XIX : Putusan

Putusan

Badrun keringat dingin. Semakin dekat menuju putusan, semakin otot-otot Badrun lemas. Matanya semakin sayu akibat menyaksikan berbagai peristiwa yang mengguncangnya dengan begitu keras dalam beberapa waktu ke belakang. Badrun kalah. Ia hampir kehilangan segalanya.

Apapun yang ia impikan di masa silam, kini telah tumpas dalam hitungan kedipan mata. Seolah terkena mantra-mantra ahli sihir, ia terhempas dan terbakar luar dalam. Menyedihkan. Tapi ia sendiri sudah tak dapat merasakan kesedihannya lagi.

Empat hari sudah ia berada di ibu kota. Kota yang amat asing baginya. Ia memang sudah pernah menginjakkan kaki di kota ini tahun lalu. Tapi, saat itu Badrun berjalan bersama dengan sang pemimpin. Kini, ia merasa terasing di tanah yang tak dikenal. Tersudut dalam pandangan mata-mata orang-orang yang tak teringat oleh otaknya.

Badrun mungkin dapat sedikit bernapas lega. Karena ia tidak lagi berkutat dengan dinginnya lantai penjara. Kini, ia terkungkung di sebuah rumah petak yang dijaga ketat. Ia bisa berjalan beberapa blok. Meski dengan pengawasan. Setidaknya, ia tak di sel dingin lagi pikirnya. Ia bersyukur karenanya.

Ia diawasi dan ia tak mengerti mengapa. Ia kebingungan. Ia merasa kosong. Ingin pulang. Terserahlah ini semua. Ia sudah tidak punya rencana. Kota ini mereduksi seluruh isi kepalanya hingga kosong. Melompong. Kopong.

Empat hari akses komunikasinya digerus hingga hampir mencapai nol mutlak. Satu-satunya manusia Bumi yang mempunyai akses berbicara kepadanya hanyalah penjaga penjara yang tetap setia bersamanya sejak dari kotanya. Penjaga penjara berbadan sedang dengan wajah yang terlihat keras tetapi berhati lembut itu adalah satu-satunya manusia yang membuat Badrun tidak kehilangan kewarasannya.

Syukurnya, kini mereka tidak sekaku ketika di ruang gelap itu lagi. Hubungan mereka lumayan cair sekarang. Dan beginilah, kini mereka sedang bermain catur di konsol permainan gratis yang disediakan di setiap rumah oleh kementerian bidang Hiburan dan Rekreasi. Dalam empat set, penjaga itu terus-menerus kalah. Siklus ketak hinggaan akab kuciptakan, pikir Badrun.

"Bang, tampaknya kau sama sekali tak berbakat. Mungkin lebih baik kau belajar lagi lah. Sebelum melawanku. Kau yang kalah aku pula yang malu." Ucapan Badrun ternyata cukup pedas dan mengguncang. Ucapan sang pemimpin memang benar. Ucapan Badrun mampu mengguncang pasak-pasak Bumi. Menyakitkan. Nyelekit.

"Sombong sekali Kau, Anak muda. Tunggu saja waktumu. Kau akan mengerti betapa menyakitkannya pembalasan itu. Kau camkan saja!" Ia berbicara berapi-api menahan rasa malu. Mukanya merah padam. Lelaki tiga puluhan yang cukup berotot itu berkata suka-suka. Ia membela harga dirinya, pikir Badrun.

Ucapan penjaga yang menjadi satu-satunya lawan komunikasi Badrun empat hari terakhir itu terbukti membal. Badrun kebal. Kemenangannya kekal. Kelelahanlah yang mencegahnya untuk menggerus seluruh harga diri sang penjaga. Hingga habis dagingnya. Hingga tinggal kulitnya. Mereka berhenti.

Badrun kemudian menghindar. Mencoba mengasing dari satu-satunya harapan. Ia melawan rasa bangga yang mengisolir diri dari kebenaran hakiki. Sesuatu yang mengglorifikasi segala bentuk heroisme semu yang ilusif. Badrun mencoba sadar. Bangkit dari perasaan bangga tak wajar.

Sepercik rasa sesal terpancar di hatinya. Rasa sesal yang menghasilkan kerinduan akan keluarganya yang entah dimana raganya. Sejak berpisah di emperan pengadilan malam itu, ia tak pernah lagi mendengar kabar dari tumpukan orang-orang yang mempunyai ruang khusus itu di hatinya. Ia rindu. Khawatir. Bercampur-campur. Berbaur hingga tak dapat ditemukan lagi bentuknya. Bergumul dalam lumpur hati yang kaku. Membeku.

Malam menjelang. Sang penjaga sudah pergi sejak sore tadi. Tanpa penjaga itu, ia diisolir penuh. Meskipun sebenarnya di depan pintu masih ada seonggok daging yang berdiri menjaga. Tapi daging itu 'bisu', tak dapat dibuka mulutnya. Bungkam seribu bahasa. Badrun benar-benar merasa terasing kini. Tanpa orang itu, waktu terasa lebih lambat.

Pintu depan terbuka. Penjaga itu ternyata telah kembali. Dari setelannya, ia pasti baru kembali dari tempat para maha. Tempat yang tak sembarang dapat terjangkau jelata. Penjaga itu kemudian masuk ke kamarnya. Melepas pakaian rapinya. Lantas duduk. Kemudian menyilakan Badrun untuk duduk.

"Besok putusan akan dibacakan. Kau akan menerima hasil perjuangan selama ini. Bila mengecewakan, Kau harus sadar, semuanya akan berjalan dengan baik. Kau pasti mampu menerima takdir. Ini bukan akhir, Teman. Kau mungkin merasa keadilan telah menguap. Tidak, bukan itu yang terjadi. Dalam prosesnya, kau menemukan teman baru. Aku. Kita akan tetap berteman, bukan?" Kata-kata itu berhasil membuatku keringat dingin.
"Tentu saja kita akan tetap berteman."

Wajah Badrun sudah benar-benar pucat. Ia dapat merasakan aliran darah yang berhenti mengair ke kepalanya. Syarafnya membeku. Perasaan yang begitu menyakitkan. Seperti ditumpat dari seluruh penjuru. Sesak.

Ia kemudian menepuk bahu Badrun dan berkata, "Kalu begitu, tidurlah! Simpan energimu untuk besok. Dan kalau kau khawatir dengan keluargamu, tenanglah! Mereka berada di tangan yang tepat."

Malam itu, entah mengapa malam seperti memeluk Badrun dengan begitu erat. Nyaman. Hangat. Ia pulas dalam mimpi-mimpi bersama sejuta gemintang. Mimpi itu membuatnya terbebas dari rasa tersiksa menunggu pagi. Perasaannya mengatakan akan ada sesuatu yang besar besok. Mungkin sesuatu yang membinarkan bola. Atau mungkin malah memilukan hatinya secara sempurna. Mungkin. Entah.

Pagi datang dengan sejuta warna-warni baru. Sejuta angan-angan baru kembali muncul di langit menyajikan berbagai garis-garis mimpi yang hendak direguk. Badrun menyambut pagi itu dengan gairah yang berlipat-lipat. Entah firasat apa yang membisikinya. Ia begitu berbinar hari ini. Seolah sesuatu yang gemilang akan datang padanya.

Badrun mempersiapkan semuanya dengan hati berbinar cahaya berwarna-warni yang terpancar darinya. Cahaya itu semakin saat semakin megah. Hatinya seperti sedang mengonduksi perhelatan akbar drama musikal yang indah rupawan. Orkestra di hatinya semakin bergema. Membawa kebahagiaan yang terasa adiktif. Apakah ini adalah sejenis senyawa stimulan yang membuat tenaganya bertambah ratusan tenaga kuda? Entahlah. Biarlah. Terserah. Ia tak lelah. Sudah.

.
.
.

Badrun digiring memasuki ruangan menegangkan itu. Masih didampingi oleh penjaga sahabatnya yang setia di sampingnya. Dua orang asing lain turut yang menjemputnya pagi ini turut mengawalnya. Dua orang asing itu berjalan lamat-lamat mengikuti gerakan kaki Badrun. Diperintah tanpa ada perintah. Ia digiring hingga duduk di kursi pesakitan. Menunggu sang putusan.

Badrun melihat sekitar. Ia tidak menemukan keluarganya di tempat itu. Tempat itu semakin kelam. Kesendiriannya kini bukan sekadar perasaan. Kesepian itu terbukti dan terlihat nyata di hadapan mata Badrun. Mengintimidasinya dengan begitu kejam. Membuatnya was-was. Ia skeptis. Binar-binar rona kebahagiaan pagi tadi menguap bagaikan gas yang dipanaskan beribu-ribu derajat. Ia pesimis. Semua emosi negatif menggenangi pikirannya. Membuatnya enggan berpikir rasional. Ia irasional.

Sidang itu kemudian dimulai. Sang hakim mengetukkan palunya sebagai tanda dimulainya sidang penghakiman. Badrun dengan segala beban di hatinya menunduk dalam. Hatinya berdebar-debar menunggu putusan nasib. Ia dengan segala buncahan pikiran yang begitu keruh. Benar-benar keruh.

Hakim itu memulai dengan kata-kata yang berlagak bijaksana. Sayangnya, kata-kata bijaksana itu tak tertangkap lagi di kepala Badrun. Ia sudah lelah menerka akhir dari kisah ini. Ia sudah lelah memikirkan nasib sahabatnya. Ia sudah lelah memikirkan di mana keluarganya. Ia sudah lelah. Ia pasrah. Peduli apa. Hasratnya tak mau lagi singgah.

"... dengan ini menyatakan Tuan Badrun Hakim Nasution bersalah dan dihukum sepuluh tahun kurungan. Detail proses akan dibacakan di pengadilan wilayah." Ketok palu. Final. Ia sekarang adalah seorang narapidana.

Braaak ... pintu depan didorong dengan tiba-tiba. Seseorang memasuki ruangan sidang itu. Badrun terperanjat dari tempat duduknya demi melihat sosok yang memasuki ruangan pemutusan pesakitan itu. Orang yang masuk itu tidak menuju manapun. Ia langsung menemui sang pemilik kendali ruangan. Ketiga hakim itu menyambutnya bak menyambut sosok dewata.

Ia menunjukkan sebuah tampilan yang entah berisi apa. Tampilan yang terpancar dari alat proyeksi yang amat langka dimiliki. Sangat mahal. Tunggu, mahal? Badrun teringat kembali dengan spekulasinya mengenai orang ini. Apakah ini mengonfirmasi identitas orang ini? Ia tak mau menerka agi. Ia akan tanyakan langsung. Mungkin. Entahlah. Apakah ia berani?

Apapun yang ditampilkan orang itu pada sang hakim berhasil memengaruhi garis takdir Badrun. Setelahnya, hakim itu berdiri dan berkata, " Kau bebas."

Komentar

Postingan Populer