak punya waktu lama." Lelaki itu kembali tersenyum, lantas berdiri dan memelukku.

Kilas-kilas memori masa kecilku kembali terputar. Anak kecil yang berlarian mengelilingi mansion ini. Naik turun tangga dan masuk keluar ruangan sang raksasa. Dan aku teringat pada Uli, bagian yang tak kuceritakan pada Badrun.

Sang raksasa kemudian memecah ingatanku dengan berkata, "Sulaiman, sebelumnya pamanmu ingin mengatakan padamu kalau apapun perasaanmu kepada ayahmu, ingatlah pada saatnya keluargalah yang paling utama. Kau bisa memilih apapun di dunia ini. Kau bisa menjelajah hingga ke sudut-sudut paling sempit. Tetapi kau ingat satu hal. Keluarga takkan pernah lebih jauh dari aliran darah di dalam nadi. Itu yang harus kau camkan. Kalau kau membenci kami atas sesuatu kesalahan di masa lalu, kau harus tahu bahwa kami tak pernah membencimu. Dan takkan. Kami akan selalu mencintaimu. Kini. Nanti. Selamanya." Ia kemudian kembali duduk.

Aku terdiam, tak dapat aku membalas pernyataan yang seringkali kurindukan dari orang tua ini. Orang tua ini memang adalah sosok yang sudah lama kirindukan. Meski ia terpendam di dalam kedalaman rasa yang bertimpa-timpa. Bahkan kadang terlupakan. Tapi, tak pernah hilang.

"Aku akan ingat, Paman. Tetapi, maaf. Aku tidak mengerti tentang bagaimana paman menghubungkan masalah ini dengan ayah. Ia tidak punya urusan dengan hal ini. Ia sudah terlalu sibuk dengan dunianya." Meski kagum terhadap kata-katanya, setitik pujian kepada lelaki tua yang dulu pernah kuhormati memberikan kesan tak senang di hatiku.

"Suatu saat kau akan sadar betapa ia mencintaimu, Sulaiman. Pasti. Jangan sampai kau menyesali waktu kesadaran itu tiba. Dengar aku, Sulaiman. Jadi kau tau kenapa semua kejadian ini terjadi? Apakah kau pikir kau hampir celaka adalah karena kau protes akan hilangnya beberapa jurnalis itu? Kau salah besar. Ini adalah permainan catur panjang antara keluarga kita dan keluarga perdana menteri. Yang menang, akan mereguk keabadian pancaran kekuasaan mutlak. Yang kalah, akan remuk redam digilas roda tak sinkron." Ia berkata dengan nada yang lembut. Tetapi, kekuatan kata-katanya tak sanggup dibantah. Aku kalah.

Kalimat itu menyinggung aku. Dengan nada tersinggung, aku berkata, "Tunggu paman, jadi paman ingin mengatakan kalau aku adalah korban dari permainan kekuasaan? Aku hampir mati, Paman!"

"Kau selalu tak sabar, Lem. Kau tidak berperan sebagai korban, Lem. Kau lebih tepat disebut sebagai perangsang perseteruan. Kau dan wanitamu, Aisyah." Ucapnya kembali dengan nada tenang. Sialan.

"Aisyah? Bentar, sekarang aku semakin kebingungan dengan segala cerita ini. Ini terasa semakin mujarad. Kali ini kisah ini semakin tak tercerna otakku. Sekarang aku mau paman menjelaskan semuanya. Detail paman, aku ingin ini terperinci. Dan karena aku adalah bagian penting rencana ini, aku ingin paman tidak melewatkan satu detail pun." Aku mengerutkan dahi demi mendengar cerita ini. Kali ini, rasa penasaranku sudah tak terbendung.

"Sabar, Lem. Mari bersantai sejenak. Nikmati masa mudamu dulu Sulaiman. Jangan terburu-buru. Bukankah kau punya waktu panjang untuk menikmati hidupmu?" Orang tua itu tersenyum. Aku lebih senang menyebutnya seringaian yang mengejekku.

Aku tak membalasnya lagi. Rasa hati telah lelah bergelayut manja dengan ketidak pastian. Aku hanya pasrah menunggu. Cerita ini memang terdengar tidak jelas dan meragukan. Tapi, Aisyah, kekuasaan, dan persaingan sudah cukup membuatku menginginkan kejelasan.

Setelah puas dengan seringaiannya ia melanjutkan, "Baiklah Lem, pamanmu akan menjelaskan bagaimana kau dan wanitamu dijadikan perangsang permasalahan ini. Setahun silam, putra mahkota negara sudah melamar Aisyah. Tepat satu pekan usai parade kerusuhan di halaman istana. Kau tahu, saat itu maharaja sudah tidak muncul di khalayak selama satu tahun. Penyebabnya, maharaja sekarat dan adiknya, ayah Aisyah lah yang menjalankan pemerintahan. Intinya, keputusan dalam dua tahun terakhir yang penuh dengan kegetiran hidup ini adalah putusan dari sang perdana menteri."

"Aku memulai permainan perebutan kuasa dengan memperkenalkanmu kepada Aisyah pada saat kau sedang menunjukkan karisma besarmu di parade kerusuhan itu. Aku lah yang langsung membujuknya agar mau menemuimu dan berkenalan denganmu. Aku tak tahu bagaimana caranya, tapi aku berhasil. Lamaran sang pewaris tertolak; hubungannya dengan ayahnya keruh dan ia memutuskan untuk kabur dari ibu kota. Menuju kotamu. Itulah tujuannya. Ia benar-benar termakan dengan ucapanku. Ia lupa kota itu kota kekuasaan gubernur-kolonel. Kakaknya yang dibencinya setengah mati." Aku memperhatikan arah matanya. Fokus. Cerita ini bukan cerita rekaan. Ia mengatakan yang sebenarnya.

"Aisyah tak pernah paham bahwa dia adalah ikan yang terpancing oleh umpan. Ia berhasil masuk. Terjerat. Tapi, rencana semakin sempurna kala kau ternyata jatuh cinta padanya. Kabar tersebar. Aku tersadar, perdana menteri tersadar, ayahmu tersadar." Ia kemudian berhenti sejenak. Meminum air di mejanya. Kemudian memperbaiki posisi duduknya.

"Kejadian selanjutnya begitu pelik. Kau memberi ilham pada sang gubernur kala kau memutuskan untuk melakukan penyampaian asa. Gubernur-kolonel di kotamu mendapat tugas mencari tahu sudah sedalam apa hubungan kalian. Kau dan Aisyah. Ia berencana untuk melakukan manuver tajam dengan merekrutmu. Merekrut lawan politik keluarganya akan memberikan dia kelebihan. Sama seperti aku yang ingin Aisyah bermain di pihak kita. Dia mengatakannya padamu di penyampaian asa itu, bukan? Sayangnya, pembicaraannya dengan Aisyah sesaat sebelum penyampaian asa itu membuatnya tersadar. Ia juga ingin mengontrol Aisyah lewat kau. Tapi, ia harus punya jaminan agar rencananya tidak kandas. Ia menculikmu, tapi sayangnya ia tak secerdas itu. Raksasa dari Timur mempermainkan ia. Aku memotong-motong rencananya hingga hancur. Pupus." Ia tertawa. Tawa merendahkan yang sering dilakukannya padaku.

Tawanya kemudian hilang. Berganti dengan, "Usai kau hilang, Aisyah mengonfrontasinya. Gagal. Aisyah kemudian kugenggam utuh kala ia meneleponku. Aku sudah mempersiapkan rencana penyelamatanmu saat itu. Tapi, Aisyah beda lagi. Ia berencana menjadi agen ganda kali ini. Ia akan berbuat segala cara agar sang gubernur-kolonel kalah. Ia rela mengkhianati keluarganya. Demi kau."

"Kau tahu Lem. Betapa sahabatmu Badrun itu sangat buruk. Ia merusuh usai kau hilang. Tertangkap dalam prosesnya dan akan diadili. Kau tak perlu ikut campur kali ini. Cukup saksikan dan beraksi pada saat yang aku kehendaki saja. Sejauh ini, paham?" Kuperhatikan wajah itu sekali lagi untuk memastikan. Dan sekali lagi aku tak menemukan kebohongan. Ia mengatakan kebenaran. Ia baru saja mengatakan padaku kalau ia lah yang merangsang hubunganku dengan Aisyah.

Bagian yang Menyakitkan dari cerita ini, Aisyah sudah lama mengenalku. Aku lah yang baru kenal ia. Bagian lain adalah tentang Badrun. Ahoy, betapa bodohnya kau. Suaramu lantang bagai gemuruh. Tapi kau bagai anak-anak yang tak diawasi. Berkeliaran bagai kuda liar tak berpenunggang. Kecerobohanmu membentur langit. Bumi kali ini runtuh. Dan kau bertanggung jawab penuh.

Aku mengangguk dan anggukan itu membuatku menunggu 20 hari untuk dapat beraksi. Ceritanya sederhana. Paman memanggilku dan memberika instruksi singkat, "Jalankan rencana." Ia memberikan aku susunan rencana dalam bentuk infografis yang dikirimkan lewat alat komunikasi nirkabel mutakhirku.

Rencananya sederhana. Aku pergi ke ibu kota. Masuk ke ruang pengadilan kemudian memperlihatkan surat keputusan maharaja, yang entah bagaimana bisa dibuat, kepada hakim. Lantas kemudian menuju ke tempat peremuan rahasia untuk satu rencana terakhir. Pelengkap misi pembebasan.

.
.
.

Wajah Badrun yang menyimak ceritaku di sepanjang perjalanan membuat aku tersenyum tipis. Badrun adalah pendengar yang baik. Meskipun kalau sudah berbicara, ia sering kali meruntuhkan pasak-pasak bumi. Tapi kali ini, tak sedikitpun ia menyelaku dengan ucapannya. Ia terdiam seribu bahasa. Ia mendengarkan dengan baik. Selama perjalanan, hanya akulah yang bercerita. Ia hanya diam. Mendengarkan.

Hingga akhirnya lokasi pertemuan itu sudah berada di hadapan kami. Gedung empat lantai yang berada di pinggir ibu kota. Lampu-lampunya remang-remang. Baja melayang ini kemudian diparkirkan Umar. Kami kemudian memasuki gedung remang berlantai empat itu. Lantai satu kosong. Usai memastikan tak ada jebakan, kami pun menuju ke lantai atas. Dan di sinilah garis takdir kembali memberikan kejutan.

Sepintas, wanita itu tampak berbeda. Apakah perpisahan selama 20 hari sudah membuat rasa ini memudar? Sayangnya tidak, hasratku langsung menggebu kala aku melihatnya. Kudekati ia. Dan sisanya adalah cerita romansa ala Qais dan Laila. Gila. Mengharukan.

Dan pelukan itu pun terjadi.



Komentar

Postingan Populer